Ketika terbangun dari tidurnya, Evan mencium sesuatu yang beraroma lezat. Aroma itu yang menuntun langkahnya menuju dapur dimana ia menemui Barbara sedang berdiri di belakang pan dan menyajikan pai apel untuk disantap pagi itu. Sebuah musik bergema dari radio kecil di dekat sana. Evan menyaksikan Barbara menggerakkan pundaknya selagi menikmati alunan musik pop lawas yang terdengar cukup familier di telinganya. Tanpa sadar sudut bibirnya terangkat ketika mengulas senyum dan begitu Evan melangkahkan kakinya hingga sampai pada anak tangga terakhir, Barbara segera berbalik untuk menyambutnya.
“Selamat pagi!” sapanya. “Bagaimana tidurmu? Kau pasti sangat kelaparan. Kemarilah!”
Evan menatap ke sekitar dapur, mendapati bahwa meja makan persegi yang terletak di tengah ruangan telah kosong. Sementara itu bak pencuci piring dipenuhi oleh sejumlah porselen kotor yang menanti untuk dibersihkan. Sebuah pertanyaan terbesit dalam benaknya, Evan mengungkapkannya persis ketika menghampiri Barbara.
“Dimana yang lain?”
“Memulai rutinitas mereka seperti biasanya. Kami duduk untuk sarapan sekitar pukul tujuh, maaf karena kami tidak menunggumu. Aku melihatmu tidur begitu nyenyak, jadi aku tidak membangunkanmu.”
“Tidak apa-apa, aku minta maaf tentang itu.”
Barbara tertawa ketika menanggapinya. Wanita itu melambaikan tangannya di udara dan berkata dengan tidak acuh, “tidak perlu dipikirkan. Kau bisa mengambil waktu istirahat sebanyak yang kau butuhkan, tidak ada aturan yang harus dipatuhi disini. Seperti kataku, ini rumah kita bersama-sama. Kami menoleransi kesalahan kecil. Terkadang Jake juga melakukannya, ketika dia berburu, dia kembali larut malam dan melewatkan makan bersama keluarga. Atau Danny – dia memang sedikit keras dengan aturan yang dibuatnya, tapi percayalah Nak.. dia begitu menyayangi keluarganya. Aku mengenal semua keluargaku dengan baik,” ujar Barbara sembari tersenyum.
Sembari menganggukkan kepalanya, Evan menyetujui dengan cepat. “Ya, itu sangat jelas.”
“Aku juga mengenalmu dengan baik.” Ketika mengatakannya, Barbara menjulurkan potongan pai apel di atas piring pada Evan. “Kau pasti suka pai apel.”
Evan menerima pemberian itu dengan bersemangat kemudian duduk di atas kursi untuk menyantapnya. “Bagaimana kau tahu?”
Wanita itu tertawa sekali lagi. Evan baru menyadari bahwa wanita itu tampak ceria setiap saat. Senyum dan tatapan hangat adalah apa yang tidak pernah hilang dari wajahnya dan ketika melihatnya, Evan teringat akan Melissa.
“Aku bisa melihat reaksimu.”
Evan menghabiskan makanannya dengan ditemani oleh Barbara. Siangnya, Evan berjalan menuju sebuah pondok tempat dimana Danny sedang bekerja. Pondok itu letaknya tidak jauh dari sana. Ketika Evan melangkahkan kakinya memasuki pondok kayu, ia mendapati Danny sedang bekerja dengan setumpuk kayu yang disusun tinggi di sekelilingnya. Beberapa di antara kayu-kayu itu telah diamplas hingga menghasilkan permukaan yang halus, beberapa di antaranya telah dibentuk menjadi sebuah rangka.
Danny memiliki sebuah papan besar yang menggantung di dinding pondok, tempat dimana ia menggambar ilustrasi untuk kerangka yang sedang dikerjakannya. Ketika Evan bergabung disana, laki-laki itu menghentikan pekerjaannya, untuk sejenak menyeka keringat di dahinya menggunakan kain bersih kemudian menyambut Evan dengan menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana tidurmu?” katanya.
“Nyenyak,” sahut Evan sembari berjalan mendekat. “Aku tidak pernah tidur senyenyak itu sebelumnya.”
“Aku berniat membangunkanmu tapi Barb melarangku. Kupikir kau tertarik untuk melihat ini.”
“Apa yang sedang kau kerjakan?” Danny mengintari potongan kayu besar yang sedang dikerjakannya dan berjalan mendekati papan untuk menjelaskan ilustrasi tentang pekerjaannya pada Evan.
“Ingat yang kukatakan tentang jembatan yang menghubungkan daratan utara dan selatan?”
“Ya.”
“Aku sedang mengerjakannya. Aku telah menemukan sebuah tempat yang tepat, selama dua minggu berturut-turut aku datang kesana untuk mengukurnya, tapi aku belum mendapatkan angka yang tepat. Jadi kupikir aku akan membangun sarang selagi aku mengerjakannya.”
“Sarang apa?”
“Jake dan aku menangkap beberapa burung langka. Beberapa diantaranya sangat unik karena warna bulu dan matanya. Tapi kami belum memiliki sarang untuk meletakkan burung-burung itu, jadi aku akan membuat beberapa ilustrasi yang tepat untuk sarangnya. Kupikir aku akan membuat sarangnya cukup tinggi dan membiarkan bagian atapnya sedikit terbuka. Aku juga akan membuat pengait di bagian pintunya. Seperti ini..” Danny mengangkat satu jarinya untuk menunjukkan ilustrasi yang dimaksud. Evan mengamatinya selagi laki-laki itu menjelaskan fungsi dari semua pengait itu.
Setelah cukup lama berada disana untuk mempelajari hal-hal baru yang diajarkan Danny, Evan sampai melupakan tujuannya. Ia baru benar-benar bertanya ketika hal itu terbesit dalam benaknya.
“Hei, Danny, apa ada pelabuhan di sekitar sini?”
Tanpa menghentikan pekerjaannya untuk mengamplas potongan kayu besar itu, Danny balik bertanya, “pelabuhan apa maksudmu?”
“Ada pantai di luar sana, seharusnya ada pelabuhan.”
“Aku tidak tahu, Evan.. kami tidak pernah keluar dari sini.”
Evan menyipitkan kedua matanya sembari berkata, “bagaimana mungkin! Bagaimana kalian hidup di tengah-tengah hutan seperti ini tanpa keinginan untuk pergi keluar?”
Mulanya Danny tersenyum untuk menanggapi pertanyaan itu. Keheningan sempat menggantung selama beberapa detik sebelum Evan mendengarnya berkata, “apakah kau tidak melihat ke sekitarmu? Ini adalah tempat yang layak untuk ditinggali. Kenapa kau harus pergi ketika kau memiliki semuanya disini?”
“Aku tahu, maksudku.. tidak ada satelit disini. Kau bahkan tidak memiliki telepon untuk menghubungi seseorang diluar sana.”
“Seluruh keluargaku ada disini,” timpal Danny dengan sabar seakan-akan ucapan Evan tidak begitu memengaruhinya. Namun Evan telah berpikir bahwa Danny tidak menanggapi ucapannya dengan serius. Alih-alih memberinya jawaban tentang bagaimana Evan bisa sampai di pelabuhan, Danny justru tersenyum mamandanginya dan membuatnya merasa seperti anak berusia tiga tahun yang baru saja megajukan satu pertanyaan bodoh pada orangtuanya.
Reaksi alaminya adalah memprotes Danny dengan meyatakan maksudnya lebih tegas.
“Aku tidak tahu mengapa begitu sulit bagimu untuk membantuku. Aku hanya perlu tahu jalan untuk kembali ke pesisir pantai jadi aku bisa mencari pelabuhan terdekat dan meminta bantuan. Tapi mengapa kalian tidak mengatakan saja dimana letak pantai itu?”
Keheningan kembali merayap ketika Danny menghentikan perkerjaannya dan mulai memusatkan seluruh perhatian pada Evan. Ketika laki-laki itu berjalan mendekatinya, Evan bergerak mundur dan mengatakan, “tolong! Aku hanya ingin kembali ke keluargaku. Kau bilang kau memiliki keluarga disini – begitupun aku! Aku memiliki keluarga yang menungguku di rumah. Mereka mungkin berpikir bahwa aku sudah mati karena aku tidak dapat menghubungi siapapun untuk memberitahu mereka bahwa aku satu-satunya orang yang selamat dalam kecelakaan itu dan aku masih hidup! Disini!”
Wajahnya memerah saat Evan mulai merasakan amarahnya memuncak. Kedua tangannya terkepal begitu erat sedang nafasnya memburu. Sementara itu Danny masih berdiri di tempatnya dan memandanginya dengan tatapan terbuka, seakan hendak membuktikan bahwa ia berada dipihaknya. Namun bagaimanapun Evan tahu bahwa Danny tidak akan membantunya saat laki-laki itu mengatakan kalimat berikutnya dengan lembut.
“Apakah kau sudah menemui Susan?” Danny tidak menunggu Evan untuk menanggapi pertanyaannya dan melanjutkan, “kau mungkin menyukai Barbara karena kebaikannya, tapi Susan adalah yang paling sabar diantara kami. Pergilah, Nak! Bicaralah dengannya! Kau hanya membutuhkan waktu untuk terbiasa.”
Evan menggeleng, dengan keras menolak gagasan itu saat berkata, “aku tidak ingin terbiasa. Aku juga tidak memiliki banyak waktu!”
Langkah kakinya membawa Evan pergi cepat meninggalkan tempat itu. Emosinya meletup-letup setiap kali mengingat ucapan Danny tentang bagaimana ia harus membiasakan diri berada disana. Namun alih-alih pergi meninggalkan tempat itu untuk menemukan pantai, Evan mendapati akal sehat memintanya untuk pergi menemui Susan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita itu dan mungkin dapat meminta bantuannya. Susan adalah orang pertama yang dilihatnya di pesisir pantai, jika ada seseorang yang dapat menunjukkan jalan padanya untuk sampai disana, maka orang itu sudah pasti Susan.
Ketika langkah kakinya yang tergesa-gesa membawa Evan lebih cepat untuk sampai di kebun, tubuhnya justru terpaku begitu sampai disana. Kedua matanya dimanjakan oleh pemandangan memukau dari hamparan tanaman dengan warna-warna yang memukau, pohon-pohon yang tumbuh subur dan petakpetak rumput yang dikerumuni oleh puluhan atau mungkin ratusan kumbang yang bertebangan di sekelilingnya. Cahaya keemasan sinar matahari jatuh persis di atas rumputnya, menyebar ke setiap sudut kebun dan membuat warna hijaunya tampak bercahaya.
Evan menyusuri jalur setapaknya sembari memandangi setiap jenis tanaman yang hadir disana. Ia dan Hannah juga memiliki kebun kecil di rumah mereka, namun warnanya tidak terlihat seindah itu. Ada banyak jenis tanaman yang baru disaksikannya. Setiap akar dari tanaman itu menancap kuat di bawah tanahnya yang lembab. Batangnya dapat berdiri dengan kokoh bahkan tanpa bantuan penyangga kayu. Daun-daunnya berwarna hijau keemasan, tanah di bawah kakinya juga terlihat subur. Tanah itu berwarna hitam pekat dan itu adalah jenis tanah yang bagus untuk bercocok tanam. Beberapa di antara pohon yang tumbuh disana telah menghasilkan buahnya masing-masing. Evan memahami mengapa mereka tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan makanan di luar sana, semua yang dibutuhkan ada di dalam kebun seluas satu atau dua hektar yang berada di balik dinding kayu.
Kebun itu tampak seperti surganya pada serangga. Evan dapat melihat mereka berkeliaran mengelilingi semua tanaman. Satu-satunya yang terlihat berbeda disana adalah sebuah pohon kering yang berdiri di tengah kebun. Pohon terbesar yang juga menjadi pusat kebun itu memiliki batang besar yang kokoh dan akar yang sempurna. Hanya saja dahan dan rantingnya tampak kosong. Beberapa daun yang menggantung di atas rantingnya telah mengering dan berubah warna menjadi kecoklatan. Daun-daun itu hanya menunggu angin bertiup sebelum berguguran di atas permukaan tanah.
Saat pemandangan itu menyita perhatiannya, Evan berjalan mendekat untuk menyaksikannya lebih jelas. Ia menengadah untuk menyaksikan pohon kering yang tingginya belasan meter di atas kepalanya. Seekor burung kecil hinggap di atas dahan, kemudian burung itu mengepakkan sayapnya dan terbang dengan gelisah. Satu lagi daun gugur untuk menandai kepergian sang burung. Kini Evan menundukkan wajahnya untuk menatap permukaan tanah di bawah kakinya kemudian menyadari ada begitu banyak daun kering yang berguguran di sana. Daun-daun itu menutupi tanah di bawahnya yang tampak kering. Hal itu terlihat aneh karena di antara semua tanaman yang tubuh subur disana, hanya pohon besar itu yang tampak sakit.
Evan masih menengadah untuk memandangi pohon besar itu dengan heran, berusaha menemukan penyebab kegagalannya untuk dapat tumbuh subur seperti seluruh tanaman yang mengelilinginya. Kemudian jawaban itu datang dengan cepat begitu Susan muncul di sampingnya. Wanita itu: mengenakan setelan kasual berwarna biru cerah dan rok sepanjang lutut berwana putih yang menggantung di atas kakinya, membiarkan rambut hitamnya tergerai di belakang bahu. Wajahnya menengadah sedang kedua matanya terbuka untuk menatap ke arah dahan-dahan kering yang menggantung di atas sana. Dari sampingnya, Evan mendengarnya berkata,
“Pohonnya mati selama musim semi.”
Sembari menatap ke sekelilingnya Evan bertanya, “bagaimana mungkin?”
“Itu terjadi semala bertahun-tahun.” Susah melangkah mendekati dahan pohon itu dan meletakkan tangannya di atas sana. “Dahannya menyerap air yang cukup banyak, tapi ketika terpapar sinar matahari, akar-akarnya akan mengering, daun-daunnya berguguran dan tidak menyisakan apa-apa selain dahan-dahan kosong.”
“Bagaimana dengan tanahnya?”
Kini wanita itu menunduk dan membuka telapak tangannya di atas permukaan tanah. Kedua matanya menelunsuri permukaan tanah itu sementara ia menyebar pupuk di atasnya.
“Pohon ini begitu kuat, dia menyerap semua yang energi di sekitarnya. Bukan hanya energi surya, tapi juga energi dari kerak bumi. Akarnya tumbuh sepanjang dua puluh meter di bawah permukaan tanah. Ia juga menyerap panas dari inti bumi dan menyebarkannya ke atas.”
“Tidak mungkin!”
Susan berdiri untuk menatapnya, kemudian tersenyum dan berkata, “itu benar. Sekarang adalah musim panen, ada banyak bibit yang baru tumbuh, aku akan menunjukannya padamu!”
Evan melangkah mengikuti Susan ketika wanita itu berjalan memasuki kabin kecil tempat dimana puluhan bibit baru dikembangbiakan. Mereka mengelilingi tempat itu untuk menyaksikan semua jenis tanaman yang tampak baru untuk Evan. Susan berdiri di sampingnya dengan seember penuh pupuk untuk disebarkan di setiap bibitnya, sementara Evan mengamati cara wanita itu menyebar serpihan pupuk di atas gundukan tanah hitam kemudian menekannya ke seputar batang pohon yang bibitnya baru berusia tujuh hari.
“Mereka tumbuh cepat,” ucap Susan selagi menebar pupuk itu di atas tanahnya kemudian menimpanya dengan tumpukan tanah yang telah di haluskan sebelum menekan lembut tanah itu dengan jari-jarinya.
“Mereka hanya akan makan satu atau dua kali sehari, itu bergantung pada cuacanya. Ketika suhu udaranya meningkat, tanaman ini hanya akan makan sekali, tapi pada suhu udara yang lebih rendah, mereka membutuhkan lebih banyak energi untuk dapat tumbuh.”
Evan mengamati cara Susan menyebut kata ‘mereka’ seolah hendak menekankan peran tanaman itu sebagai bagian penting untuk kelangsungan hidup mereka.
“Hanya tersisa sedikit tanaman jenis ini. Kami menyebutnya kaktus biru karena sekilas mereka terlihat seperti kaktus, tapi.. jika kau memerhatikan lebih baik, dia memiliki rambut biru pada durinya.”
Susan menjulurkan satu jarinya untuk menyentuh duri itu kemudian menunjukkannya pada Evan. “Durinya tidak akan menyakitimu.”
Karena penasaran, Evan mengangkat satu jari dan menyentuhkannya di atas permukaan duri yang halus. Persis seperti yang dikatakan Susan, duri itu sama sekali tidak melukainya. Ia kemudian menunduk untuk mencari tahu bagaimana itu dapat terjadi. Namun ketika Evan mengamatinya lebih jelas, ia justru mendapati semburat berwarna biru halus yang tumbuh memanjang seperti rambut yang mengelilingi setiap durinya.
“Dulu tanaman ini tumbuh subur hampir di seluruh hutan. Tapi kemudian polusi udara yang tercemar membuatnya mati. Manusia berbuat banyak kerusakan dalam peperangan. Begitu banyak yang mati. Bukan hanya spesies hewan langka, namun juga tumbuhan seperti ini.”
Susan tertegun memandangi bibit yang tumbuh itu dengan tatapan kosong.
“Tapi bukannya berhenti, kita justru melanjutkannya dan membuat lebih banyak kerusakan. Sementara orang-orang sibuk beradu argumen, ratusan spesies tanaman mati setiap harinya. Kita menyerap udara segar yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan ini dan menukarnya dengan zat beracun. Berapa banyak spesies yang mati karena polusi itu? Begitu banyak. Setiap detik dunia menjadi semakin sakit. Penebangan liar dan pekerjaan industri memusnahkan puluhan persen tumbuhan di atas permukaan bumi. Berapa banyak yang tersisa?” Susan memutar wajahnya dan berkata, “.. tidak banyak. Keserakahan, amarah, dan sikap egoisme telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari spesies kita. Tapi cinta.. itu nyaris memudar.”
Susan melangkah mendekati bibit lainnya kemudian membuka gundukan tanahnya dan memberi isyarat pada Evan untuk menyebarkan pupuk di atasnya.
“Kau ingin mencobanya?”
Kedua tangannya telah terjulur untuk meraih segenggam pupuk kemudian menyebarkannya secara rata di atas permukaan tanah. Susan membantunya untuk menyebar tanah halus sementara Evan yang meratakan dan menekannya dengan jari-jari terbuka.
“Perlahan..” ucap Susan. “Kau harus membuat bagian tengah yang menopang batangnya lebih tinggi dari permukaannya.”
Evan mengikuti perintah itu dan menekan tanah lebih lembut dengan jari-jarinya. Ia mendapati bahwa pekerjaan bercocok tanam tidak pernah terasa semenyenangkan itu sebelumnya.
“Tidakkah kau melihat betapa rapuhnya mereka?” kata Susan. “Itu juga terjadi ketika kau menatap ke sekitarmu. Ada begitu banyak orang-orang yang mati karena menderita kelaparan. Kejahatan terjadi dimana-mana, pengeboman dan kekacauan yang merusak seluruh ekosistem. Kita menghasilkan sampah tapi tidak berpikir bagaimana sampah itu memusnahkan spesies tumbuhan dan hewan di lautan. Ada begitu banyak kekacauan yang terjadi di luar sana. Untuk alasan apa? Betahan hidup - tentu saja. Itu sifat manusia. Kita tidak bisa menyangkalnya, tapi kita dapat melakukan suatu hal untuk memperbaikinya sebelum semuanya terlambat dan tidak ada lagi yang tersisa. Kau boleh saja melakukan suatu kesalahan dalam hidupmu, tapi sesuatu harus dilakukan untuk memperbaikinya. Ini yang kita lakukan untuk memperbaikinya.”
Susan menatap puluhan bibit di sekelilingnya dan tersenyum puas.
“Bagaimana kau bisa sampai disini?” tanya Evan setelah beberapa saat.
“Aku sedang mencari bibit baru ketika Barbara menemuiku dan mengundangku ke rumahnya. Kami melewati makan malam menyenangkan bersama-sama.”
“Apa dia selalu begitu?”
Susan menatap Evan dan tersenyum saat mendengarnya. “Bersikap baik dan hangat pada setiap orang? Tentu saja.”
“Itu aneh. Aku bahkan tidak mengenal kalian, aku tidak pernah berada di tempat ini.”
“Tapi kami mengenalmu,” ucap Susan.
Evan mengernyitkan dahinya dan bertanya, “apa?”
“Ada dua jenis manusia di dunia ini: mereka yang baik dan mereka yang jahat. Mereka yang baik akan memancarkan cahaya, mereka yang jahat tertutup oleh kabut hitam. Kami melihat cahaya itu pada dirimu dan kau ada disini. Inilah tempatmu.”
“Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?”
Alih-alih menanggapi pertanyaan terakhirnya, Susan justru bertanya, “apa kau bahagia, Evan?”
“Apa?”
“Apa kau bahagia berada disini?”
“Apa aku memiliki pilihan? Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa sampai disini.”
“Itu selalu menjadi pilihan, ingat?” Susan mengangkat satu alisnya, kemudian berbalik untuk menyebarkan pupuk di atas bibit baru. “Kau bisa melihat keindahan apapun yang hadir di sekitarmu, ketika kau memutuskan untuk melihatnya. Itupun berlaku untuk amarah dan kebencian. Semua tampak begitu jelas disini - begitu nyata..” wanita itu mengangkat tatapannya dari gundukan tanah kemudian memandang lurus dengan tatapan kosong seolah-olah pikirannya sedang menyelami suatu lautan yang dalam nun jauh di sana.
“.. setiap cinta dan ketulusan akan memancarkan cahaya yang indah. Kau akan melihat mereka sebagai wujud warna yang memantulkan gelombang cahayanya sendiri, tapi lebih dalam. Apa yang kau saksikan adalah pantulan dari keinginan dan harapan. Mereka menari-nari di depan mata kita seperti sekerumunan kumbang yang mengerubungi mawar. Kau akan melihat hal terbaik yang ingin kau saksikan, itu bergantung dari caramu memandang ke setiap sudut tempat. Keindahan bisa kau dapatkan dimana saja, kapan saja.”
“Aku pernah mendengar seseorang mengatakannya,” ucap Evan untuk menanggapi kalimat terakhir yang disampaikan Susan.
“Seseorang itu pasti dirimu. Kau harus menerima dirimu sebagaimana adanya. Penyangkalan tidak dapat menolongmu selamanya. Mereka hanya akan mengurung jiwamu di tempat yang sama dan menyelimutimu dengan kabut hitam sehingga kau tidak dapat melihat cahaya. Tapi keyakinan selalu ada di dalam dirimu. Ketika kau akhirnya berhasil membebaskan dirimu dan menerima segalanya, pikiranmu sepenuhnya terbuka dan keindahan itu akan datang dengan sendirinya.” Susan melangkah mendekatinya dan melanjutkan ucapannya dengan lembut, “tidakkah kau mengerti Evan? Penyangkalan hanya menutupi jalan untuk sampai disana. Kau harus membebaskan dirimu dari rasa bersalah. Luka itu hanyalah bagian dari apa yang terjadi dalam hidupmu dan sebagai luka selayaknya, itu selalu dapat disembuhkan, tapi tidak dengan peyangkalan.”
Sementara wanita itu memandanginya dengan hangat, Evan mendengus keras setelah mendengarnya. Rahangnya tertarik ketika ia menyeringai lebar dan mengatakan, “kau pikir kau mengenalku, bukan begitu?”
“Aku bisa melihat cahayamu..”
“Aku bahkan tidak tahu apa yang kau katakan!” potong Evan dengan suara keras. Kedua tangannya terkepal erat, rahangnya mengeras sedangkan wajahnya memerah. Evan dapat merasakan darahnya mendidih. Suatu bagian dari dirinya meneriakkan sebuah protes, berharap ia dapat melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu dan kembali pada keluarga kecilnya. Bayangan akan wajah Hannah dan Melissa telah menyita perhatiannya, membuat kegelisahannya memuncak dalam sekejap. Namun setiap kali ia menatap ke atas langitnya yang tampak lebih rendah di sana, dimana ia dapat menyaksikan ribuan bintang terhampar lebih jelas, ia hanya mendapati dirinya berada dalam suatu kebingungan yang membuatnya tersesat.
“Aku hanya ingin menemukan pantai itu. Aku melihatmu pergi kesana saat itu dan kemudian aku mengikutimu sampai kesini. Tiba-tiba aku tersesat. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk dapat kembali ke pantai itu. Danny tidak mau mengatakan apapun tentang pantai itu – mungkin dia berpikir bahwa aku hanya berhalusinasi. Jake juga tidak membantuku, dia hanya membawaku berputar-putar, tapi kau ada disana! Kau pastinya menjadi satu-satunya orang yang dapat membantuku untuk sampai disana.”
Wanita itu tertegun selama beberapa saat. Evan menyaksikan bagaimana Susan mengedipkan kedua matanya saat menatap kosong melewati bahunya. Kemudian wanita itu berkata, “ada sebuah tempat yang kami sebut Laguna. Semua orang berkumpul disana untuk bertemu satu sama lain. Kami menyebutnya sebagai: tempat tanpa penyesalan, amarah, dan kekecewaan. Setiap orang membawa lampion dan mereka akan melepasnya ke atas langit untuk melepas semua emosi itu. Mereka akan terlahir kembali dan kau akan melihat cahayanya.”
“Itu tidak akan membawaku kembali pada keluargaku.”
Susan menggeleng, “tidak, tapi itu akan membantumu untuk merelakannya.”
Pernyataan terakhir itu membuat Evan naik pitam. Pikirannya menolak semua gagasan tentang jenis keajaiban apapun yang hendak disampaikan Susan. Alih-alih memberinya jawaban, hal itu justru membuatnya merasa geram. Untuk meredakan rasa frustrasinya, Evan memutuskan berjalan mendekati anak sungai dan duduk di bantarannya. Pikirannya terpusat pada bagaimana cara agar ia dapat menemukan jalan keluar dan kembali ke pantai. Namun setelah berjam-jam duduk untuk merenunginya sembari menyaksikan aliran air sungai yang bergerak tenang disana, Evan mendapati bahwa berdiam diri tidak memberinya jawaban. Keajaiban tidak datang ketika ia tidak melakukan apapun.
Pikirannya sibuk mencari cara untuk dapat keluar dari sana. Evan sedang melempar bebatuan kecil ke seberang sungai ketika salah satu dari lemparannya melayang jauh hingga membentur sebuah permukaan keras yang bersembunyi di balik semak-semak. Hal itu segera menarik perhatiannya. Setelah bangkit berdiri, ia bergerak menyebrangi sungai kemudian menunduk di antara semak-semak untuk menarik sebuah peti kayu yang tersembunyi disana.
Peti itu menyimpan beberapa perkakas seperti besi-besi tidak terpakai dan sebuah kaca yang memantulkan bayangan dari objek yang ditangkapnya. Evan merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan kompas pemberian Melissa. Jarum kompas itu masih tidak bekerja dengan baik, pusatnya berputar ke segala arah dan ia berusaha memecahkan masalah tentang bagaimana hal itu dapat terjadi. Kemudian Evan mengingat catatan lamanya di kabin. Tempat ini mengingatkannya tentang persoalan gravitasi yang kala itu ia coba untuk pecahkan. Setelah bertahun-tahun, Evan tidak berhasil menemukan jawaban tentang permasalahannya, dan ia terpikir bahwa keanehan yang terjadi di tempat itu mungkin saja akan memberinya jawaban tentang apa yang coba ia pecahkan selama ini.
Evan merasa seperti seorang anak berusia tiga tahun yang bersemangat untuk memulai sesuatu yang baru. Untuk kali pertama sejak ia menginjakkan kakinya disana, ia memiliki sebuah alasan untuk dilakukan. Mungkin, hal itu akan membantunya keluar - mungkin itu hanya sekadar mengalihkan pikirannya dari situasi yang tidak dapat ia hindari. Namun siapa yang tahu? Segala hal layak dicoba, dan ia telah memutuskan untuk menyelesaikan eksperimennya saat itu.
Evan bekerja sepanjang sore untuk mengumpulkan kayu dari hutan, kemudian menyusunnya menjadi kabin kecil tempat dimana ia akan memulai eksperimennya. Tidak ada mesin canggih untuk memulai semua itu, namun Evan belajar banyak hal selama bertahun-tahun bekerja di laboratorium milik Daniel, ayah Hannah. Pria itu tidak hanya menjelaskan pada Evan tentang eksperimen yang sedang dilakukannya, namun juga menjelaskan secara detail apa fungsi dari mesin, bagaimana menggunakannya dan bahan-bahan untuk menyusunnya. Evan pernah merancang teleskopnya sendiri, kali ini tidak akan berbeda. Ia hanya perlu bekerja lebih keras untuk meluruskan niatnya.
Ketika langitnya mulai gelap dan kabut tebal menyelumti anak sungai itu, Evan memutuskan untuk kembali pada kenyamanan yang ditawarkan oleh keluarga itu. Ia mendapati alasan yang dimilikinya selalu sama: bahkan akan ada hari esok yang menantinya - bahwa mungkin ia dapat melakukan sesuatu untuk kembali pada keluarga kecilnya. Nyatanya hal itu membuatnya merasa lebih kosong dari yang sudah-sudah. Evan mendapati dirinya membiarkan langkah kaki itu menuntunnya untuk kembali pada Barbara, Danny, Susan, Ed, dan Jake yang - tanpa diduga-duga - telah menanti kehadirannya dan ketika itu terjadi, Barbara akan selalu merentangkan kedua tangan untuk menyambutnya, membisikkan kalimat yang sama ke telinganya: “kami sudah menunggumu!”
Akhirnya, Evan melewati satu lagi momen untuk berada di tengah-tengah mereka, menikmati burito terlezat yang pernah ia santap dan melewati obrolan panjang yang - entah bagaimana - terasa menyenangkan.