Bab 11: Kesepakatan 6

2011 Kata
# Jenny duduk sendirian sambil menatap lurus ke luar jendela apartemennya. Ruangan tempatnya berada gelap gulita karena dia memang sengaja tidak menyalakan lampu. Bahkan setelah menemui Kinan dan mendapatkan sedikit lebih banyak kunci masa lalu almarhum Kakaknya, hatinya bukannya menjadi semakin tenang, dia malah merasa semakin sengsara. Cara Arther melindunginya dengan merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Kakaknya sebelum meninggal malah membuat sebuah tembok tak kasat mata di antara dirinya dan Arther. Siapa yang ingin Arther lindungi? Dirinya ataukah sisa-sisa kenangan Kakaknya? Dan kenapa dia harus merasa iri sekaligus lelah dengan kenangan antara Arther dan Kakaknya yang merupakan mantan kekasih Arther? Andai Kakaknya masih ada, Jenny ingin bertanya kenapa Kakaknya bisa mengandung anak orang lain sementara ada Arther yang mencintainya? Tapi dia juga ingin tahu, kenapa dulu Kakaknya meninggalkan dirinya dan malah berada di sisi Arther hingga akhirnya meninggal dengan cara seperti itu? Jenny merasakan kalau kepalanya mau pecah, dia menuangkan lagi whiskey ke dalam gelasnya dan meneguknya sekaligus. “Kau akan mabuk kalau caramu meminumnya seperti itu.” Jenny menoleh dan di kegelapan ada sosok Arther yang kini memperhatikannya. “Ah, aku lupa kalau kau juga memiliki kartu aksesnya,” ucap Jenny. Arther menyalakan lampu dan menatap sosok Jenny yang terlihat menyedihkan selama beberapa saat. “Besok libur, tapi kau tahu kalau kau tidak bisa benar-benar libur karena aku akan tetap sibuk,” ucap Arther. “Aku lelah,” ucap Jenny pelan. Arther menarik napas panjang dan tersenyum tipis. “Kalau begitu berhentilah menjadi asistenku dan jadilah istriku,” ucap Arther. “Kau melamarku dengan cara yang sama sekali tidak romantis kali ini,” balas Jenny, dia mengalihkan pandangannya dari Arther. “Aku selalu melamarmu dengan cara yang paling romantis yang aku tahu dan selalu kau tolak. Siapa tahu kali ini berhasil.” Meskipun Arther tahu kalau dari gelagat Jenny, saat ini juga lamarannya sudah pasti ditolak. “Aku lelah denganmu, bukan dengan pekerjaan,” ucap Jenny. Senyum di wajah Arther menghilang seketika. “Kenapa? Apa yang kurang dariku. Aku yakin kau juga mencintaiku, kita sudah lama kenal satu sama lain dan tidak ada yang lebih mengerti diriku selain dirimu, begitu juga sebaliknya. Kalau kau memang tidak ingin menikah denganku, tidak seharusnya kau juga menerimaku dan bahkan membiarkanku menyentuhmu selama ini. Tidakkah ini keterlaluan untukmu Jenny?” ucap Arther. “Hah.” Jenny mendesah pendek. “Karena aku merasa itu seperti perintah. Aku bawahanmu dan kau atasanku. Tidak. Lebih dari itu. Kau adalah orang yang harus selalu aku ikuti. Bagiku, tidak ada bedanya antara berdiri di sampingmu dan melihatmu menikah dengan Kinan dulu atau malah berdiri di sampingmu dan kemudian naik ke atas tempat tidurmu untuk menghangatkan ranjangmu. Apa itu yang kau bilang cinta? Aku merasa itu sebagai kepatuhan. Bukan begitu? Aku mencintaimu? Apa aku benar-benar mencintaimu?” balas Jenny. Tatapannya terlihat sendu dan hampa. Arther menarik Jenny mendekat dan memaksa Jenny menatapnya. “Lihat aku dan katakan kalau kau tidak mencintaiku? Kau yakin dengan semua yang kau katakan?” tanya Arther. Aroma minuman keras tercium dari Jenny dan dia juga sadar kalau saat ini Jenny mungkin tidak dalam kondisi yang stabil untuk berpikir dan mengatakan semua yang dia dengar barusan. Akan tetapi, disisi lain, Arther sadar kalau orang mabuk cenderung mengatakan yang sebenarnya ada di dalam hati dan pikiran mereka. Jenny mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Arther. “Aku suka padamu, kau tampan, baik hati dan perhatian. Meski kau memberi tekanan yang kuat pada karyawanmu tapi kau juga menjamin kesejahteraan semua bawahanmu dengan baik. Aku suka bekerja di sisimu dan menerima gaji yang tinggi sebagai jaminan hari tuaku yang mungkin akan terus sendirian seumur hidupku. Tapi, suatu hari kau bilang mencintaiku, menginginkanku dan aku menerimamu. Saat itu aku tahu, kau memberi kepadaku lebih dari yang kau berikan pada yang lainnya. Kau mempertahankanku lebih dari kau mempertahankan bawahanmu yang lain.” Kali ini kedua bola mata Jenny mulai berkaca-kaca. “Saat itu aku sadar, semua itu terjadi sejak saat pertama kali kita bertemu. Kau sudah menyiapkan semua yang terbaik untuk mendukungku dan semua hal istimewa itu bukan karena kau mencintaiku. Kau melakukannya untuk Kakakku bukan? Kau menyembunyikan semua kenyataan tentang Kakakku karena kau berjanji pada almarhum Kakakku untuk melindungi perasaanku. Kau melakukan itu bukan karena kau mencintaiku kan? Tapi karena kau ingin menjaga janjimu pada Kakakku.” Dua bulir air mata mengalir turun di pipi Jenny. Arther menatap Jenny lekat-lekat. “Bukan seperti itu Jen. Kau salah paham. Aku sungguh-sungguh menyayangimu,” ucap Arther sungguh-sungguh. “Sayang dan cinta itu beda Arther. Dulu kau juga selalu mengatakan pada Kinan kalau kau menyayanginya. Karena kondisinya saat itu membuatmu teringat pada Kakakku. Kau tidak salah sih, karena aku juga menyukainya dengan alasan yang sama. Tapi kalau hanya sayang, itu tidak cukup bagiku sebagai alasan memulai hidup baru denganmu. Itu sebabnya, berada di sisimu terasa semakin melelahkan dari hari ke hari. Aku ingin berhenti tapi aku tidak bisa. Rasanya aku seperti tidak bisa bernapas tanpamu,” ucap Jenny. “Baiklah. Aku mencintaimu Jenny. Berhentilah berpikir yang tidak-tidak.” Meski mengatakan itu, bahkan Arther bisa merasakan kalau kalimat itu meluncur dengan begitu ringan dari bibirnya. Jenny membiarkan Arther menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Meski begitu, dia sudah sangat mengenal Arther lebih dari apa pun di dunia ini. Dia bisa merasakan kalau kata-kata cinta Arther bukanlah sebuah kalimat yang mengandung makna yang dalam. Meski Arther sendiri bersungguh-sungguh ketika mengatakan ‘sayang’, hal yang sama tidak terlihat ketika dia mengatakan ‘cinta’. Jenny merasa dirinya begitu menyedihkan karena tanpa bertanya sekalipun dia tahu kalau sadar ataupun tidak, yang Arther lihat di dalam dirinya hanyalah sisa-sisa bayangan Kakaknya yang sudah tidak ada di dunia ini. Dia merasa menjadi pengganti yang buruk untuk Kakaknya karena dia tahu dengan jelas kalau sebenarnya dia mencintai Arther lebih dari apa pun di dunia ini. “Kenapa kau mencintaiku kalau begitu?” Dia masih ingin mencari sedikit alasan di antara semua kata cinta Arther yang tidak lebih tulus maknanya dari semua kata ‘sayang’ yang diterimanya dari pria itu sejak mereka pertama bertemu. Arther terdiam sejenak. Menatap Jenny selalu memberinya perasaan deja vu yang anehnya justru menenangkan untuknya. “Karena kita sama-sama sebatang kara dan karena kita sama-sama kehilangan banyak hal dalam hidup ini namun akhirnya bertahan hidup sendirian,” ucap Arther. Jenny merasakan matanya kembali memanas. “Itu bukan cinta. Kau selalu menyamaratakan segalanya dan menafsirkan semuanya sesuai kemauanmu,” ucap Jenny. Dia kecewa pada dirinya sendiri yang tidak mampu terlepas dari perasaan keterikatan dengan Arther. Tapi Arther memeluk Jenny erat. “Tolong bersabarlah denganku Jen. Jangan terburu-buru meninggalkanku karena aku sedang belajar untuk memahami segalanya dengan baik.” Arther sama sekali tidak paham kenapa Jenny harus mempermasalahkan hal kecil seperti ini? Bukankah perasaannya tidaklah sepenting kesetiaannya dan kenyataan kalau saat ini hanya Jenny seorang yang ingin dinikahinya? Dia tidak mampu memahaminya. Dia tidak mengerti. Yang dia mengerti hanyalah bahwa dia tidak akan pernah lagi melepaskan wanita yang disayanginya. “Kalau misalnya, suatu hari Kakakku muncul dan meminta cintamu. Di antara aku dan Kakakku, siapa yang akan kau pilih?” tanya Jenny. Dalam pelukan Arther, Jenny bisa merasakan detak jantung pria itu yang mendadak berdetak tak karuan. Dia tahu ini pertanyaan yang sulit bagi Arther, tapi pria itu tetap menampilkan senyum terbaiknya. “Aku akan tetap memilihmu,” karena dia tidak mungkin hidup lagi. Ucapan Arther terlihat tanpa keraguan. Jenny terdiam. Yang paling menyakitkan untuknya adalah karena dia tahu kalau Arther bisa dengan mudah menjawab begitu karena pertanyaannya adalah sesuatu yang mustahil. Kakaknya tidak mungkin hidup lagi. “Kalau begitu, aku ingin tahu segalanya. Apa yang terjadi kepada Kakakku, siapa ayah dari anak dalam kandungan Kakakku dan kenapa Kakakku meninggal. Berjanjilah kau tidak akan menyembunyikan apa pun lagi dariku,” ucap Jenny. Kali ini dia mendorong tubuh Arther menjauh dan melepaskan pelukan pria itu. Kedua alis Arther tampak bertaut. “Kita bicarakan saat kau sudah benar-benar sadar. Oke?” bujuk Arther. “Kau tahu aku sudah melatih diriku dengan baik untuk tidak mudah mabuk. Saat ini aku sepenuhnya sadar,” ucap Jenny. “Aku tahu kau sepenuhnya sadar dan besok kau pasti akan ingat apa yang kita bicarakan saat ini. Tapi aku tetap ingin berbicara tentang hal seperti ini denganmu besok. Aku akan membatalkan semua janji bisnis besok dan semua acara yang harus aku hadiri. Hanya untuk kali ini, aku akan menceritakan semuanya kepadamu tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Tapi aku membutuhkan sikap rasionalmu yang saat ini tidak mungkin bisa kau lakukan,” ucap Arther. Jenny diam sejenak karena dia tahu kalau apa yang Arther katakan memang benar adanya. Dia mungkin masih sadar meski sudah separuh mabuk. Tapi dia akan sulit mengendalikan emosinya, terlebih ini tentang orang yang sama-sama berarti untuk mereka berdua. “Aku akan menunggu besok,” ucap Jenny sambil melangkah pergi. Tapi Arther menarik tangannya. “Kita pulang Jen, jangan bilang kau ingin tidur di sini?” Arther terlihat tidak rela. Tapi Jenny menatap Arther datar. “Ini rumahku. Aku sudah pulang,” balas Jenny. “Aku sudah berjanji akan menjelaskan semuanya kepadamu besok tanpa ada yang ditutupi lagi. Apa lagi yang salah?” tanya Arther tidak mengerti. Jenny diam sejenak, sekali lagi dia menatap Arther untuk beberapa saat. Tatapan matanya yang biasanya terlihat cemerlang, kini tampak sayu menatap Arther. “Itu yang pertama Arther. Aku menginginkan hubungan yang normal, apa itu berlebihan? Karena aku sudah menyerahkan semuanya untukmu dan tiba-tiba aku ingin menarik diri dan meminta hubungan kita dibangun lagi dari awal. Apakah itu berlebihan untukmu?” tanya Jenny. Arther terpaku. Jenny bersungguh-sungguh dan dia tentu saja tidak bisa menolak. “Baiklah,” ucap Arther akhirnya. “Terima kasih Sayang,” ucap Jenny sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya dengan sedikit sempoyongan menuju kamar yang sudah lama tidak dia tempat semenjak Arther memintanya untuk pindah dan tinggal di rumah atau apartemen pribadi Arther. Selama ini, dia selalu ada di mana pun Arher berada, lalu mendadak, suatu hari hubungan mereka melompat jauh, tidak hanya membuat dirinya selalu berada bersama Arther tetapi selalu berbagi ranjang dengan pria itu. Sekarang dia memikirkan ucapan Kinan sebelumnya. Mengenai dirinya yang terperangkap pada perasaan rumit pada Arther sebagai kekasihnya dan Arther sebagai atasannya. Meski jarang yang mengatakannya langsung di depannya, Jenny tahu kalau sebagian besar karyawan sudah mencium hubungannya dan Arther. Dia yang dulu sangat menentang hubungan antara atasan dan karyawan, sekarang malah terjebak dalam hubungan serupa. Semua itu membuatnya bingung dan meski dia tahu benar seberapa besar perasaannya pada Arther, rasanya semuanya timpang karena Arther tidak benar-benar paham seberapa jauh hubungan mereka saat ini. Pria itu bahkan ingin menikahinya tanpa benar-benar memahami perasaannya sendiri. Jenny mengunci pintu kamarnya dan kemudian melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. “Aku lelah,” gumamnya pelan. Dia akhirnya memejamkan matanya begitu saja. # Ruby memandangi foto Arther sambil berbaring di atas tempat tidur. “Tampan, muda, kaya dan tanpa orang tua. Tampaknya tidak buruk karena tidak akan banyak yang menghalangi. Tidak sabar untuk bertemu denganmu.” Ruby kini tersenyum. Sebuah ketukan terdengar di pintu kamarnya dan Ruby menghela napas panjang. “Masuk.” Ucapannya terdengar lebih seperti perintah kali ini. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana masuk sambil membawa setelan pakaian kerja. Dia adalah salah satu pembantu di rumah itu. “Nyonya bilang, ini baju yang akan Nona pakai besok,” ucap pembantu itu. Dia kemudian meletakkan pakaian itu di dalam lemari pakaian Ruby. “Jadi bahkan Mamaku turun tangan sendiri memilihkan tidak hanya suami tapi juga profesi dan pakaianku? Menarik. Aku jadi merasa seperti boneka yang sedang di dandani,” ucap Ruby. Pembantu itu hanya menanggapi ucapan Ruby dengan anggukan kepala. “Sudah saya letakkan dalam lemari,” ucapnya. Ruby mendesah bosan. “Aku tahu. Aku juga punya mata untuk melihat,” ucap Ruby. “Saya permisi kalau begitu,” ucap pembantu itu lagi. Ruby mengabaikannya. Dia malah bangkit berdiri dan meraih sebuah map yang harus dia bawa besok. Map itu berisi CV miliknya dan dia sudah menghafal semua isinya. Meski begitu, dia menarik napas sebal. Semua ini tidak akan terjadi andai saja Arther tidak menolak perjodohan mereka. Dari yang dia dengar, pria itu bahkan tidak ingin melihat fotonya. Ini sedikit melukai harga dirinya. “Kita lihat saja nanti,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN