CVC 53. Semua Karena Cinta

2132 Kata
Apakah salah ia mendekati perempuan yang ditaksir sahabatnya? Toh Aaron punya banyak teman wanita, tidak pernah terlibat hubungan serius, dan memiliki prinsip hidup yang bertentangan dengan Elliana dan keluarganya. Ibaratnya, jika Aaron tidak mendapatkan Elliana, ia akan cepat move on. Gabriel memandangi Elliana yang berdandan sebagai Cassandra, makan dengan dua tangan, mengubit kecil daging cumi balado lalu menyuapnya bersama nasi. Ia juga sama, makan pakai kedua tangan masakan Padang yang pedas oleh sambal hijau sampai mendesah- desah. Rambut Cassandra yang terjuntai di pipi mengganggu makannya. Tangannya berlepotan bumbu makanan, sehingga tidak bisa membenahi rambutnya. Ia berusaha menyibak rambutnya pakai lengan. "Sini saya benerin rambut kamu, Ell," ucap Gabriel. Cassandra terpana, tetapi tidak berpikir panjang. "Iya, Pak. Maaf ngerepotin Bapak." Ia mencongkan kepala ke arah Gabriel dan pria itu merapikan helaian rambutnya ke belakang telinga pakai jari kelingking yang bersih dari sisa makanan. Kemudian ia lanjut makan daging rendang plus jengkol yang empuk bak hati sapi, ditambah paru goreng. "Hati- hati, Pak, cipratan bumbunya kena kemeja Bapak," tegur Cassandra. Gabriel menunduk melihat bajunya. Ternyata beneran kena di bagian da.da dan nodanya cukup mencolok. "Wah, payah nih!" Cassandra terkikik seraya meraih sekitak tisu dan menyodorkannya pada Gabriel. Pria itu mengelap sedikit sisa noda. "Apa sekarang giliran saya nyuciin baju Bapak?" canda Cassandra. Gabriel memicing curiga. "Saya gak yakin kamu ngerti cara cuci baju bahan begini?" "Eh, Bapak jangan salah, yaa. Saya tau kok soalnya saya punya banyak baju branded, Pak. Nyucinya harus ekstra hati-hati. Sama tas- tas dan sepatu juga." Gabriel memperhatikan hal tersebut, tetapi terasa kontras dengan keseharian Elliana yang serampangan. "Kamu suka belanja barang- barang branded?" "Hidiih, nggak lah, Pak. Saya gak segitu- gitunya. Kalau tau harga tas semahal itu saya mikir uang sebanyak itu saya bisa beli sesuatu yang lebih faedah. Barang- barang, baju, aksesoris, bahkan apartemen ini bukan punya saya, Pak. Semuanya punya Tante Elly, adik almarhum Bapak saya. Tante Elly tinggal di Perancis sama suaminya orang sana dan kerja di bidang fashion gitu, jadi dia kerap dapat kiriman atau hadiah dari fashion line mewah. Kosmetik juga. Saya ditugasin jaga apartemen ini sama sisa kucingnya Tante, si Moses dan Anais." "Ooh, begitu." "Eh, tapi ada juga yang dikasih Mister Cheng sama saya beli sendiri ada, tapi gak mahal- mahal amat." "Mister Cheng itu ... gimana kamu bisa kenal beliau?" "Dari Kak Ros dan kebetulan Mister Cheng waktu itu pernah kena serangan jantung pas lagi di vila peristirahatan dia. Saya 'kan diajak melukis di sana. Di pegunungan gitu, Pak. Gak ada sinyal. Pas kami berduaan aja, saya terpaksa memanggul beliau keluar vila mencari bantuan." "Ooh, seru juga, ya?" "Seru? Ih, saya takut, Pak kalo Mister Cheng kenapa- napa, bakalan dibantai anak buahnya. Hahaha ...." "Kamu ... kayaknya apa- apa ada kejadian, semua serba spontan gitu ya?" "Lah, memangnya mesti gimana, Pak? Kadang saya lagi keasyikan ngayal mau gambar apa jadinya ya kadang tiba- tiba aja." "Riwayatnya kamu bisa jadi Cassandra, gimana?" Cassandra memanyunkan bibirnya sesaat, berusaha mengingat awal- awal ia menjadi Cassandra. "Kalau soal dandan sih, kan karena sering ikut nari dan main kostum, saya banyak tau cara- cara edit wajah itu dari situ, Pak. Kalau jadi Cassandra ini ... saya mau jadi pelukis, Pak, tapinya ibu saya gak dukung, trus saya coba aja tawarin lukisan dengan dandan jadi Cassandra kayak SPG gitu kan cantik- cantik tuh, Pak. Eh, cepet lakunya. Tapi gak enak juga digodain om- om, makanya abis itu saya coba promo lewat i********: aja, Pak. Kebetulan ketemu Kak Ros dan dia suka work saya dan memanajeri saya." "Ooh, jadi ibu kamu gak tau kamu jadi Cassandra?" "Yah, gitulah, Pak." Tak terasa, makanan mereka habis ludes. Bahkan nasi tambahnya juga turut dihabiskan. Tersisa menghabiskan es dawet yang menyegarkan serta menghilangkan rasa pedas nasi padang. Sama- sama menyedot minuman tersebut, keduanya bersandar bersisian di sofa menghadap televisi. "Jadi, antara karier di Novantis sama melukis, yang mana yang bakal kamu utamakan?" "Saat ini sih ... dua- duanya." "Kalau kamu menikah?" Cassandra merengut. "Saya rasa sewajarnya menikah tidak menghentikan perempuan menjalankan pekerjaannya ataupun hobinya." "Kamu takut disuruh berhenti oleh suamimu nanti?" Gadis itu mengangguk tegas. "Iya. Ibu saya mau ngejodohin saya. Tapi saya gak berani masih nemuin orangnya, Pak. Saya takut ngecewain orang itu. Saya gak asli cantik sih, punya kelakuan nyeleneh juga. Gimana kalau saya dicibirnya? Kalau saya gampar orangnya 'kan bisa berabe urusan. Saya gak mau liat ibu saya minta maaf karena hal yang tidak sepantasnya." Gabriel tertawa kecil, tetapi hatinya terenyuh. "Iya, kamu barbar sih." "Nah, iya 'kan? Kelakuan saya malu- maluin aja 'kan, Pak?" cebik Cassandra. "Gak gitu, Ell. Bagi saya kamu gak malu- maluin. Kamu pemberani dan kalau jadi suami kamu, saya bakalan bangga sama kamu." Cassandra sontak menoleh pada Gabriel. Wajahnya merona merah. "Eh, seriusan? Bapak nih kalau muji jangan keterlaluan dong, Pak. GeEr saya jadinya. Ntar saya naksir sama Bapak gimana?" Gabriel balas menatap dengan sorot lembut juga sedikit menyelidik. "Kamu naksir saya?" Cassandra buru- buru memalingkan wajah dan menyeruput es dawetnya perlahan- lahan. "Eh, ya enggak lah, Pak. Itu tadi 'kan cuma pengandaian." Gabriel ingin menggoda lagi, akan tetapi tidak ingin suasana akrab yang sudah terbangun rusak gara- gara ia terlalu nafsu. Ntar dia gak bisa merekam Cassandra melukis. Ia bangkit dari sofa dan ke dapur membawa gelasnya. "Saya udah selesai nih. Mau disetting di mana kameranya ntar? Biar saya siapin." Cassandra tergagap. "Eh, iya, Pak. Bentar." Lalu segera menghabiskan sisa minumannya. Di studio lukisnya, ruangan yang banyak kanvas- kanvas kosong bersandar, Cassandra menunjuk salah satu sudut ruangan tempat Gabriel bisa mengambil gambar permulaan. Gabriel memeriksa kamera dan pencahayaan sementara Cassandra ke kamarnya sebentar buat membenahi dandanan. Ia kembali dengan tatanan rambut membentuk gelungan kecil di puncak kepala. Mengenakan baju kaos ketat dan celana pensil, Cassandra terlihat bersahaja, seksi yang manis, cukup menyegarkan penglihatan penontonnya. Rekaman itu hanya untuk dokumentasi pembuatan lukisan. Nantinya bisa diedit jika diperlukan buat konten. Gabriel diam saja selama mengambil gambar. Ia tidak ingin mengusik konsentrasi Cassandra. Gadis itu memasang kanvas besar di tiang penyangga, kemudian duduk di bangku bar dengan santai dan bicara pada kamera. Cassandra berusaha mengabaikan kehadiran Gabriel. "Hai gaes, kali ini aku akan membuat lukisan pesanan Valentino De Dimer, CEO Diva Cosmetics, untuk proyek dekorasi kantor beliau. Temanya akan seputar bunga- bunga yang mekar saat musim semi di Spanyol. Mari kita mulai!" Casandra turun dari bangku, menyetel musik berirama gitar Spanyol dan tarian flamenco yang seksi. Romantis sekaligus eksotis. Apalagi petikan dawai gitar diikuti bunyi kastanyet, bagai debar- debar dan desir aliran darah. Seperti kebiasaannya, jika musik sudah menyatu padu dalam goresan pena ataupun kuasnya, Cassandra mencampur warna, menciptakan kehidupannya sendiri di atas kanvas. Gabriel menikmati setiap gerak olesan tangan indah itu, kemudian lekukan tubuhnya. Kadang ia menyapu keringat di lehernya dengan punggung tangan, tidak memedulikan ada cat melengket di sana. Gabriel benar- benar menjadi kru kamera yang efektif. Ia tidak membuat suara atau bicara apa pun. Ia mengambil gambar dari berbagai sudut jauh dan dekat tanpa mengganggu Cassandra. Ia menjaga baterai tercukupi dan memori penyimpanan yang memadai. Soalnya melukis tidak sebentar. Perlu waktu berjam- jam. Tanpa perlu diminta Cassandra, ia sudah menyiapkan kopi mocca latte kesukaannya dan juga rokok. Lukisannya 'Spring in Spain' selesai. Cassandra membuka gelungan rambutnya sehingga terurai berantakan dan berbaring di lantai, telentang menatap langit- langit. Ia menyesap dalam rokoknya lalu mengembuskan asap putih. Gabriel menyapanya sambil membawa kamera dan mendekat perlahan. "Sudah selesai, Ell?" Cassandra tidak menoleh karena pikiran masih meredam penghayatannya. "Jam berapa sekarang?" gumamnya. Gabriel melihat ke jam tangannya. "Jam 01.15, Ell." Cassandra terperangah. "Hah? Sudah semalam itu?" Ia bangun dan duduk mengesot di lantai, memandangi Gabriel dengan mata nanar karena kelelahan. "Wah, Bapak jadinya kemalaman. Bagaimana ini?" Gabriel tertawa kecil. "Ell, saya laki- laki. Udah dewasa pula. Biasa aja kali." Cassandra tersipu. "Eh, anu ... mmm maksud saya, ya justru itu, Pak. Mmm ...." Gabriel segera tanggap. Ia menyerahkan kamera seukuran ponsel itu ke tangan Cassandra. "Ya, ya, saya tau kamu gak enak karena kita bukan muhrim. Ya saya paham kok. Oke, karena sudah selesai, saya pulang ya?" Gabriel merapikan sedikit barang, kemudian mengumpulkan ponsel, kunci mobil, dan dompetnya yang ditaruh di nakas, memasukkannya ke dalam saku celana. Cassandra memanggilnya ragu- ragu. "Ngg ... anu, Pak, itu ...." Gabriel menoleh padanya. "Ada apa?" "Kemeja Bapak lepas aja. Itu kotor bekas makan sama kena cat saya juga. Ntar saya cucikan." "Oh. Oke." Dengan tangkas Gabriel membuka kancing kemejanya dan melepas baju itu, menampilkan tubuh kekarnya yang bergaris bak kavelingan tanah. "Nih," ujarnya sambil menyodorkan kemejanya ke arah gadis yang memintanya. Cassandra jadi salah tingkah dan tersipu sendiri, tanpa sadar membasahi bibir lalu menggigitnya. Rasa- rasanya tubuh sepanas itu sudah sering terbayang- bayang olehnya. Matanya berusaha menghindari memelototi tubuh Gabriel, tetapi tetap saja melihat curi- curi. Ia bergegas melangkah dan menyerobot baju itu. "Iya, Pak, makasih." Cassandra keluar dari kamar studio. Gabriel mengiringinya. Ia gelagapan sendiri karena Gabriel mengekornya sangat dekat. Sambil terus berjalan menuju ruang cuci, ia menanyai Gabriel. "Bapak teh mau apa ngikutin Ell?" "Ell, saya cuma pakai ginian. Saya mesti keluar dari apartemen kamu tanpa baju? Apa kata dunia?" Cassandra menepuk jidatnya sendiri lalu mengetukkan kepala ke dinding. "Isshh. Duh! Dah kacau otakku." Ia menghadap Gabriel sambil tertunduk dalam menghindari memelototi da.da bidang Bapak Gabriel, tetapi malah melihat gundukan di bawah kepala sabuknya. Cassandra sekali lagi menepuk jidatnya sekalian melindungi pandangannya dari pengumuman syahwat. Laki- laki. Mungkin ini jam mereka bangun. Apakah itu si Ulil? By the way, kenapa nama lucu itu bisa terpikir? Ia merasa kek pernah mendengar sebelumnya. Gabriel berkacak pinggang dan menatap curiga. Ia menyadari kelelakiannya bangun dan membiarkan Elliana salah tingkah sendiri. Gadis itu melangkah hati- hati menjauhinya, karena sambil menutupi mata. "Bentar, Pak, saya ambilkan baju kaos di kamar," ujar Cassandra, kemudian berlari kecil ke kamarnya. Di lemari ada baju kiriman desainer buat suami Tante Elly, masih berkemasan. Ia kembali menemui Gabriel lagi dan menyodorkan kaos polo dalam wadah dengan kedua tangan dan kepala tertunduk dalam. "Nih, Pak, baju gantinya." Gabriel menerima baju itu dan mengenakannya saat itu juga. "Kamu kenapa, Ell? Kok gak mau liat saya? Bukannya waktu itu kamu liat Aaron b***l, kamu biasa aja," tuding Gabriel membecandainya. Gabriel berlama-lama memasang kaos itu agar perut sixpack nya masih terbuka untuk dinikmati. "Eh, gak papa, Pak. Ehmm, Bapak Aaron kemaren 'kan model, Pak, jadi ... kayak biasa aja." "Jadi, saya nih, gak biasa di mata kamu?" Cassandra menepuk jidatnya lagi. "Haiss, bukan begitu." Diliriknya sekilas, Gabriel sudah pakai baju, jadi Cassandra buru- buru ke belakang Gabriel dan mendorongnya ke pintu depan. "Pokoknya Bapak pulang aja deh, ntar saya khilaf, bahaya, Pak." Gabriel tertawa dikulum. "Ell, Ell, ada ada aja kamu. Emang khilaf gimana sih?" Cassandra mendorongnya makin cepat. "Aaaah, Bapak ini pura- pura gak ngerti aja. Ntar kayak film- film Hollywood itu loh, Pak. Ah, udah deh, Bapak tau aja pasti. Jangan bikin saya makin malu lah, Pak. Saya masih pemula." Gabriel tertawa lepas. "Gak papa, Ell, ntar saya ajarin," godanya lagi. "Iiiih, Bapak Gabriel, ngeselin deh ah!" pekik manja Cassandra. Ia mendorong Gabriel keluar apartemen dan menutup pintu keras di depan wajah pria itu. Cassandra tersandar di balik pintu memegangi dadanya yang berdebar kencang. Ia terkejut ketika pintu mendapat ketukan keras dari luar. "Ell, bukain pintunya dong, Ell!" teriak Gabriel. Cassandra balas berteriak. "Pak, jangan teriak, ntar kedengeran penghuni lain bisa dimarahin. Bapak cepet pergi aja deh!" "Ell, gimana saya gak teriak kalau kamu gak bukain pintu?" sahut Gabriel. Cassandra membuka pintu dan berujar gusar karena malu. "Apaan sih, Pak?" Gabriel berujar tenang. "Ell, sepatu saya masih di dalam. Kamu mau saya jalan gak pake alas kaki?" Cassandra terbelakak melihat kaki nyeker Gabriel. "Hah?" Buru- buru ia masuk ke dalam dan mengambilkan sepatu Gabriel dengan kepala tertunduk dalam. "Duh, maafin saya, Pak. Bener- bener, saya jadi serba salah ini." Gabriel tersenyum tipis dan mengenakan sepatunya di depan pintu. "Udah, gak papa, Ell. Saya maafin kamu kok." Ia mengacak gemas puncak kepala Cassandra. Gadis itu mendongak dengan wajah melongo terpana. Gabriel berujar santai seolah tadi bukan apa- apa. "Dah larut malam. Kamu cepet tidur ya. Besok kamu harus masuk kerja loh, kalau gak, saya gak akan menolerir lagi kerjaan sampingan kamu ini." "Iya, iya, Pak." "Saya pulang, ya? Met malam, Ell." "Iya. Met malam juga, Pak. Hati- hati di jalan." Gabriel beranjak dari situ dan mendengar gadis itu gerasak-gerusuk masuk ke dalam. Pastinya dia gelagapan ingin segera tidur. Sepanjang perjalanan menyetir mobilnya, menikmati jalanan lengang dan keheningan malam, Gabriel tidak henti tersenyum. Membayangkan tingkah Elliana yang malu- malu kucing, semakin besar dugaannya Elliana sudah ada rasa padanya. Ia berharap rasa itu semakin dalam, karena ia juga akan memupuk rasa yang sama jika perasaan cinta ini bersambut. Di satu sisi dari sang pria berlabel malaikat, sedang berbunga-bunga bahagia. Di sisi yang berseberangan, ada si biang penggoda yang sedang menebus dosa dengan memasrahkan dirinya didera rasa sakit yang luar biasa. Semua karena alasan yang sama, yaitu cinta pada sang Cassandra. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN