Di Kantor

1211 Kata
“Ghista,” panggil Chika saat Ghista menerima telepon dari klien. Ghista mengacungkan jari telunjuk, ibu jari dan jari lainnya menekuk menandakan tunggu sebentar.  “Baik, Pak. Nanti hari sabtu, di Mal SenCy jam satu siang, ya? Baik. Selamat siang.” Ghista menutup teleponnya, lalu menghadap Chika yang berdiri di sebelahnya. “Ada apa?” Tangannya tetap mencatat jadwal pertemuannya dengan klien nanti hari sabtu.  “Ada film bagus, nih. Nonton, yuk!” ajak Chika dengan semangat ’45 sembari menodongkan ponselnya ke arah Ghista. “Lo ‘kan tau gimana gue, Chik. Males, ah.” Ghista acuh tak acuh terhadap ajakan Chika.  “Hidup itu sesekali harus merasakan yang namanya piknik, me–refresh otak biar nggak tumpul. Apa lagi kerjaan lo numpuk kayak setrikaan. Jadi bolehlah sesekali jalan-jalan.” Chika duduk di meja sebelahnya.  Ghista menaruh bolpoinnya, lalu menatap Chika yang duduk di meja sampingnya. “Itu tau. Gue nggak mau bikin nyokap gue nangis.” Lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.  “Ya elah, timbang warna merah doang, mah, gue sanggup nraktir lo. Tenang aja!”  Ghista meletakkan bolpoinnya lagi, lalu berdiri mendekat ke Chika memegang kedua pundaknya. “Bukan masalah warna merah, ataupun biru. Tapi, gue nggak mau uang lembur gue ilang gitu aja karena buat nonton sama lo. Udah, ya, gue mau ke Pak Janta dulu,” ucapnya lalu mengambil map di mejanya dan meninggalkan Chika sendirian.  Tok tok tok. Ghista mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan Janta.  “Iya, masuk!”  Ghista masuk dengan membawa buku catatannya untuk bertemu dengan beberapa klien minggu ini dan map yang berisi soal keuangan perusahaan. Dirinya men–double pekerjaan agar mendapat lemburan.  “Ini, Pak!” Ghista menyerahkan mapnya. “Ini soal keuangan kita, dan tim Marketing nanti akan ikut dengan saya satu orang. Hari sabtu, jam satu siang ke Mal SenCy.” Ghista masih berdiri di depan meja Janta.  Janta membuka mapnya. “Baiklah. Ada lagi?” Membaca sebentar lalu menutup map, dan menaruhnya di meja. “Duduk, Ghis! Kayak sama siapa aja,” goda Janta.  Janta adalah atasan sekaligus pemilik Wedding Organizer tempat Ghista bekerja. Ia adalah pria yang tampan, humble, menyukai Ghista, dan pekerja keras sama seperti Ghista.  Ghista lalu duduk. “Untuk yang Marketing–nya, Pak? Siapa?”  “Saya juga bisa. Marketing nanti hanya menjelaskan tentang penjualan kita, ‘kan?”  “Tapi, Pak. Biasanya Chika yang ikut dengan saya.”  “Enggak apa-apa, nanti biar Chika urus yang lain aja. Kamu sama saya buat ketemu klien. Nanti biar kita bisa berduaan, ‘kan pas malam minggu.” Janta terlihat memaksa agar Ghista mengiyakan apa yang Janta kehendaki. Di sini dia bos dan Ghista hanya bawahan. Jadi, Ghista hanya bisa menjawab iya.  “Baik, Pak. Saya permisi,” pamit Ghista setelah mengambil mapnya sebelum Janta semakin melantur ucapannya.  “Sebentar!”  Ghista yang sudah berdiri, kembali duduk. “Ada apa, Pak?”  “Dekorasi nanti kita pindah vendor, untuk yang kali ini lebih bagus dan leih baik pelayanannya dari pada sebelumnya, jadi untuk harga kita naikkan lima persen. Nanti kamu bilang ke Tim Dekorasi agar mereka mengerti dan paham. Jelaskan juga kalau perlu!”  “jelaskan gimana, Pak? Saya, ‘kan, belum ngerti apa yang harus dijelaskan. Gimana saya jelasin ke mereka?”  “Kamu adakan rapat kecil, lalu jelaskan ke mereka kalo vendor kita akan ganti dan harga akan naik—.”  “Kenapa enggak Bapak aja yang bilang ke mereka? ‘Kan, lebih jelas dan paham pastinya, Pak?” sela Ghista.  “Saya akan ada urusan nanti, jadi kamu saja, ya? Saya akan kirim ke email untuk daftar harga terbarunya nanti.”  “Baik, Pak. Ada lagi?” tanya Ghista sebelum meninggalkan ruangan Janta.  “Tidak ada. Oh, iya. Ini tolong fotokopi, ya!” Janta memberikan satu lembar data klien untuk rapat siang nanti bersama vendor.  “Baik, Pak. Saya permisi,” pamit Ghista meninggalkan ruangan Janta.  Suara sepatu pantofel abu-abu usang yang nyaris tak terdengar dengan celana di atas mata kaki berwarna hijau army membungkus kaki Ghista yang berjalan bak model di atas cat walk menghampiri Dian, kepala bagian tim dekorasi.  “Dian, nanti setelah jam makan siang ada rapat kecil, ya!” ucap Ghista saat tiba di depan meja kerjanya.  “Huh? Biasanya Pak Janta yang ngajak rapat, kok, sekarang elo?” kagetnya. Pasalnya, setiap rapat bagian tim dekorasi Janta yang akan selalu memimpin.  “Iya. Pak Janta lagi ada urusan, makanya nyuruh gue buat mimpin rapat nanti. Jangan lupa, ya! Gue mau balik ke meja gue dulu,” pamitnya.  “Ciyeee.... Yang bakal jadi Bu Bos nanti, rapat udah bisa diwakilkan, nih,” goda Dian.  Dian dan karyawan yang lain tahu jika Janta menyukai Ghista. Sejak Ghista masuk, dan bekerja di TWO, Tata Wedding Organizer, Janta selalu mencuri pandang pada Ghista dan itu diketahui oleh karyawan yang lain. Ghista sendiri selalu cuek dan acuh tak acuh pada Janta dan itu membuat janta selalu terlihat jika meminta perhatian pada Ghista.  “Apaan, sih. Jangan suka bikin gosip!” Ghista lalu ke mejanya untuk mencetak daftar harga yang dikirimkan Janta tadi kemudian ke tempat fotokopi yang berada di ruang pantry.  “Digosok makin sip, itu tandanya makin diadu makin panas,” teriak Dian karena Ghista telah berjalan ke depan. Ghista tak mau mendengarkan, ia cuek saja berlalu tanpa menghiraukan ucapan Dian.  Tata letak atau luas ruangan ini sama seperti rumah pribadi. Dengan ruangan utama, ruangan Janta yang tertutup namun berkaca besar membuat ruangan tersebut terlihat dari luar. Ruangan Ghista paling pinggir dekat dengan pintu masuk.  “Yan, Ghista ke mana? Kok nggak ada?” tanya Chika yang baru saja keluar dari toilet.  “Lagi di pantry kali, tadi keliatannya kalo mau fotokopi,” jawabnya sambil mengirim chat kepada timnya untuk rapat kecil nanti siang.  “Oh. Mau makan di mana nanti? Betewe, ada warung bakso baru buka, lho. Yang di ujung jalan, kanan jalan kalo dari sini.”  “Oke, kuy. Kita ke sana. Nanti Ghista juga pasti ngikut.” Chika manggut-manggut lalu ke mejanya untuk membereskan map-map yang berantakan.  “Nanti siang rapat kecil sama Ghista, ya, Yan. Saya tidak bisa memimpin soalnya ada rapat juga sama klien. Harusnya Ghista ikut, tapi di kantor dia juga sibuk.”  “Rapat kecil bisa nanti-nanti, ‘kan, Pak? Bapak ajak aja Ghista, sekalian keluar berdua. Yang seharusnya menangani klien, ‘kan, Ghista, Pak, bukan Bapak,” bujuk Dian.  Chika menyahut, ia tahu jika Janta memang ingin Ghista ikut, namun ragu untuk mengajak. “Bener, tuh. ‘Kan, kerjaan dia emang menerima klien, rapat sama klien juga.” Chika ikut mengompori.  “Tidak apa-apa kalo saya ajak Ghista? Masalahnya di kantor tidak ada orang.”  “Ada kami berdua, Pak,” ucap Chika, meyakinkan. Dian hanya manggut-manggut menyetujui.  “Baiklah, kalo begitu. Nanti suruh ke ruangan saya, ya!” perintah Janta, lalu kembali masuk ke ruangannya.  Dian dan Chika bersorak senang dalam hati melihat idenya membujuk Janta berhasil sambil mengacungkan jempolnya.  Kabar tentang Janta yang menyukai Ghista memang sudah menjadi rahasia umum, namun Ghista selalu menampiknya. Ia hanya fokus dengan kerja dan kerja terus.  “Kalian kenapa ketawa-tawa, begitu?” tanya Ghista yang telah selesai fotokopi. Ia memberikannya pada Dian data tentang perubahan harga Dekorasi.  “Bukan apa-apa. Lo ditunggu Pak Janta di ruangannya.” Chika yang tadinya berdiri di dekat meja Dian, kembali ke mejanya.  “Ada apa?” tanyanya sambil menengok ke Dian.  “Udah, sana aja! Kita juga nggak tau ada apa. Mau ngelamar lo mungkin,” ceplos Dian. Ghista sudah melotot padanya. “Becanda.” Dian mengacungkan jarinya berbentuk V.  “Yaudah, gue ke sana dulu,” pamit Ghista berlalu ke ruangan Janta.  Chika dan Dian hanya tersenyum melihat Ghista masuk perangkap.  Ghista mengetuk pintu.  “Iya, masuk!” ucap Janta dari dalam ruangannya.  “Ada apa, Pak? Tadi kata Dian, Bapak manggil saya?” Ghista masih berdiri di depan meja Janta.  “Duduk dulu, Ghis. Nggak akan di suruh bayar, kok, duduk di kursi itu.” Ujar Janta santai.  Ghista lalu duduk. Menunggu Janta berbicara. Ia sedang mengoperasikan laptopnya. “Bentar, ya!” tutur Janta.  “Iya, Pak.”  Ghista menunggu lima menit, Janta sesekali mencuri pandang terhadap Ghista. Namun, Ghista hanya memainankan jarinya di atas pangkuan tanpa melihat ke Janta. Ia benar-benar merasa seperti akan naik panggung saat dirinya belum siap menampilkan pertunjukan. Grogi.  “Oke. Ghis, ikut saya bertemu klien hari ini, ya!” ucapnya setelah mematikan laptopnya. Laki-laki itu langsung mengajak orang yang ia cintai beberapa tahun belakangan ini mengikutinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN