Mengantar telur

1280 Kata
Macaroon Aku duduk bersama mereka setelah makan malam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Aku terkejut dibagian gosip tentang Elisa. Ibu datang dengan membawa teh dan kue. Selanjutnya ayah dan Chris membicarakan tentang dunia bisinis dan perdagangan yang tidak aku mengerti. Sampai akhirnya Chris berpamitan untuk pulang. "Aku harus pulang sekarang ini sudah terlalu malam. Terima kasih atas undangan makan malamnya." 'Tentu. Hati-hati di jalan!"kata ibu. Tiba-tiba terdengar suara petir yang membuat kami terkejut. "Aku segera pulang. Aku tidak ingin kehujanan di jalan." "Ya. Kamu benar,"kata ayah. "Sekali lagi terima kasih untuk makan malamnya." Macaroon mengantarkanku sampai pintu depan. Tiba-tiba saja turun hujan yang sangat deras. "Sepertinya kamu tidak bisa pulang malam ini." "Sepertinya begitu." Orang tuaku muncul dan ikut melihat hujan deras di luar. "Aku akan menunggu sampai hujan reda." "Kenapa kamu tidak menginap saja di sini malam ini saja. Besok pagi setelah sarapan, kamu bisa pulang. Kami masih punya satu kamar kosong untuk kamu tempati." "Yang dikatakann Ibu benar. Menginaplah malam ini!"kata Macaroon. "Sepertinya tidak ada pilihan lain lagi." Kami kembali masuk dan ibu menunjukkan kamar tamu di lantai bawah yang sudah lama tidak terpakai, meskipun begitu kamar itu selalu dibersihkan setiap hari. "Ini kamarmu." "Terima kasih. Maaf sudah merepotkan kalian." "Kamu sama sekali tidak merepotkan." Ibu tersenyum, lalu ia pergi. Sekarang hanya ada aku dan Chris berdua. Suasana menjadi agak canggung. Aku melihat senyuman jahil di wajah Chris. "Apa kamu ingin tidur berdua denganku di sini?" Mataku membelalak lebar mendengar tawaran Chris. Seketika wajahku terasa panas dan malu menatap wajah tampan Chris. Rasanya aku tidak akan pernah bosan menatap wajahnya itu. "Apa kamu sedang bercanda denganku ya?" Chris kembali tersenyum. Tubunya bersanda di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat di d**a. "Bagaimana kalau aku serius?" Chris balik bertanya. Aku menatap Chris malu-malu, lalu melongok ke dalam kamar. Wajahku sudah semakin memerah. Aku langsung pergi menuju kamarku di lantai dua. Aku duduk di tempat tidur dan menyentuh wajahku yang masih terasa hangat. "Dia keterlaluan sekali menggodaku. Aku hampir saja berteriak aku mau dan berlari ke pelukan Chris." Aku mengganti pakaian dengan baju tidur dan cepat-cepat naik lagi ke atas tempat tidur, lalu menyelimuti tubuhku sampai dagu. Aku memejamkan mata, tapi aku tidak bisa tidur. Wajah Chris tidak mau hilang dari benakku. Aku menutupi wajahku dengan selimut. Keesokan paginya aku terbangun, karena dibangunkan oleh Helina. "Biarkan aku tidur sebentar lagi!" "Sebentar lagi sarapan pagi akan dimulai." Aku menyibakkan selimut dan bangun melihat Helina dengan mata yang masih mengantuk. "Aku akan turun sebentar lagi." "Aku akan memberesekan tempat tidurmu dulu." Aku turun dari tempat tidur dan memcuci wajah dengan air yang sudah disediakan oleh Helina. Cahaya matahari menembus kaca jendela kamar. Pagi ini cuaca sangat cerah. Bau hujan sisa kemarin malam masih tercium baunya. Helina pergi dari kamar setelah tempat tidurku menjadi rapih lagi. Aku segera berganti pakaian dan cepat-cepat turun. Di meja makan sudah ada ayah dan Chris. Pria itu tersenyum kepadaku dan senyumannya sungguh menawan. "Pagi, Macaroon!"sapanya. "Pagi!" Aku duduk di sebelah Chris dan berusaha untuk tidak mengingat tadi malam. Ibu menyiapkan sarapan pagi untuk kita semua. Kami pun makan dengan tenang dan tidak ada yang bicara satu pun. Makanan Chris sudah habis dan dia mengelap mulutnya dengan serbet. "Sarapan paginya lezat, terima kasih." Ibu tersenyum telah dipuji oleh Chris. Aku menghabiskan makananku yang masih tersisa. Setelah selesai sarapan, ibu menyuruhku untuk mengantar Chris ke depan pintu gerbang, karena Chris sudah berpamitan untuk pulang. Sinar matahari pagi menyambut kami ketika keluar. "Besok aku akan menemuimu lagi." "Hah?" Chris kembali mengenggam tanganku. Tangannya besar dan hangat. Aku menatap Chris dengan perasaan aneh dan tidak mengerti. Chris sudah menolak cintaku, tapi kenapa sikapnya padaku seperti orang yang sedang berpacaran saja? Sebelumnya ia tidak pernah dan tidak berani mengenggam tanganku, tapi setelah dia menolak cintaku, dia menjadi berani. Aku sungguh tidak mengerti dengan sikapnya itu. Apa mungkin bagi Chris menolak itu artinya menerima? Aku tertawa dalam hatiku. Hal seperti itu mana mungkin terjadi. Kami telah sampai di pintu gerbang depan rumah. Chris masih tidak mau melepaskan tanganku. Tingkahnya sungguh aneh. Ada apa dengannya? "Chris." "Oh iya. Maaf." Chris buru-buru melepaskan tanganku dan dia kembali menatapku. Aku balas menatapnya. Mata Chris terlihat sayu. "Aku pergi." Aku mengangguk dan terus memperhatikan Chris pergi sampai pria itu tidak terlihat lagi. Pintu depan rumah terbuka. Ibuku muncul dari balik pintu. "Apa Chris sudah pulang?" "Iya." "Kenapa kamu berdiri sana terus?" Aku berjalan masuk ke rumah. Ibu memandangiku. "Ada apa?"tanyanya. "Tidak ada apa-apa." "Apa kamu sudah mengatakan perasaanmu pada Chris?" "Iya." "Lalu?" "Chris menolakku." Aku menunduk sedih. Ibu langsung memelukku. "Sudah tidak apa-apa. Kamu bisa cari pria lain untuk menikah denganmu." "Aku tidak ingin pria lain." "Kalau begitu kamu tidak akan pernah menikah." "Itu tidak masalah bagiku. Aku belum bisa melupakan Chris." "Kamu jangan sedih lagi." Aku mengangguk. "Chris ingin kami berteman saja." "Itu bagus juga setidaknya dia masih mau berteman denganmu." "Iya. Aku akan membantu Ayah di kandang ayam." "Pergilah!" Aku terburu-buru pergi ke kandang ayam berusaha untuk tidak menangis lagi. Di kandang ayam sangat berisik karena semua ayam mengeluarkan suara. Ayah tidak ada di sana, tapi aku melihat seorang pria muda sedang membersihkan lantai. Aku menghampirinya. "Halo!" Pria itu mendongakkan wajahnya. Aku terkejut, karena pria itu lebih muda yang ia sangka. Pria itu seorang remaja. "Ada yang bisa aku bantu?" "Tidak. Aku mencari Ayahku dan sepertinya dia tidak ada di sini. Namamu siapa?" Pemuda itu mengelap tangannya di bajunya. "Aku, Hector." "Aku, Macaroon. Senang bertemu denganmu." "Aku juga." "Apa kamu melihat Ayahku?" "Mr. Harrington baru saja keluar dari sini. Katanya mau melihat kebunnya." "Aku akan memberi makan ayam dulu." Aku mengambil makanan ayam dan langsung memberikannya. Tidak lama kemudian ayahku muncul dan melihatku. "Kamu sedang memberi makan ayam-ayam." "Iya. Sebentar lagi selesai." "Setelah selesai memberi makan ayam, bisakah kamu ke rumah Mrs. Oakfield yang rumahnya disebelah Mrs. Hauston?" "Kenapa Ayah menyuruhku ke sana?" "Untuk mengantarkan telur pada Mrs. Oakfield. Tadinya Ayah yang akan mengantarnya, tapi kaki Ayah terkilir tadi." "Apa kaki Ayah baik-baik saja sekarang?" "Sekarang sudah lebih baik. "Aku akan ke sana." "Terima kasih. Ini telurnya." Aku segera mengantarkan telur setelah selesai memberi makan ayam. Aku berjalan kaki sambil membawa keranjang berisi banyak telur. Akhirnya aku tiba di rumahnya. Mrs. Oakfield membukakan pintu dan dia terlihat senang telur pesanannya sudah diantar, bahkan wanita itu menawarkannya minum teh, tapi aku menolaknya. Ketika aku akan pulang, aku bertemu dengan Mrs. Hauston. "Selamat pagi, Mrs. Hauston!" "Pagi!" "Aku baru saja mengantarkan telur pada Mrs. Oakfield. Aku permisi dulu." Aku berjalan terburu-buru, tapi Mrs. Hauston memanggilku. "Macaroon, tunggu!" Aku berhenti berjalan dan Mrs. Hauston menyusulku. "Sebelum kamu pulang ada yang ingin aku sampaikan padamu. Aku tidak tahu apa keputusanku ini benar atau tidak, tapi sepertinya kamu berhak tahu." "Ada apa sebenarnya?" "Ibumu pernah mendatangiku sebelum aku kembali mendatangimu untuk memberitahu ramalan itu tidak benar. Ibumu menyuruh aku mengatakan itu." "Ibu? Tapi kenapa?" "Ibumu tidak ingin kamu sedih dan terlalu memikirkan itu." "Jadi ramalan Anda benar?" "Iya, tapi setelah aku meramal lagi, aku menemukan sesuatu yang baru. Aku meramalmu lagi tidak lama setelah kamu datang ke rumahku." "Apa?" "Sesuatu ini yang terlewatkan olehku. Aku melihat dua sayap keluar dari punggungmu dan kamu tidak ikut menghancurkan Harsengard, tapi mencoba menyelamatkan Harsengard dari kehancuran. Kamu membunuh pangeran terkutuk. Ramalanku yang pertama aku tidak melihatnya secara utuh, tapi kali ini ada tambahan lagi." "Apa ramalan Anda ini juga belum utuh?" "Entahlah. Mungkin iya dan tidak. Keyakinanku benar. Kamu tidak mungkin ikut menghancurkan Harsengard. Sebenarnya Ibumu sudah tahu hal ini, tapi dia melarangku untuk memberitahumu." "Itu sebabnya kalian sempat berdebat di depan rumah saat menemuiku?" "Iya." "Aku tidak tahu pasti alasan Ibumu itu yang jelas Ibumu tidak ingin kamu tahu." Aku terdiam, lalu berterima kasih padanya, karena sudah mau memberitahuku dan aku berpamitan kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN