"Sayang, bangun, subuh!" Steven menggoyangkan bahu Tiara. Tiara membuka matanya.
"Ehhhh ... sudah subuh ya Aay?" Tanyanya, suaranya terdengar serak. Steven mengecup keningnya.
"Iya sudah subuh, mandi yuk," ajak Steven.
"Aay saja duluan," jawab Tiara sambil menggeliatkan tubuhnya.
Steven turun dari atas ranjang, ia menuju kamar mandi. Sesaat kemudian, Steven ke luar dari kamar mandi, rambutnya yang tak beruban, meski sudah hampir 64 tahun, tampak basah. Handuk melilit di pinggangnya, dan Tiara menatapnya masih dengan tatapan sama, seperti puluhan tahun lalu. Body Steven masih tetap tanpa lemak, itu karena hidup sehat yang dijalaninya.
Tiara tersenyum menatap Steven. Steven mengernyitkan kening, lalu memandangi tubuhnya sendiri.
"Kenapa, ada yang lucu di badanku yang?" Tanyanya heran. Tiara menggeleng.
"Ingat waktu itu."
"Waktu itu apa?"
"Aay bilang aku sampai ngeces mandangin Aay, yang baru ke luar dari kamar mandi."
Steven tertawa
"Aku kan cuma bercanda, Sayang!"
Tiara turun dari atas ranjang, dengan melilitkan selimut di tubuhnya, karena sedari tadi tak menemukan bajunya. Meski semakin tua, tapi kalau soal urusan ranjang, Steven hampir tak berubah, tenaganya tetap fit buat ukuran pria seusianya, untuk urusan yang satu itu.
Steven tertawa
"Ngapain pakai begituan?" Tanya Steven.
"Bajuku mana siih Aay?" Tanya Tiara karena tetap saja tak menemukan bajunya.
"Di tempat cucian di kamar mandi, tadi malam sudah kumasukan ke situ waktu aku ke kamar mandi," jawab Steven.
"Ooh ya sudah aku mandi dulu." Tiara melangkah pelan, ia menyeret selimut tebal itu bersamanya ke dalam kamar mandi.
***
Selesai sholat subuh, dalam posisi masih duduk di atas sajadah, Steven meraih jemari Tiara.
"Sayang ...." panggilny
"Apa Aay?"
"Aku ingin menceritakan rahasia, yang sudah kusimpan puluhan tahun lamanya." Steven menatap wajah Tiara, ingin tahu reaksinya. Tiara mengangkat alisnya.
"Rahasia apa, Aay?" tanya Tiara penasaran.
"Rahasia ini, saat kuceritakan mungkin akan membuatmu marah, atau membuatmu membenciku." Steven masih berteka-teki.
"Aay punya istri muda?" tanya Tiara, dengan tatapan menyelidik ke wajah Steven. Steven menggeleng kepala.
"Bukan, Sayang."
"Lantas apa, Aay, yang bisa membuatku marah, dan membencimu cuma itu," kata Tiara tak sabar.
"Sebenarnya aku berjanji, tidak akan membuka rahasia ini, tapi aku tidak mau membawa rahasia ini sampai mati. Kamu harus tahu kebenarannya," kata-kata Steven makin membuat Tiara tidak mengerti.
"Jangan muter-muter deh, Aay, to the point saja, biar aku enggak bingung," pinta Tiara tidak sabar.
"Ini tentang peristiwa sesaat sebelum kelahiran Sakti, kamu masih ingat?" tanya Steven. Kepala Tiara mengangguk.
"Malam yang tak akan pernah aku lupakan, Aay, malam paling menakutkan seumur hidupku," jawab Tiara, dengan mata menerawang, membayangkan kejadian itu. Tiara menggidikan badannya.
"Ada rahasia apa di balik kejadian itu, Aay?" tanya Tiara, matanya menatap Steven penuh pertanyaan.
"Bisa kamu ingat Tiara, hal apa yang terakhir kamu rasakan saat itu?"
Tiara mengingat-ngingat.
"Aku merasa, sesorang memelukku, dan kudengar rintihan kesakitannya di telingaku. Aay bilang itu Aay kan, yang meluk aku?"
"Maafkan aku, Tiara, aku terpaksa berbohong padamu, atas kemauan orang yang memelukmu, orang yang mengorbankan dirinya untuk melindungimu, orang yang harus menanggung dua tusukan Pak Bowo di punggung, dan di pinggangnya." Mata Sreven lekat menatap wajah Tiara, ingin tau reaksi Tiara
Tiara balas menatap Steven.
"Jadi ... siapa dia, Aay?"
"Dia, orang yang penuh dengan ketulusan mencintaimu, dia ... Andrew, Andrew Danar Handoyo ...." jawab Steven pelan.
"Andrew ... Andrew yang menyelamatkanku? Tapi kenapa dia tak menungguku sadar, sebelum pindah ke Belanda?" tanya Tiara bingung.
"Orang tuanya, meminta Andrew untuk melupakanmu, Tiara,mungkin dengan pergi jauh darimu, dia bisa melupakanmu. Kaau sendiri, apa masih sering mengingat atau memikirkannya?" Steven memandang wajah Tiara menyelidik. Tiara tersenyum, lalu menggeleng.
"Tidak ada nama lain dalam pikiranku, selama dua puluh tahun lebih ini, selain namamu Aay. Jangan bilang kamu masih cemburu." Tiara menyandarkan kepalanya di d**a Steven, punggung Steven bersandar di kaki ranjang. Tangan Steven memeluk bahu Tiara dari belakang, Steven mengecup puncak kepala Tiara.
"Selama cinta ini masih ada, Tiara, maka rasa cemburu akan selalu mengikutinya," bisik Steven pelan di telinga Tiara. Kemudian Steven menghela nafas.
"Jika suatu saat kamu bertemu dengannya, ucapkan terimakasih, karena sudah menolongmu, dan anak kita. Sekarang aku sudah lega, karena apa yang mengganjal hatiku puluhan tahun, sudah aku lepaskan." Steven menarik nafas lega, lega karena rahasia itu terasa menghimpit hatinya selama ini. Kepala Tiara mengangguk.
"Itu pasti, Aay."
Didongakan kepalanya untuk menatap wajah Steven. Steven merebahkan kepala Tiara di lengannya, wajah Steven turun mendekati wajah Tiara.
"I love you Tiara, tetaplah bersamaku hingga ajal menjemputku, berjanjilah ...."pintanya, hidung mereka bertemu. Tiara mengangguk, lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Steven.
"Aku berjanji, Aay," jawab Tiara, sesaat sebelum bibir Steven membungkamnya.
Steven kadang bingung juga, kenapa diusia senja, otak mesumnya terhadap Tiara tidak mau hilang juga.
Getaran yang sama, seperti puluhan tahun lalu masih dirasakannya.
Apa lagi sekarang, dia lebih banyak menghabiskan waktu berdua di rumah dengan Tiara, hanya sesekali saja ke kantor yang sudah diserahkannya pada Sakti.
Dan untungnya Tiara hanya protes di mulut saja kalau kemesumannya datang tiba-tiba, karena setelahnya Tiara bahkan bisa lebih agresif dari dirinya. Seperti kali ini, Tiara sudah duduk di atas pangkuannya, paha Tiara menjepit pahanya, tangan Tiara melingkar dileher, bibir Tiara tak hentinya mengecapi bibir Steven, lidah Tiara sesekali masuk membelit lidahnya. Steven bersyukur, masih diberi tubuh yang masih sehat, dan cukup kuat untuk melayani keagresifan Tiara, yang umurnya sangat jauh di bawahnya. Bibir Tiara turun ke leher Steven, ingin sekali mengecup kuat di sana, tapi masih ingat malu dengan anak cucu.
"Aay ...."
Tiara menatap mata Steven. Steven meraih ujung daster Tiara, ingin meloloskan lewat kepala, ketika terdengar ketukan di pintu.
"Oma, Opa, sudah subuh belum?" suara Emilia di balik pintu. Tiara berdiri dari pangkuan Steven, ia menggelung asal rambutnya ke atas, lalu membuka pintu.
"Ya, Sayang, Oma sama Opa baru selesai sholat subuh "
Tiara tangannya menunjuk ke arah bekas sholat yang sedang dibereskan Steven.
"Ya sudah deh Oma, aku bangunin Uncle saja!"
Emi menuju kamar Sakti.
Tiara menutup pintu, Steven duduk di tepi ranjang.
"Masih mau lanjut, Sayang?" tanya Steven. Tiara yang meraih sisir mengernyitkan keningnya.
"Dilanjutkan apanya?" tanyanya bingung.
"Itu tadi, yang baru terpotong," jawab Steven. Tiara tertawa, tangannya menggulung rambut panjangnya dengan rapi di atas kepal.
"Tidak, Aay, apinya sudah padam, kesiram air tadi."
Mata Tiara melirik Steven manja dari kaca di depannya.
"Ya sudah, aku mau olahraga dulu, kamu mau ke dapurkan, turun sama-sama ya."
Steven mengganti sarung, dan baju kokonya, dengan baju olahraga
---------
Sakti baru saja melangkahkan kakinya ke luar dari kantor, rencananya ingin makan siang di rumah makan tantenya, Tata. Tapi dilihatnya Diana baru turun dari mobil, lalu berjalan bak peragawati menghampirinya.
"Aku menjemputmu untuk makan siang" katanya langsung pada Sakti.
"Ke mana?" tanya Sakti.
"Restoranku," jawabnya. Sakti mengangguk, Diana menyerahkan kunci mobilnya pada Sakti.
Mereka tiba di restoran milik Diana. Diana menarik Sakti ke dalam ruangannya. Baru saja pintu di tutup, Diana sudah meraih kepala Sakti, menghujani Sakti dengan kecupan. Bibirnya bergerak mengecapi tiap inci bibir Sakti, lidahnya merayu-rayu lidah Sakti, tangannya membuka kancing kemeja Sakti . Tangan Sakti memeluk pinggang Diana erat.
Dengan tidak sabar, Diana membuka kancing blusnya sendiri, lalu melepaskan blusnya, dan melemparnya sembarang. Bibirnya masih di bibir Sakti, tangan Sakti membelai punggung telanjang Diana, membuat Diana semakin terbakar.
Diana melepas sendiri branya, ia menekankan buah dadanya ke d**a telanjang Sakti. Saat tangan Diana berusaha melepaskan gesper Sakti, tangan Sakti menahannya.
"Tidak untuk yang satu itu, Diana!"
"Sayang, aku tidak akan meminta pertanggung jawabanmu kalau terjadi apa-apa padaku, aku mohon, Sayang boleh ya?"
Mata Diana menatap sayu ke mata Sakti.
"Ini bukan soal pertanggung jawaban, Di, tapi aku sudah berjanji, tidak akan melakukannya sebelum menikah," jawab Sakti.
"Kalau begitu nikahi aku, Sakti!"pinta Diana.
"Kamu tahu kan, Di, aku baru merintis usahaku, aku masih ingin fokus pada usahaku, dan kamu juga sudah tahu seperti apa perasaanku padamu. Sudah tahu bentuk hubungan seperti apa yang aku mau."
"Kamu tak perlu susah-susah bekerja jika menikah denganku, Sakti. Kamu tahukan, harta gono gini dari mantan suamiku, bisa untuk tiga keturunan."
Diana memang seorang janda, usianya tiga tahun diatas Sakti. Menikah diusia dua puluh dua tahun, dengan seorang pria tua yang kaya raya, kemudian bercerai setelah tiga tahun menikah, karena sang suami ketahuan berselingkuh dengan wanita muda lainnya. Perceraian itu menyebabkan mantan suaminya, harus memberikan harta gono gini yang wow nilainya, yang menurut Diana tak habis dimakan tiga turunan.
"Aku tidak suka kamu bicara seperti itu, Diana, aku tidak suka orang meremehkan usahaku, kerja kerasku!" Sakti mengancingkan kemejanya, lalu memungut bra, dan blus Diana dari lantai.
"Pakailah, kita ke sini untuk makan siang bukan, atau mungkin aku harus makan siang di tempat lain!" ancam Sakti, saat Diana tak juga mau mengenakan pakaiannya.
"Aku tunggu di luar."
Sakti membuka pintu, saat melihat Diana akhirnya mau berpakaian lagi.
---------
Sore ini Sekar ada ekskul Pramuka di sekolah, Sakti menunggu di dekat gerbang sekolah. Saat melihat Sekar berjalan ke luar bersama dua orang temannya, Sakti menghampiri. Sekar kaget melihat kehadiran Sakti di depannya, kedua temannya juga memandang Sakti dengan mulut ternganga.
"Ayah ...." panggil Sekar pelan, membuat kedua temannya menatapnya penuh tanya.
"Ayah? Om ganteng bule ini Ayahmu, Sekar? Muda amat!" kata Mia, teman satu kelasnya tak percaya.
Sakti terseyum
"Hallo, selamat sore, kenalkan saya Ayah Sekar, kalian boleh panggil saya Om Sakti."
Sapa Sakti ramah.
"Sore, Om, Om beneran Ayah Sekar?kayanya umur Om baru dua puluhan deh, nggak mungkin kan Om Ayah kandung Sekar, lagi pula Om bule maksimal, Sekar nggak ada bule bulenya," cerocos Titi, teman Sekar satu ini memang ratu bawel. Sakti tertawa.
"Tentu saja bukan, saya Ayah angkat Sekar. Hhmmm ... ada yang mau ikut makan bakso bareng saya, dan Sekar? Bagaimana mau ikut, nanti pulangnya saya langsung antar ke rumah kalian, biar tidak dimarahi orang tua kalian, atau kalian bisa telpon orang tua kalian dulu, buat minta ijin," tawaran Sakti mengagetkan tiga remaja di depannya.
"Mau ya temenin," bujuk Sekar pada dua temannya.
"Telpon ibu dulu," jawab Titi, ia meraih ponsel dari dalam tasnya.
"Iya aku juga." Mia juga mengambil ponsel di tasnya.
"Bagaimana?" tanya Sekar pada dua temannya.
"Siip diijinin!" jawab keduanya, Sekar bernafas lega, bagaimanapun juga, Sekar masih merasa risih kalau harus pergi dengan Sakti yang masih baru dikenalnya, meski sikap Sakti sangat baik padanya, tapi tetap saja Sakti bukan Bapaknya, meski ingin diakui sebagai Ayahnya.
"Ayo kita berangkat kalau begitu." Sakti berjalan ke arah mobil, diikuti ketiganya.
****Bersambung****