Bab 4 - Jangan Pergi

1212 Kata
              Rutinitas setiap pagi di rumah besar Gama Alexander Barack adalah sarapan bersama, tapi kali ini Sesil sengaja melewatkannya. Ia sengaja berangkat pagi-pagi sekali untuk melakukan interview di salah satu rumah sakit swasta di ibu kota. Padahal sudah berulang kali sang Daddy menyarankan ia untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi Sesil menolak ide tersebut. Gama sadar bahwa sifat keras kepala yang dimiliki gadis itu diwariskan oleh dirinya sendiri.               “Lalu apa rencana kalian?” tanya Gama langsung pada intinya.               “Maksud Daddy?” tanya Zayn tak mengerti.               “Cepat atau lambat kehamilan Sania akan diketahui publik. Lalu apa yang akan kamu lakukan kali ini? Bukankah kamu selalu melindunginya?” tanya pria paruh baya itu datar.               “Daddy memata-matai Sania!” tebak Zayn terkejut.               “Segala sesuatu yang menyangkut anak Daddy akan Daddy selidiki.”               “Apa ini karena Sesil?”               “Karena kamu anak Daddy. Masalah Sesil kamu tak perlu khawatir, secepatnya Daddy akan mengirimnya ke luar negeri.”               “Apa maksud Daddy?” Kali ini wanita paruh baya yang sejak tadi diam di sebelah Gama akhirnya angkat  bicara.               “Daddy sudah putuskan. Hal ini akan semakin buruk jika terus berlanjut, maka dari itu Daddy harus segera mengambil tindakan. Maaf, tidak memberi tahu lebih dulu,” sesalnya pada wanita yang sudah menemaninya kala susah dan senang itu.               “Om, maaf sebelumnya. Tapi saya tidak bermaksud melibatkan Zayn dalam masalah ini.” Sania yang tadinya memilih diam tak bisa lagi menahan diri saat semuanya terlihat makin runyam.               “Nyatanya dia sudah terlibat,” sahut Gama datar.               “Tapi, Om—“               “Sebenarnya apa mau kamu, Sania?” tembak Gama langsung.               “Daddy!” Zayn bersuara tak senang.               “Jangan bodoh karena dibutakan balas budi, Zayn. Dia memanfaatkanmu kalau kamu tidak tahu,” ucap Gama datar.               “Lalu apa bedanya dengan Daddy?” sahut Zayn tak kalah datar.               “Apa?” Gama mengangkat sebelah alis tak mengerti.               “Bukankah Daddy juga memintaku untuk menikahi Sesil? Apa itu bukan sebuah permintaan balas budi?” jawabnya telak.               Gama terperangah, ingat ucapannya tahun lalu yang meminta Zayn pulang dan menikahi Sesil karena tak tega melihat kesedihan anaknya tiap kali mengingat tentang Zayn yang tak pulang-pulang.               Belum sempat Gama menjawab, suara serak Sesil yang muncul dari arah pintu mengejutkan mereka semua.               “Daddy melakukan itu?” tanya gadis itu dengan mata berkaca-kaca.               Gama langsung bangkit dan menghampiri sang putri dengan panik, begitu juga dengan wanita paruh baya yang sudah melahirkan Sesil.               “Daddy tidak bermaksud menyakitimu, kami hanya tidak sanggup melihat kesedihanmu setiap kali mengingat Zayn,” ucap Putri serak seraya mengusap rambut anaknya yang diikat rapi.               “Apa begitu terlihat jelas, Mom?” tanya gadis itu serak.               “Apa?” tanya sang Mommy tak mengerti.               “Perasaanku pada Kakak, apa terlihat begitu jelas?”               “Semua orang pasti tahu saat melihat tatapanmu padanya,” sahut Gama lembut.               Gadis itu menatap sang Daddy dengan senyum. “Jangan lakukan hal itu lagi Daddy,” ucapnya pelan yang dibalas anggukan kepala dari Gama. “Maaf,” bisik pria paruh baya itu serak.               Sesil menghela napas panjang lalu berjalan mendekati meja makan. Senyum kecil terukir di bibir gadis itu. “Selamat untuk kalian,” ucapnya pelan.               “Selamat untuk apa?” tanya Sania bingung.               Lagi-lagi Sesil tertawa kecil, tapi semua orang yang melihat pasti tahu itu hanya sebuah tawa kepura-puraan. “Beritanya sudah menyebar dan seluruh Indonesia sudah tahu,” ucapnya mengedikkan bahu santai.               “Berita apa?” Kali ini Zayn yang bersuara, matanya menatap Sesil begitu tajam.               “Sania hamil, dan kalian akan menikah.” Gadis itu menjawab tanpa ekspresi seraya membalas tatapan Zayn.               “Sesil ini—“               Sesil mengangkat tangan tanda tak ingin mendengar ucapan Sania. “Dugaanku soal kalung kemarin benar. Kakak memang sengaja membelinya untuk melamar Sania, dan Kakak pulang juga karenanya.”               “Jangan menarik kesimpulan sesukamu,” tukas Zayn datar.               Sesil tersenyum masam. “Kalau saja sejak dulu aku melakukan itu, mungkin Kakak sudah menikahiku,” sahutnya enteng.               “Sekali lagi selamat. Aku ucapin sekarang karena mungkin di hari bahagia kalian aku nggak bisa hadir.”               “Mau ke mana kamu?” Zayn kini berdiri dari duduknya, tatapannya semakin menusuk tajam.               Sesil mengedikkan bahu. “Ikut Uncle Bryan ke Turki.”               “Bocah gila itu.” Kali ini Gama yang menggerutu tak senang. Tahu sekali bahwa adik tirinya itu sudah mencekoki Sesil dengan pikiran-pikiran tak masuk akalnya.               “Sesil kamu salah paham.” Sania lagi-lagi berusaha mencegah kepergian Sesil.               “Biarkan saja,” ucap Zayn yang lagi-lagi menimbulkan luka di hati gadis itu, ketidakpedulian Zayn benar-benar nyata adanya.               Sesil tersenyum masam dan melanjutkan langkah untuk meninggalkan ruangan itu.               Gama menghela napas panjang, urusan hati wanita memang serumit itu. Selalu berpura-pura kuat padahal aslinya begitu lemah. Sok mengatakan selamat padahal di dalam hati ingin sekali mengumpat.               Sesil memasuki kamar dan bersiap untuk menangis seharian. Tadinya ia akan melakukan interview, tapi ketika membaca perkembangan berita tentang Zayn dan Sania membuat mood-nya hancur seketika. Ia yakin, untuk memperkenalkan diri di depan pewawancara saja ia tak akan bisa, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka layangkan saat interview.               Hatinya sakit, sungguh sakit. Memang benar, seharusnya ia mendengarkan dahulu penjelasan Sania. Namun hal itu sungguh sulit bagi Sesil mengingat betapa pedulinya Zayn pada wanita yang pernah menolong ibu kandungnya itu.               Ya, Sania pernah menyelamatkan Intan saat ingin melakukan percobaan bunuh diri. Sejak itu, Zayn merasa berhutang nyawa padanya dan selalu memastikan wanita itu terhindar dari marabahaya. Bahkan ketika Sesil dengan tidak sengaja melakukan kesalahan yang membuat Sania menangis, Zayn langsung memusuhinya. Sungguh miris sekali.               Gadis itu menghela napas seraya mngusap kasar air mata yang mengalir dengan sendirinya. Ia butuh mandi atau bahkan berendam untuk menenangkan hatinya yang terasa sesak.               Setengah jam kemudian, Sesil keluar dari kamar mandi hanya menggunakan bathrobe, tapi betapa terkejutnya ia saat mendapati Zayn berdiri menghadap balkon di dalam kamarnya.               “Apa yang Kakak lakukan di sini?” tanya Sesil heran.               Pria itu berbalik, menatap penampilan Sesil dengan tajam. Lalu ia melangkah mendekat tanpa melepas tatapan bak singa yang mengawasi mangsa.               “Ada keperluan apa kamu ke Turki?” tanya pria itu datar setelah jarak mereka tinggal selangkah lagi.               Sesil tersenyum masam dan berjalan melewati Zayn untuk duduk di meja riasnya. “Kakak pasti tahu alasannya,” sahut gadis itu pelan seraya merapatkan tali bathrobe-nya.               Sungguh, sebenarnya ia merasa kurang nyaman ketika Zayn melihat penampilannya seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, hati kecil Sesil yang terdalam takut kesempatan berbicara seperti ini akan hilang jika ia meminta Zayn untuk keluar dahulu agar ia mengganti baju.               ”Aku tidak tahu,” tukas Zayn tak senang.               “Maka tidak usah cari tahu. Lagi pula ini bukan urusan Kakak, urusan Kakak hanya Sania,” ucap wanita itu seraya mengamati deretan skincare di meja riasnya.               “Aku hanya membantunya, dia hamil karena kesalahan,” sahut pria itu datar.               “Ya, membantunya membesarkan anak itu, membantunya sebagai seorang suami. Begitu kan?” Kali ini Sesil berucap dengan mata berkaca-kaca yang menatap langsung pada pria itu.               “Mengertilah. Dia sudah menyelamatkan ibuku.”               “Aku sangat mengerti, Kakak. Maka lakukanlah, semua terserah padamu,” ucap gadis itu seraya bangkit dan membuka lemari.               “Jangan pergi.”               Gerakan tangan Sesil yang hendak menarik pakaian santai dari dalam lemari terhenti seketika saat Zayn melontarkan kalimat yang sama sekali tak Sesil pikirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN