Aynur menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia menghembuskan asap rokok ke udara dan membuang puntung rokok yang beberapa menit lalu ia hisap ke dalam asbak di sebelahnya.
"Gila lo She ... Elo ga mikirin gimana perasaan tuh ustaz? Udah patah hati ga jadi merit, masih ditambah dikerjain cewek yang sama sekali ga dia kenal." ucap Ziva sambil mematikan puntung rokok Aynur di asbak.
"Gue ga egois kali, Va. Gue tahu dia juga butuh gue buat menyelesaikan masalah yang sedang menimpanya."
"Tapi tetap saja dia ga tau tujuan utama elo apa. Ihsan taunya elo bener-bener pengen hijrah, kan?"
Aynur menghela nafas kasar dan mulai memejamkan matanya, mengabaikan kata-kata Ziva.
"Seharusnya elo ngasih tahu ke dia She, gimana kalau nantinya dia merasa ditipu dan ga terima dengan perlakuan elo. Elo bisa dituntut di pengadilan dengan pasal penipuan" ancam Ziva.
Aynur kembali membuka matanya.
"Kalau gue dituntut, gue bakal bayar kok, berapapun yang dia mau. Saat ini pokoknya gue harus tunjukin ke Bobby dan keluarganya kalau gue bisa hidup tanpa Bobby. Titik!!" sahut Aynur.
"Terus kalau elo udah berhasil nikah sama Ihsan, elo mau ngapain? hidup menua bersama tuh ustaz??" tanya Ziva penasaran.
"Gila lo!! ya nggak lah!! gue cuma mau bikin Bobby nyesel dan memohon mohon ke gue. Lagian si Ihsan juga ga bakalan mau idup sama gue Va, gue tau dia cinta banget sama tunangannya. Gue cuma nunggu Bobby kok. Kalau dia serius mau nikah, gue bakal cerai sama Ihsan. Dan Ihsan bisa kapanpun nyerein gue buat nikahin si Aisyah. Beres, kan?!" jelas Aynur.
Ziva geleng-geleng kepala.
"Enak banget ya lo ngomongnya!!! jangan ngaco lah She!! omongan elo itu berlaku kalau Ihsan udah tau rencana elo sebenernya dan dia setuju buat nglakuin itu. Nah ini posisinya elo bawa-bawa nama 'hijrah'. Ga mungkin seorang ustaz menyepelekan hal seperti itu. Menghijrahkan seseorang sama aja membangun istana di surga." Ziva mengangkat tangannya menirukan gaya ustazah yang sedang berdakwah.
"Wuiiiiiiihhh ...." bukannya mencermati perkataan Ziva, Aynur malah tertawa dan bertepuk tangan.
"Serah lo lah She!!" sahut Ziva malas.
"Ngomong-ngomong, coba gue liat resume yang elo omongin kemarin. Ada fotonya ga? gue penasaran ama tuh ustaz. Ga modis and sedikit kampungan gapapa sih asal visualnya oke." Mata Ziva berbinar.
"Ada di stop map kuning di dalem laci. Gue juga belum baca. Udah ngalah-ngalahin proposal skripsi panjangnya."
Ziva membuka laci meja di sebelah ranjang Aynur , membuka dan membaca beberapa lembar kertas HVS yang berada di dalam stop map.
"Busyett!! Ini bukan cuma rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Ini rencana seumur hidup, She!!" Ziva membolak balik kembali lembar demi lembar. "Mana fotonya? bukannya lo pernah bilang proposal kaya beginian ada fotonya?" tanya Ziva.
"Biasanya sih ada. Mungkin karena kita udah pernah ketemu, jadi ga dicantumin foto," jawab Aynur santai.
Ponsel Aynur tiba-tiba bergetar. Bobby kembali mengirim pesan yang sama sekali tak dibalas Aynur. Dari pesan permintaan maaf hingga pesan ancaman akan benar-benar mengakhiri hubungan keduanya.
Aynur merasa sudah muak dengan sikap Bobby. Selama ini dia berusaha memahami pria yang berusia dua tahun lebih muda darinya itu. Namun bukannya semakin dewasa, Bobby malah bersikap kekanak-kanakan. Hal ini lah yang membuat Aynur semakin hari semakin lelah menjalin hubungan yang tidak pasti dengan Bobby.
*
Aynur tiba di rumah mewah berlantai dua. Sudah dua tahun lebih dirinya tidak menginjakkan kaki di rumah tersebut. Rasa sakit hati dan kecewa masih terasa di hatinya ketika mengingat ayahnya menikah dengan seorang wanita yang sebenarnya adalah teman baik mendiang ibunya.
"Aynur!!!" Laras kakak kedua Aynur berlari ke arahnya. Laras memeluk adik perempuan yang sangat ia rindukan itu.
"Mengapa tidak nelpon dulu, kan mbak bisa jemput kamu." Laras membantu menurunkan koper Aynur dari taksi yang membawa Aynur dari bandara.
"Gapapa mbak. Lagian mb Laras juga punya anak kecil, malah repot nanti. Eh, Mbak Rahma sama mbak Reni sudah datang belum?" tanya Aynur. Kakak pertama dan kakak ketiganya hidup bersama suami mereka di desa sebelah, tak jauh dari rumah ayahnya. Sementara Laras kakak keduanya tinggal satu rumah bersama ayah dan ibu tiri Aynur.
"Nanti sore mungkin. Mereka sama-sama menghadiri acara pamitan haji salah satu keluarga santri di pondok bapak." jelas Laras, lalu mengajak adiknya masuk ke rumah.
Tak banyak yang berubah pada rumah lamanya itu. Dua lukisan kaligrafi berukuran besar masih menghiasi ruang tamunya. Laras membuka kamar Aynur yang tak berubah sama sekali.
Tiba-tiba rasa sesak memenuhi dadanya. Aynur teringat pada mendiang ibunya. Tanpa sadar air mata menetes dari mata Aynur.
"Kamu kangen ibuk ya? bapak sengaja melarang mengubah apapun yang ada di kamar ini. Sesekali Risma tidur disini sama mbak biar ga kosong terus." Laras mengusap bahu Aynur dengan lembut.
Tiba-tiba seorang anak kecil berlari masuk ke kamar Aynur diikuti oleh wanita berusia hampir lima puluhan tahun. Wanita tersebut terperanjat melihat Nur di dalam kamar.
"Aynur?? eh, kamu sudah sampai, ya?" kata Fatimah tampak canggung. Aynur memalingkan wajahnya. Kini dia menatap jijik pada bocah laki-laki yang naik dan melompat lompat di atas ranjangnya.
"Bawa bocah itu pargi sebelum aku menyeretnya keluar!!" ucap Aynur penuh intimidasi.
"Astagfirullah...." Laras mengelus dadanya mendengar ucapan Aynur pada Fariz, adik tirinya.