Seharusnya keberangkatan Lilo tak diketahui pihak media seperti yang dikatakan ayahnya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sejak Lilo keluar dari mobil bersama Kurt, Nyonya Hedy, Klaus, dan Nyonya Clotilda, sinar kamera segera menerpa wajah berkerut Lilo. Beberapa microphone tepat mengarah kepada Lilo disertai pertanyaan terkait Lilo yang berangkat ke luar negeri karena beasiswa. Yang menjadi pertanyaan adalah di negara mana Lilo belajar selama setahun itu karena menurut pemberitahuan dari sekretaris walikota, negara tersebut menjadi rahasia.
Lilo menggembungkan pipinya ketika mendengar kalimat salah satu wartawan majalah remaja tersebut. Jika dikatakan rahasia, mengapa ayahnya menyuruh Edith memberitahu keberangkatan Lilo? Sudah pasti demi citra sang walikota agar semua orang tahu bahwa sang puteri adalah pelajar yang pintar dan berprestasi.
Hanya ada Kurt dan Nikolaus yang mendampingi Lilo dan tiga orang lainya. Nikolaus menggiring Nyonya Hedy, Klaus dan Nyonya Clotilda keluar dari kerumunan pers menuju pintu masuk. Ketika Lilo akan melangkah, maka barisan pers akan membuntutinya. Hal yang sudah biasa yang dialami Lilo. Dia hanya perlu tersenyum. Seperti biasa dan melambai. Saat Lilo bersiap akan melaksanakan kebiasaan itu, senyumnya mengambang di udara dan tangannya tertunda untuk melambai manja seperti biasanya.
Pandangan Lilo terhalang oleh punggung jangkung berjaket kulit hitam, yang bahkan Lilo harus berjinjit dari balik tubuh itu demi melihat apa yang terjadi di depannya.
Kurt berdiri tegak menghalangi para pers untuk mendapatkan wajah Lilo. Ia membuka kacamata hitamnya dan menyapu semua wajah melongo para wartawan dan reporter itu dengan pandangan tajam. "Jangan mengambil foto Fräulein Lilo lagi. Kalian hanya menghalangi perjalanannya."
Lilo membelalakkan matanya ketika beberapa pemburu berita itu menghentikan jepretan kamera, mundur beberapa langkah hingga membuka lebar jalan bagi Lilo dan Kurt. Saat ada satu orang yang nekat membidik Lilo dengan kameranya,cepat, dengan memanfaatkan tinggi tubuhnya yang bagai jerapah, Kurt menjangkau kamera si wartawan.
"Apa kau mau mengeluarkan ratusan Euro untuk kamera baru?" Kurt berkata rendah.
" Nein Sir*." Si wartawan menggeleng cepat. (Tidak, Sir)
Kurt tersenyum tipis." Maka singkirkan kameramu dan biarkan Fräulein Lilo berjalan dengan tenang."
Seketika kerumunan itu sunyi bahkan Lilo sendiri ternganga. Tanpa sadar dia menyerukan suara kagumnya. "Wow! Double wow!" ia bertepuk tangan dengan gembira.
Kurt mendengus dan memasang kembali kacamatanya, meraih bahu Lilo, setengah menyeret sang nona untuk segera menuju bagian pemeriksaan. Dia menghentikan tepukan tangan Lilo dan berkata di atas kepala gadis itu.
"Hentikan jika kau mau orang-orang itu tetap diam di tempat!" Kurt melepaskan tangannya dari bahu Lilo dan menunjuk mesin pemeriksa barang yang ada di depan Lilo. "Tasmu."
Lilo meletakkan tasnya untuk di cek isinya melalui mesin periksa dan berjalan pelan dengan Kurt yang berada di tepat di belakangnya. "Aku memujimu. Hebat! Kau bisa menghentikan mereka. Selama ini Alois tak bisa menghentikan mereka untuk mengambil foto-fotoku."
Kurt diam saja. Tentu saja. Publik ingin tahu seperti apa kegiatan putri walikota sehari-hari. Itulah mengapa foto-foto Lilo memenuhi majalah dan tabloid. Gadis itu konsumsi bagi publik. Apa yang dikenakan Lilo menjadi tren para remaja. Sesuatu yang dimakan Lilo akan menjadi viral. Dan walikota mengharapkan kesempurnaan Lilo di mata masyarakat. Namun Kurt tahu bahwa Lilo Dommer hanyalah remaja biasa. Tentu saja setelah dia membaca berkas yang berisikan data diri Lilo secara singkat. Lilo tak bedanya dari remaja lainnya yang tergila-gila dengan member boyband Korea, menyukai makanan manis dan menjadikan Nickelodeon sebagai saluran favorit.
Suara alarm dari tas Lilo berdering nyaring hingga Kurt secara sigap menjauhkan Lilo dari pemeriksaan. "Dia putri walikota. Tak ada senjata di dalam tasnya."
"Ya, kami tahu. Tapi sepertinya ada bahan logam di dalam tas Fräulein Lilo." Sang petugas tampak ragu saat menjawab. "Apa boleh kami periksa?"
Kurt menatap Lilo yang mengangguk. "Kau membawa barang apa..."
"Itu Lightstick BTS." Lilo menjawab dengan riang ketika sang petugas mengeluarkan barang yang dimaksud. Bahkan ada senyum kecil di sudut bibir si petugas saat mendengar jawaban polos Lilo. "Original dari Korea." Ia mendongak pada Kurt yang terdiam. "Aku Army." Lilo melanjutkan dengan berbisik.
Kurt ternganga mendengar jawaban Lilo serta barang yang menjadi objek di dalam tas Lilo. Ia mengetatkan rahangnya dan mendorong punggung Lilo agar berjalan di depannya. Demi Tuhan, Kurt tak tahu apa yang dibicarakan Lilo. Yang dipahami Kurt hanyalah nama dari lightstick tersebut. BTS. Itu adalah nama boyband kesukaan Lilo. Apakah Kurt benar-benar harus menghapal nama-nama anggotanya? Lihat saja, belum apa-apa, Lilo sudah melontarkan kalimat ajaibnya pada Kurt.
"Apa kau tahu apa itu ARMY?" Lilo mengalungkan kembali tasnya di bahu. Kali ini dia berjalan bersisian dengan Kurt yang tetap saja menjulang baginya. Laki-laki itu diam saja dan Lilo berjinjit. "Apa kau tahu apa itu ARMY?"
"Tidak." Kurt menjawab pendek. Ia mengarahkan Lilo pada jalur khusus untuk pesawat pribadi.
"Itu adalah nama fansclub BTS. Khusus fans BTS." Lilo berkicau dengan bersemangat.
Kurt menghela napas dan memutar kepala Lilo agar menatap lurus ke depan. "Ya. A.R.M.Y. Sekarang berjalanlah yang benar. Kau bisa tersandung dan apa yang di dalam perutmu akan terkejut." Dia sengaja menyindir Lilo dan harus melihat tawa lebar Lilo seraya gadis itu menepuk pelan perut ratanya.
"Oh, anak ini kuat. Tenang saja." Lilo terkekeh.
"Kau masih belum bisa menyebutnya anak jika di usia sekarang. Dia masih berupa embrio." Kurt menatap Lilo yang seketika bungkam. "Jadi? Berapa minggu usia kandunganmu?" ia bertanya dengan pelan.
Satu hal yang dilupakan Lilo adalah usia kandungannya! Dia membalas tatapan Kurt yang penuh selidik. Lelaki ini sama saja seperti Alois dan yang lainnya kan? Eh, bukankah barusan saja dia berhasil menghentikan para pemburu berita tadi? Dia tak mungkin sepintar itukan? Ayo, berpikir Lilo! Jawaban aman adalah...
Lilo tertawa dengan tampang tak berdosa saat menjawab Kurt. "Satu bulan." Lilo menoleh keluar pintu kaca. "Itu pesawatku." Dan dia berlari dengan cepat, yakin bahwa jawabannya sudah sangat aman. Di tangga pesawat telah menanti pilot yang akan membawanya ke Gruyere. Penerbangan tertutup itu sangat dirahasiakan tujuannya. Itu saja yang sukses dilakukan sang walikota demi menutupi jalur kepergian sang puteri.
Kurt melangkah lebar-lebar mendekati tangga pesawat, menjangkau lengan Lilo sebelum gadis itu menaiki tangga pesawat. "Hati-hati." ia mendapati sinar mata biru yang ceria dari Lilo. Satu persen meningkat lagi akan dugaan Kurt terhadap Lilo. Meski masih setengah dugaan, tapi Kurt percaya akan pikirannya sendiri. Lilo Dommer menyembunyikan sesuatu tentang "kehamilan" mendadaknya.
Lilo tidak mengada-ada ketika mengatakan bahwa benda yang sedang menunggunya itu adalah miliknya. Pertama kalinya bagi Kurt memasuki pesawat dengan segala isi dan perlengkapannya yang bernuansa pink. Ia sampai menggantung kacamatanya di ujung hidungnya yang mancung dan terngaga menatap lapisan dinding kabin yang dihiasi wallpaper pink serta pramugari yang memakai seragam tak seperti biasanya. Kurt bernapas lega ketika sang pilot masihlah mengenakan seragam normalnya sebagai seorang pilot. Matanya menatap seisi pesawat dan mendapati ketiga orang yang bersamanya sudah menduduki bagian mereka dengan bebas. Sejak kapan isi pesawat ini berubah serba berwarna pink?
Kurt mendengar salah satu pramugari memintanya untuk duduk karena mereka akan segera berangkat. Sebelum mengempaskan tubuhnya, Kurt melihat Lilo sudah duduk bersandar nyaman di bangkunya lengkap dengan televisi kecil yang siap menampilkan film atau rekaman musik apa saja untuk dinikmati dalam perjalanan beberapa jam. Gadis itu bahkan nyaris bertepuk tangan ketika melihat jendela dan menunggu roda-roda pesawat yang akan bergerak membawanya keluar dari Berlin.
Lilo mendapati Kurt masih berdiri diam di tengah lorong, menatapnya dengan pandangan aneh. Ia menyeringai. "Kau bisa duduk bebas di mana saja." tangannya bergerak menunjuk semua bangku kosong. "Kita akan segera berangkat."
Kurt kembali melihat rona merah muda di kedua pipi putih Lilo. Anak ini berpikir perjalanan ini adalah liburan. Perhatian Kurt mengarah pada sabuk pengaman yang belum terpasang di diri Lilo dan gadis itu sudah sangat girang, melupakan keamanannya sendiri.
"Ya, aku akan segera duduk di mana saja." Kurt memilih bangku di sebelah Lilo. "Di sampingmu." Ia menatap Lilo yang sedang menatapnya. "Aku khawatir kau terlempar ke luar jendela."
Lilo tertawa lebar. "Leluconmu lumayan." Ia menelengkan kepalanya. Bodyguard barunya ini memang memiliki tampang kecut dan tak ramah. Tapi Lilo merasa senang tiap kali berbicara dengan lelaki bersuara ketus itu. "Aku kan bukan Casper yang bisa tembus dinding." Dan dia bisa melontarkan lelucon lainnya pada Kurt.
Kurt mendengus keras, menggerakkan tangannya dan memasangkan sabuk pengaman Lilo dengan diam. "Ya, kau bukan Casper. Kalau sampai kau terlempar dari pesawat ini, maka gaji fantastisku akan melayang." Kurt membalas lelucon Lilo, menjentikkan jarinya tepat di wajah Lilo yang menyeringai lucu, "Enjoy your flight."
Lilo menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku, merasakan gerakan pesawat yang perlahan menuju landasan terbang. Ia menoleh ke samping, pada luar jendelanya. Pesawat semakin bergerak cepat, dengingnya mengusik gendang telinga namun Lilo mengembangkan senyumnya dengan lebar. Dia menatap keluar jendela, menatap pemandangan indah di bawahnya. Kota Berlin yang perlahan semakin mengecil dan semakin jauh dari pandangannya di antara awan-awan.
Perintah untuk melepaskan sabuk pengaman mengudara, membuat Lilo melepaskan benda yang mengungkungnya itu. Dia menempelkan kedua tangannya ke jendela dan berkata riang. "Indahnya!" ia menoleh Kurt yang tetap menatap lurus ke depan. Disentuhnya lengan baju lelaki itu, meminta perhatian.
"Pemandangannya indah!"
Kurt menoleh dan berguman pendek. "Itu hanya awan."
"Ya, aku tahu. Aku bisa berkata lantang bahwa itu indah!"
"Memangnya selama ini tidak bisa?" Cetus Kurt.
Lilo mengedikkan bahunya, menekan tombol televisi kecil di depannya. "Tentu saja tidak bisa. Ada Mama di sampingku, memasang penutup mata dan tidur. Dia tidak suka ada suara-suara di sekitarnya saat ia tidur." Ia memasang headphone yang terhubung pada televisi yang mulai memutar video musik boyband kesukaannya.
Kurt menatap LCD TV layar sentuh dan mengeluh melihat sekumpulan lelaki muda tampan sedang menari dan bernyanyi. Ia bahkan tak mendengar mereka bernyanyi apa karena Lilo sudah memasang headphone. Mendengar kalimat Lilo, Kurt memutuskan untuk membiarkan Lilo dengan kegembiraannya sendiri, perasaan bebas yang mungkin tak pernah dirasakan gadis itu.
Tanpa merespon kalimat Lilo, Kurt berencana akan duduk di bangku lain, bersama tiga orang lainnya dan memeriksa pesawat yang mengudara tenang itu. Selain itu ada hal lain yang menjadi pikiran Kurt. Apakah bunga dan tanamannya aman saja di bagasi selama berjam-jam?
Ketika Kurt bergerak hendak meninggalkan Lilo, ujung bajunya dipegang erat oleh Lilo. Dahinya berkerut dalam. "Ada apa?"
Lilo menyodorkan satu headphone pada Kurt yang menerimanya dengan bingung. "Pakai itu."
Kurt menatap benda di tangannya dan mulai curiga. Tatapannya terarah pada Tv yang menampilkan video musik boyband korea. "No, Lilo." Kurt menggeleng keras. "Aku ingin bergabung bersama Klaus."
Lilo tertawa dan sekali lagi menarik ujung baju Kurt. "Klaus pasti sudah mengorok. Nyonya Hedy akan merajut untuk membunuh bosan dan Nyonya Clotilda sedang berdoa dengan rosarionya selama perjalanan."
Kurt tidak percaya hingga dia menatap ketiga orang yang dimaksud Lilo. Itu kenyataan yang hebat bagi Lilo untuk memberi jawaban pada Kurt. Suara dengkur Klaus terdengar jelas, kepala Nyonya Hedy tampak tertunduk, Kurt bisa melihat gulungan benang di lantai pesawat, serta gumam lirih Nyonya Clotilda yang sedang berdoa.
"Tapi aku tidak mau memakai benda ini." Kurt bersikeras.
"Ya, kau akan memakainya. Bukankah tugasmu menjagaku? Maka kau tak boleh jauh dariku." Lilo terkekeh dan menghidupkan televisi bagian Kurt. "Aku sudah menyetel video yang sama."
Kurt mengetatkan rahangnya, duduk kembali di bangkunya namun tetap tak mau memakai headphone. Matanya nyalang pada televisi kecil di depannya. Dia mulai mengenali wajah-wajah asia yang tampan itu dan terkejut mendapati telunjuk Lilo mengarah pada layar.
"Itu V, Jimin, Jungkook, Rap Mon..."
"Iya, aku akan memakai headpohonenya asal kau menonton dengan tenang." Kurt memasang benda itu dan menoleh Lilo. "Keep silent." Lalu dia bersandar sambil melipat tangan di d**a, memejamkan mata dan membiarkan telinganya mendengar nyanyian asing di telinganya.
Lilo melihat Kurt yang melakukan apa yang dimintanya dan dia ingin berteriak pada lelaki itu, mengucapkan terima kasih karena bersedia meladeni kegilaannya. Lilo ingin ada yang menyadari kesukaan dan hobinya, berada di sampingnya meski orang-orang itu mungkin bosan padanya. Kini yang dimilikinya adalah Kurt dan tiga orang lainnya yang akan hidup bersamanya di desa asing. Lilo bahkan sudah menetapkan di hatinya bahwa dia akan menyukai mereka dan menyayangi mereka. Ia akan melupakan Berlin dan hal lain yang menyesakkan dadanya. Untuk sejenak. Lilo bisa menjadi remaja biasa. Meski di dalam kebohongan sekalipun, Lilo tak menyesalinya.
Ia melipat kedua kakinya dan mulai menggerakkan kepalanya mengikuti irama musik yang dinikmatinya, menerima cemilan dari pramugari dan membiarkan Kurt tidur di sebelahnya, dengan headphone dan musik video yang terus bergulir.
Kurt membuka matanya, melirik Lilo yang bernyanyi sumbang mengikuti musik yang didengarnya. Perlahan, tanpa disadari Lilo, Kurt menekan tanda mute pada televisi hingga dengan jelas Kurt mendengar suara nyanyian Lilo. Lilo terlihat gembira bahkan setelah gadis itu berada jauh dari ayah dan ibunya dan lingkungannya. Sedikitpun Lilo tak mencemaskan dirinya sendiri. Hal itu saja semakin membuat Kurt percaya bahwa Lilo melakukan hal yang mencurigakan. Lilo pasti tidak sedang hamil. Kurt akan membuktikan itu suatu hari. Namun, jika terbukti, apakah Kurt akan membawa Lilo kembali ke Berlin?
Kurt tidak tega membuat wajah ceria Lilo sirna. Setidaknya, ada kemungkinan kecil bahwa Lilo sungguh-sungguh "hamil" hingga gadis itu bisa menikmati sedikit kebebasan di luar Berlin dan lingkungannya. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang menghamili Lilo? Bukankah seharusnya walikota mencari tahu hal itu?
Kurt terlalu tenggelam dalam pikirannya hingga dia terkejut ketika bahunya seperti terantuk sesuatu. Dia menoleh dan ujung hidungnya menerpa puncak kepala berambut pirang di sana. Lilo ketiduran setelah puas melaksanakan konser dadakan. Tangannya terkulai begitu saja di paha Kurt dan bagian sebelah headphonenya terangkat dari sisi kepalanya. Terdengar dengkur halus diciptakan Lilo yang membuat Kurt menghela napas.
Perlahan, Kurt mendorong pelipis Lilo dengan ujung jari hingga gadis itu bersandar di bangku yang segera diatur Kurt dalam posisi berbaring. Dilepasnya headphone dari kepala Lilo, mematikan televisi dan menatap sejenak wajah belia yang pulas itu. Kurt merasa dia bukan lagi menjadi bodyguard melainkan berubah menjadi nanny.
"Sepertinya Fräulein Lilo akan membutuhkan selimut." sang pramugari muncul dengan membawa selimut hangat untuk Lilo yang segera disambut dengan senang hati oleh Kurt.
"Ya, dia akan membutuhkannya." Kurt berdiri, membentang selimut dan membungkukkan tubuh jangkungnya. Diselimutinya Lilo yang tampak bergerak perlahan, meringkuk nyaman di bangkunya.
Kurt berjalan sekitar kabin pesawat dan menyadari bahwa dengan kecepatan pesawat pribadi yang ditumpanginya, mereka akan sampai lebih cepat dari jadwal normal. Klaus begitu nyaman dalam tidurnya, Nyonya Hedy juga demikian. Hanya Nyonya Clotilda yang masih bertahan dengan sepasang mata terbuka. Kurt duduk di seberang perempuan itu.
"Tidakkah anda ingin tidur?" Nyonya Clotilda menegur halus.
Kurt menekan batang hidungnya. "Tidak. Aku harus tetap terjaga." Ia menjawab pelan.
"Sepertinya anda belum pernah menjaga Fräulein Lilo?"
"Ini pertama kalinya." Kurt berkata rendah. "Apakah anda guru di sekolahnya? Anak itu sangat aktif."
Nyonya Clotilda tersenyum. "Fräulein Lilo terkadang berbohong untuk mengelabui semua penjaganya. Pernahkah anda berpikir mengapa dia melakukan itu?"
Kurt menatap Nyonya Clotilda. "Yang kutahu dia suka kabur dari penjagaan."
"Karena dia ingin menjadi gadis biasa. Percayalah, banyak gadis memimpikan hidup yang dijalani Fräulein Lilo, tapi Fräulein Lilo justru ingin menjadi seperti mereka. Kuharap jauh dari Berlin dan kamera yang menyorotinya membuat Fräulein Lilo merasakan apa yang diimpikannya selama ini." Nyonya Clotilda membalas tatapan Kurt. "Kedua orang tua Fräulein Lilo bahkan tidak tahu bahwa anak mereka phobia pada sinar kamera yang kerap kali menyorotinya. Fräulein Lilo bisa memotret dirinya sendiri namun tak bisa difoto oleh seseorang. Sinar kamera paparazzi yang selalu memerangkapnya selalu membuatnya gemetar, namun ia selalu tersenyum dan melambai ketika menghadapi mereka."
Kurt terdiam mendengar kalimat Nyonya Clotilda. Dia menekan lengannya di kedua lututnya. Itu adalah informasi terbaru yang didengarnya tentang Lilo. "Mengapa anda begitu detail mengetahui hal itu? Apakah Lilo menceritakannya pada anda?"
Nyonya Clotilda memegang erat rosarionya. "Di musim panas tahun lalu, Fräulein Lilo pernah memasuki kelasku dengan wajah pucat dan hampir menangis. Dia berkata padaku, "Tolong, jangan biarkan mereka memotretku, Lehrer*Clotilda. Saat itu teman sekelasnya ingin membuat album kelas dan meminta semuanya berjejer di depan kelas, memaksa Fräulein Lilo pada barisan depan. Aku bahkan baru tahu bahwa dia berjuang keras setiap kali berhadapan dengan sinar kamera paparazzi, dia hanya yakin bahwa penjaga-penjaganya akan menghalau semua itu meski pada kenyataannya, men in black itu hanya memberi jarak saja." (Guru*)
Kurt baru mengerti alasan Lilo bertepuk tangan di bandara saat ia menghentikan semua orang yang ingin memotret Lilo. Gadis itu merasa senang sekaligus aman. Ia menekan batang hidungnya. Menyedihkan, desah Kurt dalam hati. Ia menatap langit indah di luar jendela pesawat yang akan membawa mereka pada satu desa kecil yang jauh dari jangkauan paparazzi.
Sebuah tepukan halus dirasakan Lilo sebelum ia membuka matanya lebar-lebar. Wajah keibuan Nyonya Clotilda menerpa penglihatan Lilo. Perempuan setengah baya itu tersenyum dan berkata lembut.
"Kita sudah sampai di bandara Bern, Fräulein Lilo."
Lilo mencelat bangun, menyibak selimut dan melihat ke jendela. Sebuah pemandangan yang asing bagi Lilo tercetak nyata. Langit tampak berwarna kelabu dan bandara itu terlihat luas. Dia sudah sampai di Swiss dan selama itu dalam keadaan tidur? Lilo mendapati bahwa semua perlengkapannya telah terkemas dengan baik, di belakang Nyonya Clotilda terlihat Kurt yang sudah berdiri tenang, siap dengan kacamata hitamnya.
"Bukankah kita akan ke desa Gruyere?" Lilo lebih bertanya pada Kurt saat dia berdiri, memberikan tasnya pada Klaus.
"Ya, dari Bern kita akan naik kereta express ke Frisboug setelah itu naik bus ke Gruyere." Kurt menjawab tenang seraya membuka catatan di ponselnya. "Demikian rute yang akan kita tempuh berdasarkan keterangan Edith. Aku sudah mempunyai tiket secara online yang dipesan oleh Edith."
"Memangnya pesawatku tidak bisa langsung ke Gruyere?"
"Tidak. Di sana tak ada landasan pesawat."
"Oh." Lilo baru tahu. Dia akan naik kereta api dan melanjutkan perjalanan dengan bus. "Barang-barang kita?"
"Akan diantar melalui expedisi secepatnya ke Gruyere." Kurt menjawab santai, membiarkan ketiga orang lainnya mendahuluinya menuju pintu keluar."Kenapa?"
Lilo mengerjabkan matanya. Ini pengalaman pertama. Dia membuka tas kecilnya, mencari sesuatu di dalamnya. Sebuah kacamata berhasil dikeluarkannya dan dipasangnya di wajahnya. "Ayo." Dia tertawa pada Kurt.
"Untuk apa kacamata bening itu? Kau bahkan tidak membutuhkan kacamata saat membaca."
"Ini untuk menyamar." Lilo menjawab polos.
"Menyamar?" Kurt mengerutkan dahinya.
"Nanti ada paparazzi."
Saat itu mereka sudah mencapai pintu keluar dan bersiap menuruni tanggga. Sejenak Kurt terdiam sebelum dia melebarkan senyumnya.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Lilo bertanya heran, merasakan udara sejuk menerpa kulitnya.
Kurt menuruni satu tangga dan meraih kacamata yang dikenakan Lilo. Dia mendengar suara protes Lilo. Disimpannya benda itu di dalam saku jaketnya. "Tak ada yang mengenalimu di sini, Lilo. Kau tak bedanya seperti gadis remaja lainnya. Bukankah itu yang kau inginkan selama ini?"
Lilo menatap Kurt yang tengah menatapnya. Dia mengedarkan pandangannya di lapangan udara itu. Udara yang berbeda. Suasana yang lain dari Berlin. Wajah-wajah tak dikenal. Tak ada paparazzi. Tak ada sorot kamera. Hanya ada dirinya dan Kurt serta ketiga orang yang akan bersamanya.
"Aku tak perlu menutupi wajahku? Tak ada paparazzi?"
Kurt tersenyum tipis. Dia jarang tersenyum pada orang lain. Apalagi kepada bocah seperti Lilo. "Ya, tak ada paparazzi. Tak ada kamera. Yang ada hanya kau, aku, Klaus, Nyonya Hedy dan Nyonya Clotilda. Oh, kau juga akan menaiki kereta api dan bus."
"Aku bisa melakukan apa saja?"
"Jangan lupa kau sedang hamil." Kurt menyindir.
Lilo tertawa. "Oh, iya. Aku sedang hamil." Dia melangkah menuruni tangga dengan lincah.
"Hati-hati." Kurt menyamai langkah Lilo.
Lilo menoleh Kurt. "Bukankah ada kau? Itulah mengapa kau ada di sini bersamaku."
Kurt memerhatikan Lilo yang tersenyum lebar. Dia memasang kacamatanya. "Iya. Karena aku adalah bodyguardmu."