Book 2 PART. 8 PERMINTAAN AYAH

1041 Kata
Pagi ini, Steven datang ke kantor. Ia mengetuk pintu ruangan Sakti. "Masuk." Sakti menatap ke arah pintu, menunggu siapa yang datang. Ia berpikir itu Randi. "Ayah!" Sakti terjengkit bangun dari duduknya, ia terkejut menerima kedatangan ayahnya yang tiba-tiba. "Ada yang ingin Ayah bicarkan denganmu, Sakti." Steven duduk di hadapan Sakti. Sakti kembali duduk di kursi belakang meja kerjanya. "Ada apa Ayah?" "Ayah ingin menceritakan sesuatu, hal ini menyangkut dirimu, yang belum kamu ketahui." "Maksud Ayah?" "Ayah pernah menceritakan tentang malam dimana kamu dilahirkan?" Sakti menganggukkan kepalanya. "Ada bagian cerita yang Ayah sembunyikan, Sakti, dan sekarang Ayah ingin kamu tahu tentang rahasia itu." "Rahasia ... rahasia apa Ayah?" "Tentang hutang nyawa." "Aku tidak mengeri Ayah." Steven menceritakan lagi, secara singkat pada Sakti, tentang kejadian di malam itu. Di mana saat Steven dan, Tiara diserang anak buah Pak Bowo, rentenir yang pernah berniat, menjadikan Tiara sebagai istrinya. Pak Bowo ingin menusuk Steven, Tiara yang hamil besar berusaha menghalangi. Tiara hampir jadi korban, andai Andrew tidak menjadikan dirinya sebagai tameng bagi Tiara. Andrew mendapat dua tusukan, Tiara pingsan, dan harus melahirkan dengan jalan operasi. Tiara sempat koma, dan saat Tiara sedang terbaring koma, Andrew pergi ke Belanda, untuk bisa melupakan Tiara. Orang tua Andrew meminta, agar apa yang dilakukan Andrew, biar menjadi rahasia selamanya. "Jadi ... Om Andrew sudah berkorban demi aku, dan Mamah? Siapa Om Adrew itu, Ayah?" "Dia orang yang sangat mencintai Mamahmu, dengan setulus hati, dengan cinta sejati. Ayah ingin berpesan padamu, Sakti, jika suatu saat Ayah pergi, Ayah ingin Mamahmu menikah lagi. Ayah tidak ingin melihat Mamahmu hidup sendiri. Ayah sangat berharap, Mamahmu bisa menikah dengan Andrew nantinya. Karena dari kabar yang Ayah dengar, sampai saat ini, Andrew belum menikah, karena masih mencintai Mamahmu." "Ayah kenapa bicara seperti ini, Ayah tidak akan pergi." "Realistislah, Sakti, setiap manusia, pasti akan kembali pada penciptanya. Ayah bersukur, sudah diberi kesempatan hidup sampai saat ini, jadi berjanjilah, kamu akan memenuhi pesan Ayah." "Apa janjiku sangat berarti bagi Ayah?" Steven mengangguk "Sangat Sakti ... sangat berarti." Sakti menghela nafas. 'Aku sudah memiliki satu janji pada Pak Rustam, dan sekarang harus menambah satu janji lagi pada Ayah, apa aku sanggup,' batin Sakti. Kepala Sakti mengangguk. "Baiklah Ayah aku berjanji." "Didalam map ini, ada semua yang ingin kmau ketahui tentang Andrew, kamu pasti memerlukannya nanti." "Apa aku harus mencarinya, dan memintanya menikahi Mamah?" "Tentu saja tidak, Nak, Ayah yakin, cinta sejati akan menuntun pemiliknya, untuk menemukan pasangannya." Sakti tersenyum "Ayah puitis sekali." "Cinta membuat orang bisa jadi puitis, Sakti." Sakti manggut-manggut. Steven berdiri. "Ayah pulang dulu ... oh ya, Ayah juga sudah memaksa Mamahmu untuk berjanji, agar mau menikah lagi saat Ayah sudah pergi." "Ayah ... kenapa Ayah seakan tahu, kapan Ayah akan pergi" "Kematian itu rahasia Allah, Sakti, tapi tidak ada salahnya kan kita siap-siap" Sakti tidak bicara lagi, ia mengantarkan ayahnya sampai ke pintu. *** Randi masuk ke ruangan Sakti. "Undangan untuk menghadiri rapat orang tua murid, di sekolah anakmu, Sekar." Randi meletakan kertas berlipat di atas meja Sakti. "Lo aja yang pergi, Ran, gue sibuk sekali." "Yang ayahnya lo, masa gue terus sih?" "Ada lo yang menggantikan gue, sama saja kan?" "Tapi gue ini sudah mau menika tidak bisa pulang pergi seenaknya lagi, bisa pecah gendang telinga gue diomelin keponakan lo." "Hhh ... aku kira, Sekar sudah cukup besar untuk menjaga dirinya sendiri, iya'kan?" "Justru karena dia semakin besar itu, lo harus semakin ketat menjaganya. Bukan malah membiarkannya, lo mau amanah Pak Rustam terbengkalai?" Sakti menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tadi pagi Ayahnya yang datang dengan pesan yang terasa aneh baginya. Sekarang Randi dengan urusan Sekar. 'Kenapa tiba-tiba hidupku melenceng dari apa yang sudah kurencanakan seperti ini.' "Boss?" "Bisa tinggalkan gue sendiri, Ran, urusan Sekar nanti kita bicarakan lagi." "Baik, Boss, tapi gue mau minta ijin, habis makan siang tidak kembali ke kantor lagi, mau fitting baju pengantin." "Ya sudah, pergilah." "Satu lagi, Boss, lo jadi pindah tinggal di apartemen?" tanya Randi. Sakti mengangguk. "Biar lebih dekat ke kantor," jawab Sakti. "Kapan pindahnya, Boss? sudah dapat ijin orang tua belum?" "Sudah." "Ooh ... ya sudah terima kasih ya, Boss. Gue pergi dulu, selamat siang." "Ya, siang." Sakti termenung di tempatnya. Tiga tahun ini, ia memang berusaha seperlunya saja bertemu dengan Sekar. Ia tidak mau terlalu dekat, karena tidak ingin Sekar jadi terlalu bergantung kepadanya. Sakti lebih banyak memantau perkembabagan Sekar dari Randi, atau Teh Euis. Tapi Randi sebentar lagi menikah dengan. Sakti sendiri sudah memperkenalkan Diana pada orang tuanya, tapi sayang mamahnya tidak menaruh respek pada Diana. Sakti juga sudah memperkenalkan beberapa teman wanitanya yang lain, tapi tetap saja belum ada yang disetujui mamahnya. Sakti tidak tahu, wanita seperti apa yang diingini mamanya sebagai menantu. Mamanya hanya mengatakan, tidak suka menantu yang tidak bisa apa-apa, menantunya harus bisa turun ke dapur. Itu syarat utama, syarat yang terlalu berat untuk wanita kota jaman sekarang. 'Atau mungkin aku harus memacari seorang chef?' Sakti meraih ponselnya. "Hallo ... Teh Euis" "..." "Aku minta tolong, Teteh saja yang menghadiri rapat orang tua murid di sekolah Sekar ya. Randi, dan aku sedang banyak pekerjaan." "..." "Terima kasih." Sakti menarik nafas lega, tapi Sakti tidak taju ada seseorang yang kecewa. Sekar mendengarkan pembicaraan Teh Euis, dan Sakti. Sampai saat ini, Sekar tidak tahu apa salahnya, sampai Ayahnya itu tiba-tiba seperti menjaga jarak dengannya. 'Padahal Ayah Sakti sudah berjanji, akan jadi pengganti orang tuaku, tapi kenapa mengingkarinya.' Kadang Sekar merasa iri, melihat teman-temannya yang mempunyai orang tua, sedangkan dia tidak. Kata bapaknya, ibunya sudah meninggal saat melahirkan, tapi Sekar belum pernah sekalipun dibawa bapaknya ke makam ibunya. Disaat remaja seusianya punya orang tua, untuk tempat mengadu, Sekar cuma punya Teh Euis, yang sudah dianggapnya sebagai ibu. Sakti yang dikiranya benar-benar akan jadi pengganti bapaknya, justru menjaga jarak dengannya, tanpa ia tahu apa salahnya. Meskipun Sakti tetap memenuhi semua kebutuhannya, dan sesekali menemuinya, tapi tetap saja Sekar merasa ada yang kurang. Diraih foto bapaknya yang terbingkai di atas meja belajar. "Bapak, apakah aku benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi, orang lain punya, om, tante, kakek, nenek, sepupu, keponakan, tapi kenapa aku tidak. Kenapa Bapak tidak pernah menceritakan tentang keluarga Bapak, juga kelurga ibu. Bapak juga tidak pernah membawaku ke makam ibu, kenapa, Pak?" Sekar menangis sesunggukan di kamarnya, Teh Euis yang sejak tadi di ambang pintu, langsung mendekat, dan memeluknya. *****Bersambung*****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN