BAB 4 : Hukuman Ayah

2612 Kata
PERHATIAN!! Bab ini mengandung adegan kekerasan yang berdarah-darah dan tidak layak untuk di tiru. Bagi yang tidak suka adegan kekerasan silahkan di skip. Harap bijak dalam menyikapinya bagi yang membaca, karena ini murni hanya sebuah cerita. *** Samar-samar suara obrolan pengunjung bioskop memenuhi ruangan, mereka memberikan beragam tanggapan setelah melihat apa yang mereka tonton. "Aku ke toilet dulu" ucap Yura, setelahnya dia berlari melewati pintu bioskop dan keluar. "Kau mau kemana?" Tahan Stefan yang menahan lengan Raymen karena pria itu hendak pergi mengikuti Yura. "Kau benar-benar sialan, jangan terlalu berlebihan pada Yu. Kau ingin melihat dia menagis lagi hah!" Raymen merenggut, "b******n itu menyentuhnya. Kau tidak dengar bagaimana Yu ketakutan hah?" "Oh astaga. Jangan mengungkitnya lagi, kau sudah menghajarnya. Itu sudah setimpal." Raymen menepis tangan Stefan hingga pegangannya terlepas, "Ya, setimpal. Dan sekarang aku harus menjaga Yu. Kau tunggu di luar" perintah Raymen langsung pergi meninggalkan Stefan yang mematung di tempat. Raymen melangkah lebar melewati kerumunanorang di sekitarnya, pandangannya mengedar mencari sosok Yura. Tatapan Raymen menajam, melihat Yura yang tengah berbicara dengan seorang pria di depan pintu toilet. "Aku sering melihatmu." Yura tertawa malu, "Benarkah?." "Ya, aku satu sekolah dengan Raymen. Aku sering melihatmu di kelasnya." Aku Mikhael terlihat canggung sambil mengusap tengkuknya. "Kau sangat cantik. Raymen sangat beruntung memiliki kekasih yang luar biasa sepertimu." Yura tertawa terhibur, "Kami bersahabat sejak kecil." Jawabnya meluruskan kesalah pahaman. "Sejak tadi aku melihatmu, kita menonton film yang sama" ucap Mikhael dengan senyuman kecilnya. "Boleh aku meminta nomor teleponmu?" Sambungnya lagi dengan cepat. Sekilas Yura tersenyum dan mengangguk kecil, "Ya, tentu saja." Jawabnya yang membuat Mikhael tersenyum semakin lebar. Mikhael meyerahkan handponenya kepada Yura. "Terimakasih" ucap Mikhael setelah Yura memasukan nomer teleponnya. "Nanti malam aku akan menelponmu." Yura mengangguk kecil, "Aku permisi" pamitnya langsung pergi meninggalkan Mikhael yang memasuki toilet. "Ray" Yura tersenyum lebar melihat Raymen yang bersedekap menatap tajam dirinya, "Kau mau kemana?." "Siapa itu?" Tanya Raymen dingin. "Mikhael." "Mau apa?." Kening Yura mengerut, "Hanya miminta nomer telepon." Raymen menarik napasnya dalam-dalam, "Aku ke toilet dulu." "Kenapa dia itu?" Gumam Yura melihat punggung Raymen yang mulai menjauh, tanpa pikir panjang lagi Yura langsung pergi tanpa berniat menunggu Raymen. Sementara itu, di tempat lain Raymen tengah merangsek kerah baju Mikhael dan memaksanya untuk mengeluarkan handponenya. Raymen memeriksa nomer telepon Yura dan segera menghapusnya. "Jaga pandanganmu, jangan sekali-kali melihat milikku. Jika aku melihatmu melakukannya lagi, akan ku pastikan kau menyesal" geram Raymen mengancam seraya memasukan handpone Mikhael ke sakunya dan di akhiri dengan dorongan keras. Mikhael terkekeh geli, "Siapa kau sebenarnya?. Pengagum rahasianya?. Dia bukan milikmu, dia hanya sahabat." BUGH Mikhael terjungkal membentur wastafel, hidungnya memerah dan perlahan megeluarkan darah. "Suatu saat nanti akan ku robek mulutmu" ucap Raymen sebelum pergi dengan sisa-sisa marahnya.   *** Sore yang terlihat cerah dengan warna orange kemerahannya di langit bagian barat. Yura masih duduk sejak setengah jam yang lalu, melihat Raymen yang tengah berlari mengelilingi lapangan, Raymen terlihat sangat bekerja keras berolahraga walau baru pulang les. Raymen berdecak pinggang dengan napas yang memburu, dan keringat yang membasahi tubuhnya, Yura melempar sebotol air minum dan langsung dia tangkap. “Kau semakin yakin menjadi pilot.” Tanya Yura dengan ragu, Raymen mengangguk dengan mantap, Yura tersenyum tidak sampai ke matanya. “Aku harus belajar lebih giat lagi” Raymen duduk di sebelah Yura, dia menepuk bahunya dengan lembut, seakan tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. “Jika aku sudah menjadi pilot, kau gadis pertama yang akan aku ajak terbang di langit Eropa, aku juga akan membawamu ke Venesia.” Yura tertawa merasa bosan dengan janji yang sering di ucapkan Raymen.“Kau bisa terus belajar sesuai dengan hatimu Raymen” Yura menghembuskan napasnya yang terasa menyesakan. “Sementara aku harus menjadi manusia yang dipaksa keluar dari cangkangku sendiri.” “Dengarkan aku Yu. Apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kerasnya dunia menentang mimpimu, aku akan selalu mendukungmu. Aku akan selalu berada di sampingmu sampai kapanpun.” Yura tersenyum kecut dengan mata yang berkaca-kaca menahan air matanya. Raymen meraih wajahnya dengan serius melihat manic matanya yang terlihat terluka dengan beban yang semakin bertumpuk di pundaknya. “Kenapa? Katakan padaku” pinta Raymen dengan serius. Yura menggeleng memaksakan tersenyum. “Aku hanya terharu.” Jawab Yura penuh kebohongan. “Benarkah?.” “Tentu saja, kau satu-satunya pria yang menjanjikan langit Eropa untuku. Separuh hatiku di miliki olehmu Ray, meski kau playboy sialan yang menyebalkan. Aku tetap menyayangimu.” Raymen langsung tertawa mendengarnya, dia beranjak dari duduknya di susul Yura yang mengekorinya seperti anak anjing.“Hey..” Yura menarik-narik ujung baju Raymen. “Apa?.” “Kenapa kau tinggi sekali?” Yura melangkah satu langkah agar lebih dekat dengannya, jarak mereka menjadi rapat, hanya menyisakan jarak beberapa inch. Raymen membalikan tubuhnya dia tersenyum begitu hangat dan sayang. Yura melihat senyuman Raymen dengan kepala mendongkak, kakinya menjinjit, namun tinggi tubuhnya hanya setinggi bahu Raymen. “Sekarang tinggimu berapa?” Tanya Yura dengan tangan berpegangan kuat pada bahu Raymen untuk mempertahankan kakinya yang berjinjit, Yura takut jatuh. “183” Raymen menekan kepala Yura dengan tangannya agar gadis itu berhenti berjinjit, “Kau sangat pendek rupanya, dududuh… kasihan sekali gadisku ini.” Raymen tersenyum penuh ejekan. “Kau yang setinggi tower” Yura melompat dan menyundulkan kepalanya sampai mengenai dagu Raymen, hingga pria itu terantuk dan mengaduh, terhuyung-huyung kebelakang. “Kau kasar sekali” Raymen memegang dagunya yang  memerah, “Wajahku bisa rusak tahu, ini aset berharga, kau tidak bisa membelinya dengan uang.” Yura berdecak pinggang menggelengkan kepalanya, dia tersenyum miring merasa senang melihat sahabatnya tersiksa. *** Suara detak jarum jam berirama dalam kesunyian, malam semakin gelap. Yura masih duduk dan berkutat dengan buku pelajarannya, sesekali dia menekan pelipisnya agar tetap terjaga. Samar-samar suara percakapan di luar terdengar di antara kesunyian. Yura menengok begitu mendengar seseorang menggerakan daun pintu kamarnya. Di ambang pintu Mia berdiri dan menatap tajam dirinya menggambarkan ketidak sukaannya. “Ayahmu ingin bicara” ucapnya dengan nada dingin. Yura menutup bukunya dan segera beranjak, mengikuti langkah Mia menuju ruang tamu dan menemui Tomi yang tengah berdiri berdecak pinggang menggenggam gagang telepon rumah. “Tadi kau kemana?” Tanya Tomi dengan tenang. Kepala Yura tertunduk dengan jari-jari yang saling bertautan, menatap lantai marmer berwarna kecokelatan, “Aku pergi dengan Raymen dan Stefan.” “Aku tanya sekali lagi, kau pergi kemana?” nada suara Tomi penuh dengan tekanan. “Kami pergi menonton ke bioskop.” “Siapa yang mengajarimu untuk berbohong?. JAWAB!” Teriaknya tepat di depan Yura. Kaki Yura gemetar, ia menggeleng kecil dengan napas tercekat tidak dapat menjawab. “Arrghtt..” Yura meringis, kepalanya terangkat oleh tarikan tangan Tomi yang menjambak rambutnya. Wajah Yura memucat menatap kilatan kemarah ayahnya yang menakutkan. “Barusan Jing Yi menelpon, dia mengatakan kau datang ke pesta anaknya dan mendapat perlakuan tidak baik. Kau mau menjawab dengan alasan apalagi hah?. Sudah aku katakan kepadamu, jangan dekat-dekat dengan keluarga itu. kau mau mempermalukan aku hah?” “Maafkan aku ayah.” Ringis Yura merasakan perih di seluruh permukaan kulit kepalanya. “Terus kenapa kau berbohong?” “Maaf ayah, aku salah.” “Ya, kau salah” geram Tomi seraya menyeret rambut Yura hingga tubuh kecil itu terseret-seret melangkah terhuyung dengan tangisan kesakitannya. “Kau sangat mengecewakan aku. kau benar-benar bod*h, keluarga pel*cur itu bisa merusakmu!” Tomi mendorong Yura ke meja dapur dan melepaskan jambakannya. “Hikss.. maaf Ayah” isak Yura mengusap genangan air mata yang membasahi pipinya, tubuhnya menggigil ketakutan melihat Tomi mengambil botol bubuk cabai. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ini adalah hukuman yang akan selalu Yura terima ketika Yura berbohong. “Maafkan aku Ayah, aku tidak akan melakukannya lagi” derai air mata Yura semakin deras, melihat Tomi mendekat. “Aku mohon Ayah, jangan hukum aku” lirihnya penuh permohonan. “Buka mulutmu” perintah Tomi yang tidak mengindahkan permintaan Yura. Yura menggeleng sekuat tenaga berusaha menolak, dengan kasar Tomi meraih wajahnya dan mencengram rahangnya dengan kuat. “Sejak awal aku sudah mengatakannya padamu. Jika kau tidak mau di hukum, ikuti aturan.” Napas Yura tersenggal-senggal merasakan sakit di rahangnya. Mulutnya perlahan terbuka setelah merasakan tekanan di pipinya, kuku-kuku Tomi menancap disana dan membuka Yura semakin membuka mulutnya. “Aku selalu mengajarkan kejujuran padamu, tapi kau tidak menerapkannya.” Tomi menuangkan bubuk cabai kedalam mulut Yura hingga penuh. Kedua mata Yura terpejam, merasakan panas dan pedas yang perlahan menyerang tenggorokan dan seluruh isi mulutnya. “Katakan padaku, apa kesalahanmu” Yura tersedak, membuat tenggorokannya perih tersiksa. Dengan terpaksa menelan bubuk cabai itu. “Aku telah berbohong, aku minta maaf. Aku tidak akan melakukannya lagi, aku pantas mendapat hukuman ini” rapalnya tersendat-sendat mengucapkan kata-kata yang sama setiap kali Yura membuat kesalahan. Tubuh Yura ambruk ke lantai, memuntahkan bubuk cabai. Lidahnya kelu mati rasa, tenggorokannya panas merasakan sedakan panas dan pedas yang menjalar dari mulut hingga lambungnya. “Aku tidak menyuruhmu untuk memuntahkannya” teriak Tomi marah. Pandangan Yura mengabur di penuhi air mata, belum sempat dia di beri kesempatan untuk bangkit apalagi minum. Tangan Yura terguncang oleh Tomi dan menyeretnya lagi ke dalam kamar. “Renungkan kesalahanmu” perintahnya sebelum menutup dan mengunci pintu kamar Yura. “Arghht” erang Yura kesakitan, tangisannya semakin menjadi. Sekujur tubuhnya mati rasa tidak mampu menahan siksaan pedas di sekujur mulutnya. Dengan tertatih-tatih Yura bangkit, kaki kecilnya gemetar saat melangkah. Yura kehilangan suaranya, di antara sisa-sisa kesadarannya Yura membuka pintu jendela dan melompat keluar. Ia berlari terseok-seok tanpa alas, Yura menyusuri hutan dalam kegelapan. Tubuh Yura ambruk, dengan lemah tangan kecilnya mengambil rerumputan dan memakannya. Dalam kegelapan dan kesunyian malam, pandangan Yura semakin mengabur. Perlahan kedua mata itu tertutup dan terpejam. Yura kehilangan kesadarannya.   *** “Jika kau sakit kita ke dokter saja.” Mia menatapnya dengan iba, sementara Yura masih membungkam mulutnya. Suaranya berubah serak hingga terasa perih untuk berucap sejak ia terbangun di tengah hutan. “Aku akan pergi nanti.” Bisik Yura memaksakan. “Lebih baik secepatnya, kau terlihat sangat kurus Yu, benar-benar kurus.” “Makanku banyak bu.” “Karena itu harus ke dokter, biar aku antar sekarang, sebentar lagi ujian, nilai ekonomi dan fisikamu sangat buruk, jadi harus lebih giat lagi belajar dan itu membutuhkan kondisi fisik yang sehat.” “Tidak perlu bu, aku bisa pergi sendiri.” Yura tersenyum singkat dan pergi berlalu kedalam kamarnya. Yura menyentuh jantungnya yang terasa normal-normal saja sekarang, tapi sering kambuh tiba-tiba juga. Pikirannya mulai melayang kepada Raymen yang  begitu mantap untuk menjadi pilot, semenatara dirinya masih kebingungan dengan apa yang dia lakukan. Raymen di dukung penuh oleh orang tuanya, sementara dia harus berjalan sendiri, untuk mencapai apa yang dia mau dan harus memaksakan diri untuk menyukai apa yang tidak dia suka. *** Sore itu.. Yura memutuskan untuk kembali ke rumah sakit sendirian. Sulit baginya untuk memenumi Raymen dan memintanya untuk menemani dirinya dalam keadaan kacau seperti sekarang. Mental Yura masih terguncang. Yura menghentikan langkanya setelah sampai di depan ruangan dokter spesialis dalam, dia merasa ragu untuk masuk, apalagi suasananya terasa sepi karena sedang dalam jam istirahat. “Rupanya kau.” Yura langsung membalikan tubuhnya dalam satu gerakan, dan di hadapannya sudah ada Armin yang terlihat menawan sama seperti saat pertama bertemu. “Anu.. saya mau konsultasi.” Bisiknya dengan kepala tertunduk. “Oke, ayo.” Yura mengekorinya langkah Armin. “Jadi apa yang memotivasimu untuk sembuh?.” Tanya Armin masih dengan tatapan dingin tak terbaca. Yura menengadahkan kepalanya merasa heran. “Kau ingin jawaban yang jujur, atau bohong?.” “Aku menghargai kejujuran.” “Aku ingin pergi jauh” jawabnya dalam renungan, Yura membuang mukanya menyembunyikan bagaimana berkaca-kacanya bola matanya yang kecokelatan itu.  “Aku mengerti, ayo.” Sepanjang perjalanan mereka menuju ruangan, banyak perawat-perawat cantik menyapa Armin dengan ramah, pipi mereka bersemu kemerahan.Yura menyerigai nakal, dia tahu, perawat-perawat yang menyapa Armin tengah berusaha mencari perhatian, itu juga sering terjadi pada Raymen. Wajar saja jika itu terjadi. Dalam pandangan Yura, Armin menggambarkan pria genius secara visual dan dari segi cara berbicaranya juga memiliki daya pikat, sehingga memberikan aura tersendiri padanya, apalagi postur tubuhnya yang bagus dengan wajah terlihat sempurna. Mereka memasuki ruangan poli jantung, untuk di periksa terlebih dahulu untuk memastikan keadaannya. Yura menjalani tes, sehingga memakan waktu yang cukup lama. Keadaan jantung Yura perlu di ketahui, apakah penyakit baru, atau turunan. Yura sempat menjelaskan masa-masa sulitnya dulu saat sakit dan terlalu banyak minum obat dari beberapa dokter dengan resef yang berbeda, kemungkinan besar itulah sebabnya kenapa sekarang jantungnya bermasalah. Armin duduk di kursi kerjanya terlihat serius melihat hasil tesnya, sementara Yura lebih tertarik melihat patung yang memperlihatkan organ tubuh manusia. “Darahmu selalu rendah?” Armin mengalihkan perhatiannya pada Yura, gadis itu hanya mengangguk. “Jadi..” Armin menatapnya dengan serius dan memberikan beberapa nasihat dan menjawab setiap pertanyaan Yura dengan jelas. “Aku selalu rutin olahraga tiga kali dalam sepekan” jawab Yura dengan bersungguh-sungguh. “Semacam apa kegiatan fisiknya?.” “Berlari di tempat selama tiga puluh menit, kadang bersepeda juga.” Armin tersenyum geli mendengarnya, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Karena sepertinya, Yura merasa tidak keberatan dengan olahraga yang di lakukannya. “Jadi dokter” Yura menelan ludahnya dengan pelan “Sebenarnya. Aku tidak mau minum obat, tapi akan belajar hidup lebih sehat saja untuk menekan penyakitku. Apakah itu bisa sembuh dengan konsultasi saja?.  Dan apakah aku harus tetap melakukan Treandmill Test?.” Pipi Yura bersemu kemerahan. “Aku tidak akan memberikan obat, untuk apa aku memberimu obat, tapi tidak kau minum juga.” Armin mengangkat bahunya dengan acuh, dia benar-benar asik di ajak berbicara, membuat Yura merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Armin mampu berinteraksi seperti seorang teman, bukan seperti seorang dokter pada umumnya. “Tentu saja harus, kenapa kau menolak membuka bajumu, ini sangat menyusahkan.” “Karena kau pria.” Jawab Yura terbata-bata, “Sekalipun yang memasangnya perawat cantik, tapi kau tetap melihatnya. Aku aku akan menunggu dokter cantik saja.” Armin menengadahkan kepalanya menahan tawa, “Kau sangat tidak sopan, itu artinya kau berpikiran jika kami tidak professional dalam bekerja, karena melihat pasiennya bertelanjang.” “Eh, tidak! Tidak seperti itu. Maafkan aku, maaf.” Yura langsung berdiri dan membungkuk meminta maaf, lalu dia kembali duduk. “Detak jantungku jadi berdebar-debar keras, karena malu. Aku kan sudah dewasa. Aku akan menunggu dokter cantik saja.” Sekali lagi Armin tertawa merasa terhibur. “Kenapa dengan lehermu?” Tanya Armin berubah dengan nada seriusnya. Yura tersenyum lebar, mengusap lehernya yang terasa sakit. Ia yakin jika sekarang tenggorokannya membengkak, mengingat seberapa banyaknya sariawan di seluruh mulutnya sekarang. “Aku alergi” “Kau berbohong lagi” Armin menyipitkan matanya tidak suka, Yura langsung terdiam. Seketika pipinya memerah malu. Manusia di hadapannya memang memiliki otak superior, sampai-sampai sekecil apapun Yura berbohongpun Armin pasti tahu. “Tenggorokan saya sedang sakit saja.”. “Perlu kau ketahui.  Jika ingin berkonsultasi, kau harus berbicara dengan jujur, karena itu sangat penting untuk kesembuhan pasien. Munculnya penyakit bukan hanya sekadar dari makanan, keturunan, namun keadaan mental juga berpengaruh” Yura menopang dagunya dan tersenyum terpesona, Armin membalasnya dengan tatapan dingin dan tajam. “Kenapa?” Tanya Armin. “Anda terlihat seperti anak Indigo dokter. Jadi aku berbohong atau jujurpun, Anda bisa mengetahuinya. Bukankah itu artinya aku tidak perlu menjawab, karena kau bisa membaca pikiranku.” “Benarkah?, kata siapa anak Indigo bisa membaca pikiran manusia?” Tanya Armin mulai tertarik. Yura tertawa bersemangat, “Anda pernah dengar bapak dokter sedunia kita? Ibnu Sina juga seorang anak Indigo juga. Karena itu, dia bisa memetakan jenis tanaman sesuai khasiatnya, karena tanaman itu berbicara padanya dan mengatakan khasiatnya.” Armin mengangguk-ngangguk dengan sudut bibir terangkat membentuk senyuman kecil yang tulus. 7. Treandmill test: sebuah pemeriksaan pada jantung, apakah memiliki asupan darah dan oksigen saat terjadi stress fisik. Anda harus membuka pakaian karena pemasangan beberapa alat di bagian dad4.   To Be Continue..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN