Audy membawa gadis yang kebingungan itu memasuki sebuah café. Aroma kopi langsung menyeruak dan menusuk indra penciuman Jeanne.
“Apa hantu masih minum kopi?” tanya Jeanne dengan penasaran sambil ia mengikuti Audy yang sudah duduk duluan.
“Sabar … duduk dulu, sabar …”
Seorang pelayan mendekat, menyodorkan daftar menu pada Audy dan Jeanne. Dan bahkan tanpa membuka buku menu, Audy sudah menyebutkan pesanannya.
“Ice Mocha Latte, kamu apa?”
Masih bingung, Jeanne bahkan masih tak mengerti apakah hantu tetap minum, makan, dan nongkrong di café seperti ini.
“Woi ….” Audy mengetuk meja untuk membuyarkan lamunan Jeanne.
Dengan tergagap, Jeanne berujar “A-a-air putih aja.”
“Jangan kayak orang susah banget deh, kalo dulu kamu hidupnya susah, lupain ajalah. Masa setelah jadi hantu masih kebawa-bawa hawa miskinnya,” seloroh Audy sambil ia membuka buku menu untuk Jeanne.
“Yah, aku gak suka minum kopi,” ujar Jeanne sambil menggaruk kepalanya.
“Yang nyuruh situ buat minum siapa? Woi, kita udah jadi hantu gak makan dan minum lagi,” balas Audy, mulai emosi dengan kebodohan Jeanne.
“Terus ngapain pesen kopi kalo gak bisa minum lagi?” tanya Jeanne lagi.
Audy menarik napas dalam-dalam. “Pencitraan aja sih,” ucapnya. “2 ice mocha latte aja deh,” lalu ia mengembalikan buku menu ke pelayan.
Audy membiarkan Jeanne menatap sekeliling café itu. Hendak memastikan apakah yang ia lihat adalah manusia atau hantu. Sementara Audy mulai sibuk dengan kamera ponselnya.
“Hantu juga punya HP?” pekik Jeanne.
Audy meletakkan ponselnya yang langsung ditatap dengan tatapan penuh kekaguman oleh Jeanne. Jeanne bisa mengenali benda pipih itu dalam sekali lihat, ponsel keluaran terbaru dengan logo apel yang sudah digigit. Yang harganya belasan juta, yang belum berhasil ia beli saat masih hidup karena malas meminta uang kepada ayahnya.
“Please deh, apa cuma manusia yang boleh eksis? Kita para hantu juga gak mau kalah dari manusia. Kita punya HP, upload di IG, bikin Tik Tok, dan semua media sosial kita ramein.”
Mulut Jeanne membulat. Dunia persinggahan hantu benar-benar berbeda dari apa yang ia pikirkan. Hantu punya akun sosial media, nongkrong di café, dan belum lagi wajahnya yang kinclong itu.
“Jadi mereka-mereka itu hantu semua?” tanya Jeanne sambil menunjuk pengunjung café dan juga para hantu yang berkeliaran di luar.
“Benar, di sini semuanya hantu. Gak ada manusia di sini, yang bisa masuk ke dunia persinggahan hanya hantu,” jelas Audy lalu ia kembali berfoto dengan pose-pose yang membuat Jeanne menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Pandangannya mengelilingi tempat itu, menatap para hantu-hantu dengan wajah rupawan dan dengan pakaian bagus.
“Weww,” ucap Jeanne saat ia menyadari pakaian yang ia kenakan, hanya baju tidur kumal yang entah sudah berapa lama ia pakai.
Ia mengangkat sedikit lengannya, memastikan bau badannya tak terlalu menganggu. Tapi, apalah daya sejak ia demam beberapa hari yang lalu ditambah perjalanan dengan angkot karatan itu, ia sama sekali belum mandi. Ia buru-buru merapatkan lengan ke tubuhnya agar aroma tubuhnya tak menyebar kemana-mana.
“Kamu pasti belum mandi kan?” tebak Audy yang disambut anggukan kecil oleh Jeanne. “Nanti kamu mandi aja di tempatku, sekalian ganti baju.”
“Hantu juga masih mandi dan ganti baju?” tanya Jeanne lagi.
Kali ini Audy menghela napas panjang lagi. “Please deh, masa hantu harus kumal. Jangan tertipu deh sama sinetron-sinetron di TV yang hantunya kalo mati jadi pocong atau kuntilanak. Lihat dong baik-baik,” sambil Audy menunjuk dirinya sendiri. “Kita para hantu tetap mandi, pake baju bagus, pake skincare biar glowing, biar follower di IG makin banyak.”
Jeanne menggelengkan kepalanya sambil ia mengacungkan kedua jempolnya. “Hantu jaman now emang luar biasa.”
Audy sibuk menjelaskan perihal dunia perhantuan pada Jeanne yang masih serba tidak tahu. Yang sepanjang Audy menjelaskan mulutnya terus mangap-mangap layaknya ikan yang kehabisan air.
Ia berusaha mencerna ucapan Audy, hantu tidak makan dan minum tapi tetap mandi dan berganti pakaian. Sesekali para hantu nongkrong di café lalu sibuk berfoto untuk dipamerkan di sosial media. Dan bagi para hantu tajir mereka bahkan sampai liburan ke luar negeri. Wow, luar biasa.
“Aku juga mau ke luar negeri, mau ke Brunei” ucapnya dengan penuh semangat.
“Aneh,” ucap Audy. “Yang lain mau liburan keliling Eropa atau ke Korea Selatan ketemu oppa-oppa, eh kamu mau ke Brunei.”
Jeanne tersenyum, wajahnya mendongak mengingat sumber kebahagiaannya di Brunei. Anak Sultan Brunei yang menjadi pengisi kekosongan hatinya selama ini. Pria berusia 29 tahun yang foto-fotonya memenuhi galeri di ponsel miliknya.
“Aku juga mau HP kayak punya kamu,” tunjuknya pada ponsel milik Audy.
“Kamu punya duit kan?” tanya Audy.
“Emang harus pake duit?” tanya Jeanne dengan wajah polos.
“Please deh, jangan b**o banget. Kalo gak pake duit terus pake apaan? Dikira yang jualan HP itu lagi sedekah apa? Cukup pas hidup aja kita sedekah, setelah mati gak guna lagi.”
Jeanne meraba baju tidurnya yang bahkan tak memiliki saku sama sekali, yang artinya ia juga tak memiliki uang sepeser pun. Ia berakhir menyengir pada Audy. Sambil menggaruk kepalanya, ia menggerutu dalam hati.
Udah mati aja masih harus pusingin soal duit. Tau gini sebelum mati, minta warisan dulu terus kubawa kesini biar enak.
“Gimana caranya hantu dapet duit?” tanyanya kemudian.
“Kamu liat pelayan tadi?” tanya Audy yang langsung disambut anggukan oleh Jeanne. “Mereka kerja sebagai pelayan, ada yang bekerja sebagai penjual kosmetik, penjual HP, jualan kopi, jual pakaian, pokoknya banyak. Intinya pekerjaannya kurang lebih kayak manusia.”
Jeanne mendesah pelan, ia bisa menjadi hantu paling miskin sejagad dunia perhantuan kalau begini. Sementara hantu-hantu yang ia lihat semuanya terlihat berduit.
“Kamu kerja apaan?” Jeanne bersuara setelah lama ia terdiam memikirkan nasibnya.
“Aku gak kerja,” jawab Audy dengan bangga.
“Kok bisa?” Jeanne mulai penasaran. “Ah, orang tua kamu kaya yah? Mereka jadi hantu juga?”
Audy menggeleng. “Orang tuaku masih hidup, aku bahkan anak orang miskin saat aku masih hidup. Tapi di sini, aku seperti yang kamu lihat,” lanjutnya dengan bangga sambil menunjukkan ponsel berlogo apel yang sudah digigit itu pada Jeanne.
“Gimana caranya?” Jeanne makin penasaran.
“Aku lewat jalur khusus,” jawab Audy. “Aku mati sebagai pahlawan. Aku menyelamatkan nyawa orang lain dan dengan kebaikanku, mereka menjemputku dengan jet pribadi lalu menyediakan apartemen mewah untuk kutinggali, ditambah memberikan uang bulanan padaku.”
Jeanne menelan ludahnya, ia dijemput angkot karatan, tanpa rumah, dan tanpa sepeser pun uang.
Bagaimana nasibku sebagai hantu?
“Sepertinya kau hidup tidak begitu baik selama ini,” tebak Audy melihat Jeanne yang serba kebingungan dan dalam keadaan kumal begini.
Sangat berbeda dengan keadaannya waktu itu. Meski ia meninggal dalam keadaan ditabrak mobil karena menyelamatkan nyawa dua anak kecil, ia mendapatkan penjemputan khusus. Ia diberikan ruangan khusus untuk membersihkan diri dan berganti dengan pakaian terbaik lalu ia diantarkan menuju apartemen mewahnya.
180 derajat dengan keadaan Jeanne yang mati sendirian, dijemput angkot karatan, lalu ditinggalkan dalam keadaan bingung.
“Inilah pentingnya berbuat baik, Nak,” ucap Audy seolah-olah ia sedang menasehati seorang anak kecil.
Hanya helaan napas panjang yang terdengar dari mulut Jeanne yang menandakan keputusasaannya. Entah mati atau hidup, dua-duanya sama-sama ngenesnya.
“Sudahlah, jangan bersedih. Aku akan menampungmu.”
Jeanne menatap mata tulus itu. Gadis di hadapannya itu memang terlihat gadis baik-baik, berbeda dengannya yang banyak tingkah selama hidup.
“Bukankah katamu setelah mati tak ada gunanya berbuat baik lagi?”
“Benar juga,” balas Audy. “Tapi, anggap saja aku terlalu bosan dan karena itu aku berbuat baik kepadamu. Yah, hitung-hitung menampung hantu ngenes sepertimu, kali aja uang bulananku ditambah.”
“Bagaimana jika aku merampokmu?” sambar Jeanne dengan cepat dan dengan ekspresi tanpa dosa.
“Please deh, kalau mau ngerampok gak usah izin dulu. Itu bukan ngerampok lagi namanya,” cibir Audy.
Hanya oh panjang yang terdengar dari mulut Jeanne sebelum ia membenturkan kepalanya di meja.
“Ayo kita ke tempatku, setelah kau bersih-bersih kau harus menemui Miss Marie,” ajak Audy lalu ia berdiri dari kursinya.
“Siapa lagi itu Miss Marie?” lirih Jeanne, ia tak bersemangat untuk menemui siapapun.
“Semacam pembimbing di sini. Setiap hantu baru wajib menemuinya.”
Audy membayar dulu kopi pesanannya yang tak pernah ia cicipi. Seperti katanya tadi, makanan dan minuman hanya menjadi pencitraan saja. Karena para hantu tak lagi merasa kelaparan atau kehausan. Dan yah, pencitraan itu hanya untuk mereka pamerkan di media sosial, berlomba-lomba untuk mendapat like dan follower terbanyak. Seperti halnya manusia yang gila pujian, dunia hantu pun tak jauh berbeda.
Jeanne lagi-lagi melongo saat ia duduk di mobil mewah milik Audy. Mobil milik Audy itu persis seperti apa yang ia bayangkan saat menunggu jemputannya. Mobil yang bahkan ia tak tahu apa merknya yang pasti atap mobil itu bisa terbuka dan tertutup hanya dengan sebuah tombol.
“WOW!!” Jeanne bertepuk tangan. “Bagaimana jika kau menekannya lagi? Aku ingin melihat atapnya tertutup, lalu terbuka lagi,” pintanya sambil menyengir.
“Please deh, jangan kampungan banget. Hantu lain bisa ketawain kamu tau gak.”
Kali ini Jeanne mengangguk pasrah. Ia memperhatikan tangan lincah Audy yang mengemudikan mobil itu. Tangannya ikut-ikutan gatal ingin melakukan hal yang sama, mengatur stir dan persneling, menginjak gas dan juga rem.
“Waktu hidup kamu gak pernah naik mobil?” tanya Audy.
“Pernah sih, tapi gak pernah naik mobil semahal ini. Mobil orang di rumah cuma mobil biasa, ya gitulah,” ucapnya dengan enggan karena mulai malas mengingat tentang keluarganya.
“Masih untung keluarga kamu punya mobil, keluargaku dulu jangankan mobil, sepeda aja gak punya. Rumah pun masih ngontrak, kita pindah-pindah tiap abis masa kontrak nyari rumah paling murah,” cerita Audy. “Gak usah sedih, setelah kamu mandi, aku anterin ketemu Miss Marie, lalu kita ke acara Hantu Awards 2021.”
“Hantu Awards 2021?” Jeanne membeo dengan nyaring. “Hantu juga punya awards? Gak cuma artis di TV yang tiap tahun ada awards-nya?”
“Please deh, jangan terlalu mendiskriminasi hantu. Hantu juga gak kalah kerennya dengan manusia. Bahkan kita jauh lebih keren dari mereka,” ucap Audy dengan bangga.
****