Evan tersentak bangun dari tidur ketika sebuah busur melesat beberapa senti tepat di atas kepalanya. Ketika ia menegadah, ia menyaksikan panah tajam busur itu menancap pada batang pohon oak, nyaris saya mengenainya. Reaksi kejut yang dialaminya, membuat ia bangkit berdiri kemudian menatap ke sekitarnya. Kala itu, ia menyaksikan seekor kijang di belakangnya berlari terburu-buru melompati dahan pohon yang tumbang dan menghilang di semak-semak tinggi.
“Ah.. meleset!”
Seseorang di kejauhan sana menggerutu. Pria ini: laki-laki berambut hitam, dengan tinggi sekitar seratus sembilan puluh sentimeter dan memiliki sepasang bahu lebar, berjalan mendekatinya. Dari perawakannya Evan menebak usianya hanya sekitar tiga puluh atau tiga puluh lima tahun. Garis wajahnya mengingatkan Evan pada seseorang yang hampir tidak bisa ia ingat. Pria ini memiliki rahang dan tulang hidung yang tinggi, kulitnya yang terbakar sedikit berwarna kecoklatan, ia juga memiliki sepasang kaki yang besar dan panjang seperti atlet marathon, namun dengan kaus polos dan busur yang melingkari bahunya, ia lebih terlihat seperti seorang pemburu andal.
“Hei!” sapanya ketika ia bergerak mendekat. Pria itu menyeringai lebar sementara Evan membeliakkan kedua matanya dengan kesal. Amarah menguasainya. Ia bergerak mundur dengan waspada setiap kali pria itu berjalan mendekatinya.
“Apa itu?” tanya Evan dengan suara keras, ia merasakan bagaimana rahang dan urat-uratnya menegang dengan kaku. “Kau akan membunuhku!”
Pria itu meletakkan panahnya kemudian mengangkat kedua tangannya dan berkata, “aku tidak berniat membunuhmu.”
“Jadi kau pikir apa yang kau lakukan? Melepas panah untuk bersenang-senang?”
“Hanya berburu,” pria itu menjelaskan. Tanpa rasa bersalah ekspresinya tampak begitu tenang. Sementara ia terus bergerak mendekati Evan, Evan mengambil langkah untuk menjauhinya. Akhirnya mereka hanya berputar-putar di sekitar sana.
“Hanya berburu?” Evan mengulangi sembari mendengus keras.
“Ya! Tidakkah kau melihat kijangnya? Dia salah satu yang langka, kau hanya akan menemukannya di lembah utara, tapi dia datang beberapa hari yang lalu – aku tidak yakin, kupikir dia tersesat. Tapi aku tidak pernah mendapatkan kijang yang seperti itu sebelumnya. Mereka sangat lincah dan bintik-bintik di tubuh mereka, tidakkah kau memerhatikannya? Itu barang yang sangat berharga, kau tidak akan menemukannya di selatan. Dan ya, tembakanku meleset, jadi.. tampaknya ini bukan hari keberuntunganku.”
“Ya..” Evan mendengus keras. “Tapi ini hari keberuntunganku, karena jika tidak, panahmu pasti sudah mengenai wajahku.”
Pria itu berjalan mendekati batang pohon oak kemudian menjulurkan tangan untuk melepas panahnya dari sana. Ia meletakkan panah itu bersama anak panah lainnya ke dalam tas sembari berkata, “ini tidak akan melukaimu.”
“Apa?”
“Ayo temukan kijangnya! Apa kau akan ikut denganku?”
“Tidak, tunggu. Siapa namamu?”
Pria itu menatapnya, kemudian tersenyum lebar dan memperlihatkan sederet giginya yang rata. “Aku Jake dan kau Evan.”
“Bagaimana kau tahu namaku?”
Jake menunjuk pada papan nama yang tertulis di seragamnya. “Tertulis jelas disana. Kau ikut denganku atau tidak?”
Evan tertegun selagi mengamati Jake bergerak sembari menatap ke sekitarnya dengan gelisah. Kemudian begitu mereka mendengar suara gemerisik semak-semak dan menangkap sebuah pergerakan di kejauhan, Jake melangkah pergi mengikuti dimana sumber suara itu berasal. Namun Jake belum sampai beberapa langkah meninggalkan tempat itu ketika Evan menghentikannya.
“Tunggu! Aku butuh bantuanmu. Aku tersesat dan aku harus kembali ke pantai.”
“Kau tersesat?” Jake terkekeh. “Oke, ayo ikut denganku.”
Evan dihadapi pilihan untuk menuruti Jake atau berbalik dan melanjutkan perjalanannya untuk sampai di pantai. Namun Jake telah melangkah jauh meninggalkannya dan tampaknya pria itu tidak memberi Evan banyak waktu untuk menentukan pilihan. Jadi, berbekal harapan bahwa ia akan menemukan persisir pantai, Evan berjalan membuntuti Jake.
Mereka berlari menyusuri jalur setapak dan undakan bebatuan yang mengarahkan mereka pada lembah sempit tak jauh disana. Mulanya hal itu memberi Evan harapan baru bahwa ia benar-benar akan sampai ke persisir pantai karena jalur yang dilaluinya tampak berbeda dari jalur yang ia ambil untuk sampai disana. Namun, semakin jauh mereka melangkah, ia mendapati dirinya tersesat lebih jauh.
Evan tidak mengingat sebuah ngarai sempit yang dilaluinya untuk sampai di pesisir pantai. Ia juga tidak mengingat tembok batu besar di kedua sisi ngarai itu yang berdiri miring dan saling menghimpit ngarainya. Namun Jake melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Langkah kakinya yang panjang membawa mereka menyusuri ngarai itu dan keluar dari himpitan dua tembok besarnya.
Sementara itu, air ngarainya tampak sangat jernih. Tingginya tidak sampai mata kaki, namun bebatuan besar tersusun memanjang di atas permukaannya seolah-olah seseorang sengaja meletakkannya disana untuk membantu siapapun yang hendak melewati ngarai itu tanpa perlu menginjak permukaan airnya.
Evan mengambil langkahnya dengan berhati-hati ketika melompati setiap permukaan batu untuk keluar dari sana. Di bawah tembok batunya yang tinggi, suara gemuruh air terdengar keras di telinganya. Jake melompat dari satu batu ke batu lainnya tanpa mengalami kesulitan, dalam hitungan detik, laki-laki itu sudah belasan meter jauhnya dari Evan. Jake juga mengatakan sesuatu, namun gemuruh air yang jatuh dari lubang di antara tembok batu menuju permukaan ngarai itu berhasil meredam suaranya. Akhirnya Evan memutuskan untuk berkonsentrasi pada setiap langkah yang diambilnya sehingga ia tidak akan terpeleset jatuh.
Ketika mereka berhasil keluar dari tembok batu yang menghimpit ngarai itu, Evan menyaksikan kabut tebal menyelimuti pemandangan di hadapannya. Ia menjadi gelisah ketika kehilangan Jake. Kakinya melangkah tak menentu arah sementara matanya menyapu ke sekitar, berusaha menemukan Jake atau jalan keluar dari sana. Kemudian seseorang dari belakang menggenggam tangannya dengan kuat dan menariknya untuk berlari keluar dari kabut itu.
“Hei, jangan khawatir! Itu hanya kabut. Tidakkah kau merasakannya? Disanalah letak kesenangannya.”
Jake berlari dengan cepat sehingga Evan tidak memiliki kesempatan untuk menanggapinya. Nafasnya memburu ketika Jake membawanya menyusuri undakan batu yang mengarahkan mereka ke sebuah goa di atas sana. Ketika Evan menatap ke sekelilingnya, ia menyaksikan beragam warna dari tanaman di sekitar sana mengelilinginya. Jalur di hadapannya seakan terbuka setiap kali Evan mengambil langkah maju. Semak-semak dan rumput yang menghalangi jalur itu seakan bergerak mundur untuk memberinya jalan, dahan-dahan pohon ikut menunduk, beberapa di antaranya menawarkan buah-buahan segar yang dapat dipetik dengan bebas. Air jernih mengalir jatuh di antara bebatuan, seolah-olah tersedia untuknya kapanpun dibutuhkan. Undakan batu yang untuk sampai di atas goa juga membentuk sebuah tangga sehingga Evan tidak harus bersusah payah untuk memanjatnya.
Jake yang sampai di atas goa lebih dulu menjulurkan tangannya untuk menawarkan bantuan. Evan memercayainya dengan mudah ketika ia menerima bantuan itu dan membiarkan Jake menariknya ke atas – seolah-olah itu adalah hal yang seharusnya ia lakukan, seolah-olah memercayai Jake dan menerima bantuannya adalah hal yang tepat. Evan mengalami kesulitan untuk memahami keputusannya untuk mengikuti Jake kemanapun pria itu membawanya, namun setiap langkah diambilnya tanpa ragu. Instingnya mengatakan kemanapun mereka pergi, Jake akan menjaganya tetap aman.
Hingga ketika mereka sampai di puncak goa, Evan menatap ke sekelilingnya. Dinding batu yang berdiri sepanjang dua meter di atas kepalanya memantulkan setiap suara yang diucapkannya. Kegelapan menyelimutinya ketika Jake membawanya masuk lebih dalam, kemudian pada detik berikutnya sebuah cahaya terlihat, cahaya itu membesar ketika mereka mengambil langkah untuk mendekatinya. Pada akhirnya, cahaya itu membentuk lubang sebesar daun pintu yang memperlihatkannya pemandangan keluar dari dalam goa.
Jake meraih sebuah batu kecil dan mengukir sebuah garis di atas dinding batunya. Evan mengamati bahwa garis itu berkumpul bersama ukiran garis lainnya dan membentuk sebuah susunan garis memanjang yang mengisyaratkan sebuah angka.
“Apa itu?” tanya Evan akhirnya.
“Ini hari pemburuan ke-dua ratus tiga puluh satu, hanya tersisa lima belas hari sebelum titik balik. Aku tidak ingin melewatkan momennya, jadi aku mencatatnya di dinding ini – sebagai pengingat.”
“Titik balik?”
“Ya, ketika matahari berada lebih rendah di atas kepalamu dan musim berburu dimulai. Suhu udaranya akan terasa hangat di daratan selatan sehingga semua hewan dari utara akan bermigrasi kesini. Itu adalah musim berburu terbesar.”
Jake berjalan mendekati sumber cahaya dari dalam gua itu dan berhenti di tepiannya.
“Kemari!” katanya.
Evan melangkahkan kaki untuk menatap keluar lubang cahaya itu. Dari tempatnya berdiri ia menyaksikan pemandangan yang membuatnya terpukau. Rasanya ia dapat melihat setiap sudut hutan dari ketinggan itu. Persis di bawahnya, sebuah ladang membentang luas. Rerumputan tinggi tumbuh di atas permukaan tanahnya. Mamalia dan serangga berkeliaran dengan bebas disana. Belasan jenis tanaman mengelilingi mereka. Evan menyaksikan kumbang berkeliaran dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Sementara sinar matahari yang muncul dari arah yang berlawanan jatuh lembut di atas dedaunan hijau dan memberi semburat berwarna keemasan di sekitarnya. Sebuah sungai kecil mengalir di bawah sana, airnya cukup jernih, beberapa mamalia berkeliaran di sekitar sana. Evan menyaksikan ketika seekor kijang menjulurkan kepalanya untuk meminum air dari sungai itu. Puluhan atau mungkin ratusan kumbang berterbangan dimana-mana, pohon-pohon tumbuh subur dengan buah-buahan yang menggantung rendah di dahannya. Tempat itu seperti sebuah lukisan yang dipajang di gereja. Sebuah lukisan yang menilustrasikan gambaran tentang surga dan anak-anak Adam yang berkeliaran di atas rumput-rumput tingginya, memetik sari buah dari pohon dengan dahan yang menunduk pada mereka dan memberikan gambaran tentang kedamaian disana.
Evan hanya pernah melihat tempat seperti itu di dalam lukisan yang terpajang di gereja. Ia suka mengamati belasan warna bunga yang hadir disana, puluhan hewan liar yang berkeliaran di sekitarnya dan juga sebuah sungai yang mengalirkan air jernih. Rasanya seperti menatap ke arah lukisan yang sama, hanya saja pemandangan yang disaksikannya di bawah sana tampak nyata.
Sementara Evan masih terpaku oleh pemandangan di hadapannya, Jake berdiri di sampingnya sembari tersenyum. Kedua mata birunya berkilat. Kemudian Evan membuka mulutnya dan bertanya, “tempat apa ini?”
“Tempat-apapun-yang-kau-inginkan.” Jake mengucapkannya dengan perlahan dan oleh karenanya, Evan memutar wajah untuk menatapnya.
“Apa itu benar-benar nyata?”
Jake menautkan anak panahnya di atas busur dan bersiap untuk menembakkannya pada seekor kijang di bawah sana hanya untuk membuktikan bahwa apa yang dilihat Evan saat benar-benar nyata. Namun Evan menghentikannya jauh sebelum Jake melepas anak panah itu. Kini tatapannya menyapu ke atas langit - ia mencari-cari.
“Angin bertiup dari selatan bukan utara. Kenapa begitu? Siang terasa lebih panjang dan langitnya selalu tampak cerah. Sementara medan magnetnya.. kenapa kompas tidak dapat berfungsi dengan baik disini? Kupikir matahari seharusnya terbit dari arah yang berlawanan. Dimana pantai itu?”
Jake tersenyum alih-alih menjawabnya.
“Kau tidak tahu dimana letak pesisir pantai itu, bukan?”
“Cobalah untuk melihat ke sekelilingmu!”
“Ini tempat yang aneh.”
“Tidak,” Jake menyanggah dengan cepat. “Ini tempat yang mudah. Kau hanya belum terbiasa.”
“Bagaimana mungkin aku berada disini? Seharusnya aku tidak sampai ke sini.”
Alih-alih mengacuhkannya, Jake melangkah menuruni undakan batu dan menyerukan sesuatu dari bawah sana.
“Ayo ikutlah bersamaku! Kau belum melihat bagian paling menariknya.”
Meskipun ragu untuk melangkahkan kakinya menyusuri tempat itu, anehnya Evan tetap mengikuti kemana Jake pergi. Laki-laki itu membawanya ke sebuah lereng dimana Jake memintanya untuk mengendap-endap dan bersembunyi di balik batu besar sembari mengawasi sebuah sarang besar yang berada di dekat sana. Mereka menunggu disana selama beberapa detik hingga Evan menyaksikan seekor beruang hitam baru saja keluar dari persembunyiannya. Kedua matanya membeliak ketika ia menyaksikan beruang itu berjalan menjauh meninggalkan sarangnya.
Sementara itu Jake telah bersiap mengangkat busurnya ketika Evan menghentikannya dengan bertanya, “tunggu! Kau tidak akan membunuhnya, kan?”
“Tidak sekarang.” Laki-laki itu menyeringai lebar kemudian mengembalikan panahnya sebelum berjalan cepat memasuki sarang.
Evan memandang ke sekelilingnya dengan gelisah, khawatir jika beruang besar itu muncul dan menyerangnya. Namun Jake dengan santainya memasuki sarang itu dan melambaikan tangan agar Evan mengikutinya.
Ketika akhirnya Evan menyerah pada kehendak untuk mengikuti Jake, ia menyaksikan laki-laki itu duduk meringkuk di atas permukaan rumput dengan dikelilingi oleh tiga bayi beruang. Sementara itu, Evan berdiri mematung di tempatnya. Tubuhnya berdiri dengan waspada dan matanya terus mengawasi ke sekitar.
“Hei!” bisiknya. “Kita harus pergi!”
“Jangan khawatir. Ini tidak berbahaya.”
“Aku tidak khawatir tentang bayi beruang itu, aku khawatir tentang ibunya.”
“Dia tidak akan kembali dalam waktu dekat, Evan! Bersenang-senanglah selagi bisa.”
Nyatanya Jake tidak bergegas pergi meninggalkan sarang itu hingga mereka menangkap pergerakan beruang besar di antara semak-semak. Evan dapat merasakan nafasnya memburu, matanya menatap ke sekitar dengan awas sebelum Jake mengejutkannya dengan menariknya dan membawanya berlari menelunsuri tempat yang tampak asing disana.
Setelah meninggalkan sarang beruang itu, Evan berpikir bahwa mereka telah tersesat, namun Jake justru membawanya ke tepian dimana ia dapat menyaksikan air terjun di dekat sana bergerak jatuh menghantam permukaan sungai di bawahnya. Suara gemuruh airnya terdengar begitu keras hingga meredupkan suara apapun yang muncul disana. Namun, untuk sampai di puncak, mereka harus berjalan menyusuri undakan jalur bebatuan yang curam dan terjal. Jalurnya begitu sempit, lebarnya tidak sampai dua kaki sehingga mereka harus merapatkan tubuh pada dinding batu untuk menyusurinya. Sementara itu, sungai panjang menganga di bawah sana. Arusnya cukup deras. Pepohonan tinggi berbaris di kedua sisi sungai, dahan-dahannya seakan siap untuk menyambut siapapun yang kehilangan langkah dan terjatuh ke bawah sana.
Mungkin seseorang yang terjatuh akan mati seketika. Evan dapat merasakan adreanlinnya berpacu kuat saat ia menunduk dan melihat ke bawah pada ketinggian itu. Tanpa disadari tanggannya yang bergetar hebat mencengkram permukaan batu dengan erat. Namun pemandangan yang menunggunya di puncak benar-benar memukau. Jake tidak hanya memberinya pengalaman baru untuk mengunjungi sarang beruang, namun juga merak. Evan menyaksikan belasan ekor merah membuka sayap mereka yang indah dan berkeliaran dengan bebas mendekati air terjun.
Kedua matanya terpukau oleh pemandangan itu. Namun Evan hanya berdiri kaku di tempatnya selagi mengamati Jake berjalan di antara belasan ekor merak itu dengan santainya dan bersenang-senang.
Perjalanan itu terasa singkat ketika Evan menyaksikan langitnya mulai gelap. Mataharinya telah tenggelam di ufuk langit dan kini awan hitam menyelimuti bumi. Jake membawanya menyusuri jalur setapak. Evan tidak harus bergerak dengan terburu-buru karena tidak ada sesuatu yang hendak mereka kejar. Sementara itu, Jake memperlambat langkahnya dan berbicara dengan Evan di sepanjang perjalanan. Meskipun tidak yakin tentang kemana laki-laki itu akan membawanya kali ini, Evan terus mengikutinya tanpa ragu.
“Dimana letak pantai itu sebenarnya? Apa kau akan memberitahuku?” tanya Evan di tengah percakapan mereka.
“Ketika aku tahu, aku akan memberitahumu. Lagipula, kenapa kau terus membicarakan tentang pantai itu?”
“Karena aku harus pergi ke sana dan mencari bantuan.”
“Bantuan? Aku akan membantumu. Katakan saja apa yang kau butuhkan!”
“Aku membutuhkan bantuanmu untuk menunjukkan jalan ke pantai itu,” Evan bersikeras. Jake tertawa, alih-alih menanggapinya dengan serius.
“Apa?” tanya Evan.
“Tidak, hanya saja aku sangat kelaparan. Apa kau tidak merasa kelaparan?”
“Sebenarnya aku sangat lapar.”
“Kalau begitu kita datang di momen yang tepat.”
“Apa maksudmu?”
“Kau akan tahu.”
Sebuah momen yang tepat yang dimaksud Jake adalah momen dimana laki-laki itu membawanya kembali ke bangunan yang sama tempat dimana ia bertemu dengan empat wajah familier yang menyambutnya dengan hangat. Pada awalnya Evan terperangah ketika Jake menariknya untuk bergabung ke dalam pesta barbeku mereka yang digelar di pekarangan rumah. Namun setiap orang yang hadir disana menyambutnya dengan hangat, mereka bahkan telah menyiapkan satu kursi kosong untuknya, seolah-olah tahu bahwa Evan – entah bagaimana – akan kembali dan bergabung bersama mereka.
Wanita asia berambut gelap itu duduk menempati satu kursi kosong di belakang api unggun sembari tersenyum dan melambaikan tangan ketika melihatnya. Sementara itu, wanita gemuk yang sama memeluknya untuk kali kedua, kali ini mengatakan sesuatu yang terdengar familier di telinganya: “Oh! Kami sudah menunggumu. Selamat datang kembali.”
Dua pria yang sama: pria tua dan satu yang lain pria paruh baya ikut menyambutnya dan meminta Evan untuk menempati kursi kosong disana. Evan mengamati pria tua itu berdiri di belakang alat pemanggang dan meletakkan potongan danging terakhir yang baru saja matang di atas piring kosong. Laki-laki itu mendongak dan tersenyum ke arahnya. Sementara pria paruh baya menghampirinya dan memberikannya segelas minuman dingin. Jake tidak merasa kesulitan untuk memilih kursinya. Ia duduk persis di samping wanita asia yang terus memandanginya.
Ketika semua orang mulai menempati kursi mereka yang disusun menglilingi api unggun, keheningan mulai menjalar. Evan merasakan suatu perasaan aneh yang menyelimutinya ketika ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah lingkaran itu. Untuk satu alasan yang tidak dapat dijelaskan ia merasa kesulitan dalam menentukan keputusan. Namun langit di atasnya telah gelap, sementara angin dingin mulai terasa menusuk kulitnya. Sementara itu api unggun di hadapannya menawarkan kehangatan. Orang-orang disana – yang bahkan baru saja dijumpainya – menyambut Evan layaknya keluarga. Ia tidak mendapati kesulitan untuk berada di tengah-tengah mereka kecuali karena sebuah pemikiran yang muncul tentang betapa anehnya hal itu.
Sudah terlalu larut untuk pergi. Ada seribu alasan untuk tetap tinggal. Besok, katanya. Besok ia akan pergi dan menemukan jalan yang tepat untuk kembali ke pantai. Namun malam ini Evan bermaksud untuk duduk dan mendengarkan mereka berbicara. Keterbukaan mereka, obrolan-obrolan ringan dan suara tawa mereka menggema di kepalanya. Namun sesuatu yang tidak dapat ia pahami adalah bertapa anehnya hal itu – betapa familiernya keyamanan itu, seolah-olah pencariannya akan suatu hal yang absurd selama bertahun-tahun terhenti disana dan tiba-tiba ia melupakan tujuannya.
“Jadi Evan, kau sudah mengenalku sekarang,” ucap wanita bertubuh gemuk yang tampak mendominasi percakapan mereka malam itu. “Aku Barbara, atau kau boleh memanggilku Barb. Meskipun begitu Ed suka memanggilku Bear ketika dia sedang kesal..”
Seluruh orang yang hadir disana tertawa keras, namun Evan tidak menunjukkan reaksi lebih selain menarik rahangnya dan tersenyum saat mendengarnya. Barbara akan tampak seperti yang paling bersemangat di antara yang lainnya. Penampilannya yang tidak acuh mempertegas perannya sebagai pengurus rumah tangga yang akan memastikan setiap penghuni rumahnya makan dengan cukup dan tidur dengan nyenyak. Tatapannya hangat, senyumnya memukau. Tubuhnya sedikit gemuk, namun wanita itu memiliki perangai yang membuat siapapun merasa begitu diterima. Bahkan, Evan tidak memiliki kesulitan untuk menyukainya.
Barbara tampil seperti seorang ibu yang diharapkan setiap anak. Celemek kotor yang terikat di pinggangnya mengatakan bahwa wanita itu menghabiskan lebih banyak waktu untuk berada di dapur ketimbang yang lainnya dan karena Evan duduk di dekatnya, ia dapat mencium aroma pai apel yang menguar dari tubuhnya. Aroma itu tercium enak dan berhasil membawa ingatan tentang masa lalunya yang tak terlupakan di lumbung ketika Evan menyantap pai apel buatan ibunya dengan lahap. Memori itu terulang selagi Barbara menceritakan pengalamannya.
Tidak hanya itu, Barbara juga memperkenalkannya pada Danny, pria paruh baya yang duduk di seberang sebagai suaminya. Seperti yang dikatakan wanita itu, Danny suka membuat peralatan dari kayu. Ia bekerja di pondok sepanjang hari untuk membuat beberapa barang. Danny menceritakan pengalamannya untuk membangun rumah yang kini ditempati mereka bersama-sama dan dengan bangga laki-laki itu mengatakan bahwa ia telah memiliki sebuah rencana besar untuk membangun jembatan yang akan menghubungkan daratan utara dengan daratan selatan.
Sementara itu, wanita asia yang duduk di samping Jake bernama Susan. Yang mengejutkan adalah mereka tidak memiliki hubungan kekeluargaan sebelumnya. Barbara hanya mengatakan bahwa ia bertemu dengan Susan secara tidak sengaja di sebuah tempat. Bagaimana Susan dapat berada disana adalah cerita lain, namun Barbara mengatakan bahwa Susan pandai dalam urusan berkebun. Wanita Asia itu telah membantunya mengurus kebun mereka selama bertahun-tahun.
“Kebun itu dulunya kering,” ucap Barbara. “Aku bahkan tidak tahu apa yang dapat kulakukan untuk menyelamatkan tanaman-tanaman itu. Aku hanya memberinya pupuk dan air, kupikir itu sudah cukup, tapi ternyata tidak. Kemudian Susan menyelesaikan masalah kebun dengan sangat baik, sekarang ada lebih banyak pasokan makanan yang bisa kudapatkan dari kebun itu. Dia tahu bagaimana cara menabur pupuk dan membuat tanaman itu menghasilkan sesuatu. Sesekali, kunjungilah kebun kami dan lihat apa yang dia perbuat disana. Itu sangat indah.”
“Barbara suka memuji,” timpal Susan sambil tersenyum. “Apa yang kulakukan tidak lebih dari apa yang dia lakukan terhadap semua tanaman itu. Seperti katanya, aku hanya menabur pupuk dan memberinya air.”
“Tunggu sampai kau melihat kebunnya!” ucap Barbara sembari mengedipkan satu matanya.
Barbara memperkenalkan Jake sebagai kerabat terdekat. Wanita itu tidak menyebutkan secara pasti hubungan kekerabatannya dengan Jake kecuali karena ia mereka telah memutuskan untuk menjadi keluarga. Sementara itu, Edmund alias Ed adalah yang tertua di antara mereka. Laki-laki berusia tujuh puluh tahunan itu seperti orangtua dari semua yang hadir disana. Ed suka menceritakan pengalaman masa kecilnya, peperangan yang terjadi pada masa itu dan kebodohan yang dilakukannya saat remaja. Setiap orang yang berada dalam lingkaran itu akan mendengarnya dengan serius, tersenyum ketika Ed menyampaikan gurauannya tentang dunia yang sudah berubah dan juga filosofinya tentang hidup.
Ed juga menceritakan sebuah tempat yang terdengar seperti biara kecil dimana ia suka pergi untuk menyendiri disana. Sebuah tempat yang membuat Evan merasa penasaran.
“Ceritakan pada kami tentangmu, Evan!” ucap Barbara. “Apa saja yang kau lalui?”
“Ya, ceritakan pada kami!” timpal Jack dengan bersemangat.
Evan menatap lidah api yang m******t kayu ketika memikirkannya. Tiba-tiba suasana menjadi hening dan semua orang yang hadir dalam lingkaran itu menatapnya, tersenyum sembari menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Evan memikirkan dimana ia akan memulai cerita itu? Ada banyak hal yang muncul di kepalanya dan menanti untuk disampaikan, namun ia memilih untuk memulainya dengan menceritakan kejadian terakhir yang dapat diingatnya sebelum ia sampai di tempat ini.
“Aku mengendarai roket bersama lima orang awak, kami akan pergi ke bulan kemudian menuju Mars, tapi kami belum sampai disana - kami bahkan belum meninggalkan bumi ketika sesuatu yang salah terjadi pada mesinnya dan roket kami jatuh ke laut. Aku sempat pingsan, kemudian aku terbangun dan aku berada di tengah laut. Aku masih mengingat suara teriakan awak kapalku, mereka berteriak meminta tolong, tapi aku tidak dapat melakukan apapun karena.. aku juga membutuhkan bantuan. Kaki dan lenganku terluka karena kejadian itu, aku melihat darah membasahi pakaianku, tapi masalah tidak berakhir sampai disana. Aku terjebak di tengah laut, di dalam kapsul roket itu. Aku berusaha menghubungi seseorang untuk meminta bantuan, tapi satelit kami teredam air dan alat itu terlepas dari tanganku. Pada detik berikutnya yang kutahu air laut itu menggenangi kapsulku, aku harus keluar kecuali aku ingin tenggelam disana. Jadi aku berenang keluar meninggalkan kapsul itu. Airnya sangat dingin, suhunya mungkin berada di bawah titik nol derajat hingga aku tidak dapat merasakan kakiku. Saat itu kupikir aku akan menemukan satu atau dua awak yang tersisa, tapi mereka semua tewas dalam kecelakaan itu - tidak ada yang tersisa dari kami kecuali aku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena pada akhirnya - cepat atau lambat, air itu akan membekukan jantung dan otakku. Rasanya seperti menghadapi kematian untuk kesekian kalinya. Kupikir aku menyerah saja, itu akan lebih mudah ketimbang berusaha untuk melakukan sesuatu yang mungkin akan terasa sia-sia. Tapi aku teringat wajah putriku, dia hanya gadis manis berusia sepuluh tahun, dia sangat lembut dan dia sangat pintar. Sebelum aku pergi dia membisikkan sesuatu ke telingaku, dia mengatakan bahwa aku harus menepati janjiku, dan janjiku adalah kembali padanya. Aku akan kembali padanya dengan cepat. Tapi situasi yang kuhadapi saat itu mengatakan sebaliknya, jadi kupikir aku akan tidur sebentar. Aku melihat ombak pasang menghampiriku, tapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Dan sekarang aku berada disini, masih kebingungan tentang tempat ini dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk kembali ke rumah.”
“Ini rumah,” ucap Danny dengan suara keras.
“Ya, kita sudah melihat bagaimana indahnya tempat ini, dan kau menyukainya,” timpal Jake.
Evan tersenyum namun tatapannya menatap kosong pada tumpukan kayu bakar yang mulai menyusut. Dalam keheningan itu ia kembali mendengar suara-suara yang muncul di kepalanya, mereka seolah-olah mencoba berbicara dengannya. Evan ingin menanggapinya, namun suara itu begitu jauh untuk dijangkau, begitu absurd dan rasanya seperti berasal dari atas langit. Seakan hendak membuktikan bahwa akal sehatnya masih berfungsi, Evan menatap ke atas langit dan menyaksikan ribuan cahaya bintang berkedip ke arahnya, memberinya isyarat.
“Rumah..” bisiknya dengan suara pelan. “Aku tahu bagaimana tempat itu terlihat. Tapi disana akan ada putriku dan istri yang kucintai, duduk di teras dan menungguku pulang. Itu rumah - rumahku.”
-
Setelah perkumpulan malam itu berakhir, Barbara mengantar Evan menuju ruang kosong di bagian belakang rumah. Ruangan itu tidak ditempati oleh siapapun sehingga Evan bisa tinggal disana. Meskipun tidak ditempati, namun Barbara merawatnya dengan baik, Tidak ada debu di atas lantainya. Barbara juga meletakkan sebuah kasur empuk disana. Udara di dalamnya tidak berbau apak melainkan tercium seperti aroma lavender yang sama seperti rumah lamanya. Ruangannya tidak begitu luas, namun cukup untuk menampung sebuah ranjang besar, lemari di sudut ruangan yang menyimpan setumpuk pakaian bersih, dan sebuah cermin di sudut lain. Bagian terbaik dari ruangan itu adalah jendelanya yang mengarah langsung ke pekarangan dan memperlihatkan pemandangan indah di luar sana. Dari balik jendela itu, ribuan bintang di atas langit terasa lebih dekat dengannya. Evan dapat menyaksikan mereka dengan jelas seakan-akan seisi langit berada persis di atas kepalanya.
“Ini mungkin bukan ruangan terbaik, tapi ini cukup nyaman untukmu.”
“Terima kasih Barbara, aku menyukainya.”
Wanita itu tersenyum lebar, satu tangannya terangkat untuk menangkup rahang Evan hingga membuat Evan terpaku di tempat untuk menyaksikan bagaimana sepasang matanya berkilat.
“Tidurlah dengan nyenyak!” ucap Barbara sebelum wanita itu berjalan menuju pintu.
Evan berbalik dan menghentikan Barbara persis ketika wanita itu mencapai ambang pintu.
“Hei, Barb!” ucapnya - tiba-tiba merasa aneh karena ia mulai menyukai panggilan itu. Barbara tersenyum padanya dari ambang pintu, dengan sabar menunggunya untuk mengatakan sesuatu.
“Aku tidak ingin merepotkanmu, aku akan pergi besok.”
Kedua pundak Barbara merosot, wanita itu menghela nafasnya dan berkata. “Oh, Nak.. kau tidak harus pergi. Ini rumahmu, tinggalkan selama yang kau inginkan.”
Evan tertegun saat menyaksikan pintu diayun hingga tertutup. Ia mendengar suara ketukan langkah Barbara ketika menyusuri lorong dan menuruni tangga kayunya, kemudian keheningan menyelimutinya.
Evan berusaha untuk membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk. Kenyamanan seakan melingkupinya. Ia mengembuskan nafasnya perlahan sembari menatap pada langit-langit ruangan, sekali lagi berpikir bagaimana ia dapat menghabiskan satu malam lainnya di sana ketika seharusnya ia mencari cara untuk sampai di pantai.
Besok, pikirnya. Besok ia akan menemukan cara untuk kembali pada keluarga kecilnya. Itu adalah hari yang terasa panjang dengan petualangan indah bersama Jake, dan malam ini ia hanya akan tertidur dan membiarkan kegelisahannya - sekali lagi - menguap.