“Apa? Owner? Dia ... owner-nya Re's Florist?” ulang Wira, memastikan lagi bahwa ia tidak salah dengar.
Pegawai itu mengangguk. “Benar, Mas. Mbak Renada ini adalah owner dari Re's Florist. Dan beliau adalah orang yang Mas cari-cari tadi,” jawabnya.
Wira mengatupkan rahangnya cepat. Lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia masih lumayan syok mengetahui bahwa wanita aneh yang menyebalkan ini adalah pemilik dari toko bunga tempat mantan kekasihnya bekerja.
Astaga! Dunia sempit sekali.
“Kenapa? Kaget, ya? Atau masih nggak percaya kalau ternyata saya adalah owner toko ini? Ya udah sih nggak apa-apa kalau nggak percaya. Saya juga nggak minta kepercayaan dari Masnya,” sinis wanita yang baru Wira ketahui bernama Renada. Wanita itu menata barangnya di meja kasir tanpa memedulikan jika Wira masih berada di sana.
Wira mendengus. “Ya, bukannya nggak percaya, saya cuma masih kaget aja. Masa cewek modelan kayak Mbak itu owner toko ini. Pasti bohong, kan? Mbak pasti cuma ngaku-ngaku doang,” sahutnya. “Mbak, cewek ini pas—loh, Mbaknya kok nggak ada? Mbak, Mbak kok malah pergi? Hei, Mbak?!”
Namun, percuma. Pegawai toko tadi malah masuk ke sebuah ruangan yang letaknya hanya beberapa langkah dari meja kasir.
“Berisik! Bisa diam, nggak? Kalau nggak bisa, pergi aja sana!”
“Tanpa Mbak minta pun saya juga udah mau pergi. Kecewa saya. Besok-besok nggak lagi deh datang ke sini. Penjualnya nggak ramah sama pembeli,” sahut Wira. Dan tanpa membuang waktu lagi, ia segera mengambil paper bag berisi pesanan bunganya dan pergi.
Rasa kesal yang menguasai membuat Wira menutup kasar pintu toko. Detik itu juga, indra pendengarannya menangkap suara wanita itu yang meneriakkan, “Dasar, cowok aneh!” kepadanya. Wira tak peduli. Yang ia butuhkan sekarang segera pergi dari tempat ini.
Tiba di luar, Pak Rusdi yang sedang beristirahat di bangku panjang di bawah pohon, melambaikan tangan ke arahnya. Laki-laki paruh baya itu lantas menghampiri Wira.
“Loh, Mas Wira kenapa kok mukanya ditekuk gitu?” tanya Pak Rusdi saat sudah berdiri di dekat mobil Wira.
“Nggak apa-apa, Pak. Cuma lagi kesal aja sama salah satu pegawai di sana. Sikapnya nggak ramah banget sama pembeli, mana ngaku-ngaku jadi owner-nya lagi,” gerutu Wira tanpa sadar.
Tidak ingin berlama-lama, Wira segera masuk ke mobilnya. Ia memberikan selembar uang dua puluh ribu kepada Pak Rusdi. Laki-laki paruh baya itu berulang kali mengucapkan kata ‘terima kasih’ kepada Wira.
Melihat Wira yang sudah menyalakan mesin mobilnya, Pak Rusdi pun bersiap melakukan tugasnya—memberi arahan kepada Wira. Wira mengklakson sekali lalu mengendarai mobilnya meninggalkan toko bunga tersebut.
Dalam hati, ia masih merasa dongkol dengan kejadian di toko bunga tadi. Bisa-bisanya ia bertemu orang menyebalkan seperti wanita itu. Siapa tadi namanya? Re ... Rena ... ah, iya namanya Renada.
Oke, mulai detik ini juga, ia akan memasukkan nama itu ke dalam daftar hitamnya. Ia tidak ingin ketenangan hidupnya terusik oleh orang seperti Renada.
“Padahal namanya cantik, tapi kenapa pemilik namanya nggak ada cantik-cantiknya? Kelakuannya malah mirip nenek sihir,” gerutu Wira.
Ia menghela napas pelan, fokus pada jalanan. Namun, matanya tanpa sengaja melihat sebuah paper bag di jok mobil belakang melalui pantulan kaca spion tengah. Karena sedang kesal, ia sampai lupa kalau tujuannya kali ini bukan ke rumah, melainkan menuju ke Sky Apartement.
Bunga Lily putih adalah bunga kesukaan Shevi. Tidak hanya Shevi, tapi Almarhumah Nindi, kembaran Shevi yang akrab dengan Sasmita juga menyukai bunga Lily putih.
Dan hari ini, Wira sudah memutuskan bahwa ia akan menemui Shevi langsung di apartemen wanita itu. Tidak peduli bagaimana reaksi wanita itu nanti, yang jelas Wira hanya ingin bertemu dan mengungkapkan semuanya.
Dua puluh menit kemudian, Wira tiba di depan Sky Apartement. Ini adalah kali kedua, ia datang ke sini. Wira turun dari mobilnya, lalu mengambil paper bag di jok penumpang belakang mobil. Ia menghela napas pelan, sebelum akhirnya melangkah memasuki gedung apartemen itu seraya menekan tombol lock di kunci mobilnya.
“Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang wanita berseragam batik di meja resepsionis.
“Siang, Mbak. Saya temannya Shevita Aura. Dia salah satu orang yang tinggal di apartemen ini. Nah, saya lagi ada keperluan sama Shevi. Mbak bisa tolong panggilkan orangnya, minta supaya Shevi yang turun? Soalnya, saya juga lagi buru-buru. Bagaimana, bisa, Mbak?”
“Bisa, Pak. Kalau boleh tahu nama Bapak siapa, ya biar lebih mudah untuk saya beritahukan ke Bu Shevi?” tanya wanita itu.
“Wira,” jawabnya.
“Baik, Pak Wira. Tunggu sebentar, ya saya telepon Bu Shevi dulu.”
Wanita di meja resepsionis itu tampak menghubungi seseorang yang Wira yakini orang itu adalah Shevi. Karena selang beberapa detik kemudian, wanita itu memberitahu Wira bahwa Shevi akan turun sebentar lagi dan ia diminta menunggu di ruang tunggu.
Wira mendudukkan tubuhnya di kursi ruang tunggu. Menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang empuk. Tangannya mengecek ponsel, memastikan tidak ada pesan atau telepon penting yang masuk ke ponselnya.
Beberapa kali, ia menghela napas. Sial! Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdebar kencang tak karuan. Takut-takut kegugupannya ini bisa membuat jantungnya meledak di sini.
Tiga menit berlalu, tapi Wira belum melihat tanda-tanda kedatangan Shevi. Mendadak ia teringat sesuatu. Kenapa tadi ia menyebutkan nama aslinya?
Apa karena Shevi sudah tahu kalau ia datang, makanya wanita itu tidak mau menemuinya?
Namun, kalau tidak mau menemuinya, lantas kenapa memintanya menunggu di sini? Apa Shevi mempermainkannya? Tidak-tidak. Shevi tidak seburuk itu.
Wira masih sibuk menenangkan pikiran-pikiran memusingkan di benaknya ketika tanpa ia sadari, seseorang yang ia pikirkan sudah berdiri beberapa langkah dari kursi yang didudukinya.
“Wira?”
Panggilan bernada lembut itu berhasil membuat Wira mendongak cepat. Matanya membelalak mengetahui siapa yang kini berdiri beberapa langkah darinya. Pandangan mereka beradu.
Manik cokelat itu nyatanya masih sama seperti dulu. Masih tetap membuat Wira jatuh dalam pesonanya.
“Shevi,” lirih Wira. Pandangannya tak sedikit pun beralih dari manik mata cokelat milik wanita itu. Perlahan kedua ujung bibirnya melengkungkan senyuman.
Wira baru akan membuka mulutnya lagi, tapi suara Shevi lebih dulu memasuki indra pendengarannya. Membuatnya mengurungkan kembali niatnya.
“Kita bicara di tempat lain aja,” ucap Shevi lalu mengisyaratkan supaya Wira mengikutinya.
Mereka melangkah keluar dan menuju sebuah taman yang letaknya tepat di samping gedung apartemen tersebut. Taman itu masih satu bagian dengan Sky Apartement. Mereka duduk di salah satu bangku taman yang menghadap tepat pada air mancur di tengah-tengah taman. Ada jarak dua jengkal di antara mereka.
“Kamu apa kabar, Shev?” tanya Wira. “Oh iya, aku bawa ini buat kamu. Kamu masih suka bunga Lily putih, kan?” Wira memberikan paper bag yang tadi dibawanya kepada Shevi.
Shevi memandang sejenak paper bag tersebut, sebelum akhirnya menerimanya. “Terima kasih,” ucapnya lirih, tapi masih bisa ditangkap oleh pendengaran Wira.
“Kamu apa kabar?” Wira mengulangi pertanyaannya. Membuat Shevi yang semula memandangi bunga pemberiannya pun menghela napas pelan.
“Seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja,” jawabnya. Ia menoleh pada Wira. “Kamu sendiri apa kabar? Bagaimana kabar Om, Tante, dan Sasmita juga. Apa mereka semua sehat?”
Ada getar pilu dalam hati Wira mendengar wanita itu menanyakan kabar keluarganya. Wira ingat bagaimana dekatnya Shevi dengan ibu dan adiknya.
“Baik, dan mereka semua juga sehat. Hanya saja Papa sempat jatuh sakit dan baru pulang dari rumah sakit kemarin,” jawab Wira.
Shevi mengangguk paham. “Syukurlah kalau sekarang sudah sembuh, aku senang mendengarnya. Tapi, dari mana kamu tahu kalau aku tinggal di sini? Dan ada apa kamu datang ke sini?”
Wira tersenyum miris mendengar kalimat yang dilontarkan wanita itu. Namun, bagaimanapun juga, Wira tidak marah karena pada kenyataannya ialah yang salah hingga Shevi bersikap seperti itu kepadanya.
“Aku dapat alamat apartemen kamu dari salah satu pegawai di Re's Florist,” jawab Wira.
“Sebelumnya aku udah cari kamu ke mana-mana, tapi nggak ketemu. Di kontrakan lama kamu, tapi kata tetangga kamu udah pindah. Ke minimarket tempat kamu kerja, mereka bilang kamu udah resign. Kamu juga ganti nomor.
“Sampai akhirnya, aku dapat informasi kalau kamu kerja di Re's Florist. Makanya aku coba datang ke sana. Tapi pas aku tanya pegawai di sana, mereka bilang kamu udah resign dan hari di mana aku datang ke sana adalah hari di mana kamu pulang cepat karena resign.
“Dan aku dengar dari Dokter Nara, dia bilang kalau kamu udah melakukan operasi transplantasi ginjal. Apa ginjal barumu baik-baik saja? Kamu tidak mengalami kesulitan, kan?”
Shevi tak langsung merespons ucapan Wira. Entah apa yang ia pikirkan, wanita itu justru menatap ke arah air mancur di depan sana.
“Ya, ginjal baruku membuat aku merasa lebih baik. Lalu apa tujuanmu sebenarnya datang ke sini? Apa kamu datang hanya untuk mengatakan hal itu?” tanya Shevi tanpa mengalihkan pandangan dari air mancur.
“Bukan. Aku datang ke sini karena ingin ketemu kamu, Shev. Ada yang ingin aku bicarakan juga, ini tentang kita.”
Shevi sontak menoleh. “Mau bicara soal apa lagi? Seingatku udah nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi sejak hari itu. Kita selesai, Wira.”
“Aku tahu, Shev. Kita udah selesai, tapi tujuanku datang ke sini untuk memperbaiki semuanya. Aku tahu kesalahanku di masa lalu itu terlalu besar dan nyakitin kamu. Aku minta maaf, Shevi.”
“Nggak semudah itu, Wir. Aku bahkan nggak tahu bisa memaafkan kamu atau nggak. Semua perbuatan kamu di masa lalu bikin aku kecewa sekaligus marah sama keadaan. Bahkan saat itu aku nggak tahu apa aku bisa bertahan atau nggak karena aku cuma sendirian. Rasanya sangat menyakitkan, Wir.”
“Maaf, Shev. Aku sungguh-sungguh minta maaf sama kamu. Aku janji akan melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan maaf dari kamu. Aku ingin memperbaiki semuanya, Shev. Aku mohon.”
“Percuma, Wir. Keadaan udah beda sekarang. Kamu nggak akan pernah bisa memperbaiki keadaan walaupun kamu memaksa.”
“Aku nggak peduli keadaan udah beda atau nggak sekarang. Aku akan tetap berusaha memperbaiki semuanya, Shev. Apa pun akan aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku di masa lalu. Aku mohon, Shev,” mohon Wira, tapi Shevi sama sekali tidak terketuk hatinya.
Wanita itu masih tetap kekeuh dengan pendiriannya. Mengatakan bahwa Wira tidak akan bisa memperbaiki semua kesalahan di masa lalunya. Bahkan, wanita itu meminta pembicaraan tersebut berakhir di sana dan meminta Wira untuk segera pergi dari sana.
“Aku sibuk, Wira. Ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan. Jadi, tolong kamu pulang dan tolong jangan pernah datang lagi ke apartemenku. Anggap saja kita tidak pernah terlibat hubungan di masa lalu.
“Kenapa begitu? Faktanya kita memang menjalin hubungan di masa lalu,” sahut Wira. Ia meraih tangan Shevi, tapi langsung dihempas oleh wanita itu.
“Terus kamu mau apa sekarang? Mau ngehancurin hidupku lagi seperti yang udah kamu lakukan dulu ke aku? Iya?!” Shevi meledak. Ia sudah tidak bisa lagi menahan diri untuk bersikap biasa saja sejak kedatangan laki-laki itu.
“Enggak, Shev. Kamu salah paham. Aku hanya mau tanya satu hal sama kamu soal ...”
“Soal apa?”
“Soal .... di mana keberadaan anak itu ... anak kita?”