Bab 14

1181 Kata
“Siapa yang nemuin Lavanya?” tanya Rasya kepada Shankara. “Asia.” “Asia?” Shankara menganggukkan kepala menjawab pertanyaan dari Rasya itu. “Asia?” tanya Rasya sekali lagi untuk memastikan jika yang dirinya tidak salah dengar. “Iya. Asia,” jawab Shankara. “Asia mahasiswi kita itu? Yang kemarin sempat nabrak lo waktu dia ngaca di jendela mobil gue itu?” “Iya, yang itu.” “Kok bisa Asia yang nemuin Lavanya? Memangnya dia tahu Lavanya?” tanya Rasya bertubi-tubi. “Oh, atau jangan-jangan lo hubungin dia buat datang ke sini khusus untuk mencari keponakan gue?” “Nggak lah. Ngapain gue menghubungi dia buat ke sini, khusus untuk mencari Lavanya? Sejak kapan gue semena-mena itu?” “Terus?” Shankara menarik napas dalam memikirkan hubungan Asia di dalam keluarga kecil Shankara. “Asia itu guru les Lavanya. Dan tadi gue nggak sengaja ketemu sama dia. Terus gue minta tolong buat ikut nyari Lavanya.” “Hah? Asia beneran guru lesnya?” tanya Rasya tampak terkejut. “Iya. Gue pun kaget pas tahu.” Rasya mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Setelah mendapatkan kabar dari Asia jika Asia sudah menemukan Lavanya, Shankara bersama dengan Rasya segera menuju ke tempat di mana Asia dan Lavanya berada. Shankara ingin segera bertemu dengan putri kecilnya itu. Shankara ingin memastikan bahwa Lavanya baik-baik saja. Tak butuh waktu lama bagi Shankara sampai di wahana bermain anak yang berada di satu lantai yang sama dengan toko pakaian yang tadi ia datangi. Shankara mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari sosok Lavanya ataupun Asia. “Itu Lavanya,” kata Rasya menepuk pundak Shankara seraya menunjuk arah di mana seorang gadis kecil tengah berdiri di depan mesin capit boneka bersama dengan dua orang gadis. Shankara mengamati sosok Lavanya yang sedang menunjuk-nunjuk boneka yang ada di dalam mesin capit itu. Asia dan juga perempuan yang Shankara tahu bernama Kalila saat ini tengah sibuk mencoba menjapit boneka dari mesin itu. Melihat sosok Lavanya tampak baik-baik saja membuat Shankara merasa sangat lega. Shankara berjalan mendekat ke arah Lavanya, Asia dan Kalila berada. Rasya mengikuti di sampingnya. “Lavanya,” panggil Shankara ketika sudah berada di dekat Lavanya. Suara Shankara itu membuat Lavanya, Asia dan juga Kalila menoleh. “Pak,” sapa Asia dan Kalila ketika melihat sosok Shankara dan juga Rasya di dekat mereka. Rasya menanggapi dengan anggukkan kepala singkat. Shankara hanya melirik ke arah mereka sekilas. Perhatiannya saat ini tengah terfokus kepada Lavanya yang tampak enggan melihatnya. “Lavanya,” panggil Shankara lagi seraya berjongkok di depan putri kecilnya itu. Lavanya membuang muka seraya bersembunyi di belakang tubuh Asia. Hal ini membuat Asia menatap ke arah Shankara dan Lavanya dengan ekspresi bingung. “Papa cariin kamu dari tadi, Lavanya,” kata Shankara dengan lembut. “Papa panik banget gara-gara nggak bisa nemuin kamu. Apa dari tadi kamu di sini? Kenapa nggak bilang ke papa kalau mau main di sini? Kalau kamu bilang, papa kan bisa ajak kamu langsung buat main ke sini.” Lavanya tidak membalas. Bahkan, bocah cilik itu enggan menatap ke arah papanya yang tampak begitu nelangsa. “Lavanya,” panggil Asia menoleh ke arah Lavanya yang ada di belakangnya. “Diajak ngomong sama papa. Masak diam aja?” “Lavanya nggak mau ngomong sama Papa,” jawab Lavanya tampak sedang ngambek. Ucapan Lavanya itu membuat Asia menoleh ke arah Shankara yang terlihat tengah menghela napas dalam. “Kalau gitu, Lavanya main dulu sama Kak Kalila, ya? Biar Miss aja yang ngomong sama Papa. Oke?” kata Asia lagi mencoba bernegosiasi dengan Lavanya. “Miss juga jangan ngomong sama papa,” balas Lavanya menatap Asia dengan ekspresi cemberut. “Kenapa nggak boleh ngomong sama papa?” tanya Asia. “Soalnya papa nyebelin!” jawab Lavanya menatap papanya sebal lalu gadis itu membuang muka. Asia yang kebingungan setelah mendengar ucapan Lavanya itu hanya bisa menggaruk kepala. Ia tidak menyangka akan setuju dengan ucapan Lavanya. Karena baginya Shankara memang menyebalkan. Namun, tidak mungkin Asia menyetujui ucapan Lavanya secara terang-terangan. “Kalau gitu, Lavanya sama Uncle Rasya aja, yuk? Uncle ajakin belanja. Mau nggak? Uncle beliin boneka, deh,” bujuk Rasya. Lavanya menggelengkan kepala. “Nggak mau. Lavanya maunya sama Miss aja.” Kini Asia hanya bisa melirik ke arah Rasya dan juga Shankara dengan ekspresi serba salah. Ia pun tidak menyangka akan terjebak di dalam drama keluarga dosennya ini. “Lakukan sesuatu, Asia,” kata Shankara cukup pelan yang tampaknya tak dapat didengar oleh Lavanya. Lakukan apa? Memangnya apa yang bisa Asia lakukan? Sebenarnya, Asia pun tidak tahu bagaimana caranya menghadapi anak kecil. Di lingkungan keluarganya, Asia tidak memiliki keponakan ataupun sepupu yang sekecil Lavanya. Jadi, Asia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Asia menoleh ke arah Lavanya seraya ikut berjongkok di samping Lavanya. Asia melakukan kontak mata dengan gadis kecil itu. “Apa Lavanya mau main sama Miss hari ini?” tanyanya yang membuat Lavanya menganggukkan kepala. “Kalau gitu, Lavanya ikut sama Kak Kalila ya, isi kartu buat main sepuasnya di sini. Oke?” “Papa nggak usah diajak,” kata Lavanya melirik sebal ke arah papanya. Asia pun ikut melirik ke arah dosennya yang tampak mempertanyakan dengan ajakan main Asia kepada Lavanya. “Tentu aja. Papa kamu nggak diajak,” balas Asia kembali menatap ke arah Lavanya. “Kalau gitu Miss usir papa kamu dulu gimana? Kamu ke sana dulu sama Kak Kalila.” Asia menunjuk arah di mana tempat mengisi kartu berada. Dengan semangat Lavanya menganggukkan kepala. “Oke, Miss.” Asia memberi isyarat kepada Kalila untuk mengajak Lavanya pergi yang dibalas oleh Kalila dengan anggukkan kepala kecil. “Let’s go!” ucap Kalila seraya meraih tangan Lavanya untuk menggandengnya. Setelah itu, Kalila dan Lavanya pergi meninggalkan Asia, Shankara dan juga Rasya. Asia bangkit berdiri. Shankara pun juga. Kini, Shankara menatap Asia dengan kernyitan di dahi. “Kenapa kamu malah mau culik anak saya?” tanya Shankara tanpa basa-basi. Pertanyaan Shankara itu membuat Asia menatap Shankara dengan tatapan tak percaya. “Siapa yang mau culik anak bapak!” balasnya tak terima. “Saya hanya mau coba nenangin Lavanya.” “Kan nggak harus kamu ajakin main, Asia.” “Lah, anak Bapak kan lagi nggak mau ketemu sama bapak. Kalau ikut bapak, terus kabur lagi gimana?” “Tapi kan—” “Bener, Shan. Biarin Lavanya main dulu,” potong Rasya mencoba menenangkan Shankara. “Tunggu emosinya reda, baru nanti ajakin bicara.” Shankara menghela napas dalam seraya menganggukkan kepala. “Oke,” katanya. “Tolong jagain Lavanya.” Shankara menatap ke arah Asia dengan ekspresi memohon sekaligus mengancam. Tentu saja Asia hanya bisa menganggukkan kepala mendengar ucapan Shankara itu. “Iya, Pak,” balasnya. “Bapak boleh kok ke mana gitu. Saya akan jagain Lavanya. Nanti kalau Lavanya sudah bisa diajakin bicara, saya akan kabarin Pak Shankara,” lanjutnya. Shankara menganggukkan kepala mendengar ucapan Asia itu. “Oke.” “Kalau gitu saya ke sana dulu, Pak,” kata Asia menunjuk ke arah di mana Lavanya dan Kalila berada. “Makasih, Asia,” ucap Shankara sebelum Asia berjalan pergi meninggalkan Shankara dan Rasya. Ucapan terima kasih Shankara itu hanya dibalas Asia dengan anggukkan kepala singkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN