Oma Retno pergi bertamasya dengan ibu – ibu kompleks ke Yogyakarta selama tiga hari. Dalam tiga hari itu, setiap malam Rayyan mengajaknya ke kamar dan mereka bercinta. Selalu, setiap Oma Retno tidak ada di rumah, mereka selalu melakukannya di kamar Rayyan.
Hubungan yang tak sehat itu sudah berjalan selama dua bulan lamanya. "Mas Rayyan." Guman Sena seraya menatap Rayyan yang tengah membuang kondom bekas mereka pakai ke tong sampah. "Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?"
"Ada yang mau aku bicarakan." Guman Sena.
Rayyan mengernyitkan dahi untuk beberapa saat, "Sebentar. Aku cuci tangan dulu." Ujar Rayyan sebelum memasuki kamar mandi. Setelah menunggu beberapa menit, Rayyan keluar dari kamar mandi dan ikut berbaring di samping tubuh Sena.
Pria itu menarik pinggang telanjang Sena agar merapat ke tubuhnya, dan mengecupi puncak kepala Sena beberapa kali. "Apa ada yang membuatmu resah?"
Sena mengangguk. Rayyan lantas sedikit menarik kepalanya ke belakang sehingga bisa melihat wajah Sena. "Tentang apa?"
"Hubungan kita ini seperti apa?"
Rayyan terdiam, dia tidak tahu harus menjawab Sena seperti apa. "Kita bukan teman. Kita juga tidak pacaran. Tidak tunangan dan tidak menikah. Tapi kita sudah sejauh ini." Lanjut Sena karena sepertinya Rayyan bingung dengan pertanyaannya.
"Kamu menyesal memberikannya padaku?"
Sena menggeleng. Tiba – tiba saja dia menjadi mellow. Beberapa hari ini dia memikirkan hubungan tak sehatnya bersama Rayyan, juga jarak umur mereka yang terpaut cukup jauh. Alasannya klise, mau di bawa kemana hubungan mereka ini? Terlebih kemarin sebelum Oma Retno bertamasya, Sena sempat mendengar percakapan Rayyan dan Oma Retno mengenai kapan Rayyan akan menikah.
"Apa Mas Rayyan berjanji akan menikahiku?"
Rayyan tertawa lalu menarik pinggang telanjang Sena supaya lebih merapat ke tubuhnya. "Apa kamu meragukanku?"
"Tidak, aku tidak meragukan Mas Rayyan."
"Ya sudah, jangan memikirkan apapun." Guman Rayyan. "Aku sempat mendengar percakapan Mas Rayyan sama Oma. Oma mendesak Mas Rayyan buat menikah kan?"
"Sena.."
"Kalau Sena hitung, Mas Rayyan bisa menikahi Sena sekitar empat tahun lagi, tapi itu mustahil kan? Sena harus bagaimana Mas Rayyan?"
"Sena.."
"Sena nggak mau Mas Rayyan jadi milik orang lain. Mas Rayyan itu milik Sena." Desah Sena putus asa.
"Kamu percaya sama Mas kan?"
Sena menggangguk, Rayyan menarik dagu Sena dan mengecup bibir Sena sekilas. "Mas akan bertanggung jawab dengan apa yang Mas lakukan padamu. Kamu bisa bersabar menunggu kan? Empat tahun lagi bukan waktu yang lama."
Saat itu, Sena percaya sekali dengan apa yang dijanjikan Rayyan. Baru, setelah bulan keempat hubungan tak sehat mereka terjalin. Rayyan mengkhianatinya dengan memperkenalkan Cintya sebagai calon istrinya di hadapan seluruh keluarga Oma Retno.
**
Sena meringis merasakan pusing di kepalanya ketika ia baru terbangun dari tidurnya. Dahinya serasa di tempel kain basah, tangan Sena terulur menyentuh keningnya dan mengambil kain basah itu. Gadis itu beranjak bangun dan menatap sekitar, lalu dia mulai teringat kalau dia tengah menginap di rumah Oma Retno dan kini terbangun di kamar Rayyan.
Baju Rayyan yang ia peluk semalam berada di atas ranjang. Ada juga baskom berisi air yang terletak di nakas samping ranjang. Sena meraba dahinya dan merasakan bahwa tubuhnya agak sedikit panas. Dia sedikit pusing dan mulutnya terasa pahit.
Tak lama pintu kamar terbuka dan Bi Wulan masuk membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkok juga gelas air minum. "Sudah lama bangun, Non?"
"Baru saja, Bi."
Bi Wulan menaruh nampannya di atas nakas dan duduk di pinggir ranjang menghadap Sena. "Non sudah mendingan?"
"Sudah Bi, lumayan."
"Saya khawatir. Semalam Ningrum antar makanan tapi nggak ada sahutan waktu panggil nama Non Sena. Pas di cek, ternyata Non tidur dan tubuh Non panas."
"Bibi semalam jaga saya?"
"Bukan saya. Non beberapa kali mengigau nama Den Rayyan. Terus saya hubungi Den Rayyan."
"Mas Rayyan? Kenapa Bibi hubungi Mas Rayyan? Dia nggak ke sini kan Bi?"
Bi Wulan menunduk lemah, dan Sena sudah tau jawabannya. Sena mendesah, mulai memikirkan tentang makan malam Rayyan dan Cintya yang mungkin saja rusak karenanya. "Mas Rayyan datangnya sama Kak Tya kan Bi?"
"Den Rayyan datang sendiri, Non. Sekitar jam sepuluh malam. Sepertinya Den Rayyan tidak tidur karena jagain Non Sena,"
Rayyan semalaman menjaganya. Tiba – tiba saja ada gelayar aneh di dadanya setelah tahu Rayyan semalam menemaninya. Namun, ketika bayangan Cintya melintas. Sena tau dan sadar betul, Rayyan bukan lagi miliknya. Rayyan telah membuangnya. Jadi untuk apa Sena masih mengharapkan Rayyan?
"Non.."
"Iya Bi?"
Bi Wulan seperti terlihat ragu untuk bertanya, "Kenapa?"
"Non Sena ada masalah ya sama Den Rayyan?"
"Kelihatan sekali ya, Bi?"
Bi Wulan tersenyum tipis dan mengangguk. Dia menatap Sena dengan sorot mengasihani, dia menjadi salah satu saksi perjalanan hidup Sena yang kurang mendapatkan kasih sayang keluarga. Lalu Sena datang ke rumah ini, memberi banyak warna seperti kelopak bunga yang baru bermekaran. Hanya saja, kelopak bunga itu tidak bertahan lama, ketika berita pernikahan Rayyan dan Cintya diumumkan, kelopak bunga itu perlahan layu dan mati dengan sendirinya.
Tak jarang, setiap bulan, Sena diam – diam datang mengunjungi rumah ini dan bersembunyi di dalam kamar Rayyan.
Bi Wulan memang diam. Tapi dia tau sejauh apa hubungan antara Sena juga Rayyan. "Tidak baik memendam perasaan terlalu dalam, Non. Terlebih lagi sekarang Den Rayyan punyanya Non Tya. Mungkin sekarang Non harus belajar mengikhlasnya. Jadikan masa lalu Non dan Den Rayyan sebagai sebuah pembelajaran agar tidak mengulanginya lagi."
"Bi Wulan tau itu?" Tanya Sena lemah.
"Tentu saja saya tau. Saya selalu membersihkan kamar Den Rayyan dan tak jarang menemukan bekas pengaman di tong sampah."
"Kenapa Bibi tidak mengadu ke Oma Retno?"
"Saya tidak punya hak, Non. Saya hanya menyayangkan apa yang kalian lakukan di masa lalu."
**
"Apa tidak ada tempat lain selain rumah ini sebagai pelarianmu?"
Tanpa membalikkan tubuh, dari suaranya, Sena tau siapa yang kini tengah berbicara padanya. "Ini terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah ini."
"Oh ya?" Rayyan tertawa kecil, khas seperti ejekan atas pernyataan yang terlontar dari bibir Sena. "Tiga minggu lagi, setelah UN aku akan keluar dari rumah Mas Rayyan. Aku tidak akan mengusik kehidupan Mas Rayyan dan Kak Tya lagi. Tapi tolong, bujuk Kak Tya seandainya dia enggan membiarkanku pergi dari rumah kalian."
"Benarkah kamu tidak akan mengusikku lagi?"
Sena kali ini memutar tubuhnya untuk bisa menatap Rayyan. "Sudah waktunya aku menata kembali hidupku. Aku berhak bahagia, dan Mas Rayyan pun begitu. Aku akan mencari kebahagiaanku dan Mas Rayyan harus bahagia bersama Kak Tya dan calon anak kalian."
Sena pun tersenyum tipis dan melanjutkan, "Selamat. Mas Rayyan akan jadi Ayah." Sena melangkah menuju kursi yang ada di halaman belakang rumah Oma Retno dan mengambil tas selempangnya. "Kita pulang." Ujar Rayyan padanya.
"Aku harus pergi ke suatu tempat terlebih dulu."
"Kita harus pulang. Cintya menunggu kamu di rumah."
Sena menggelengkan kepala dan tersenyum tipis, dia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sebelum menatap Rayyan, "Temanku sepertinya sudah menunggu di depan. Aku akan pulang di antar temanku. Mas Rayyan hati – hati di jalan." Pamit Sena dan melangkah dengan cepat melewati halaman samping rumah. Di depan rumah ternyata sudah ada Jessy yang menunggu di dalam mobil. Jessy seperti biasa melambaikan tangan dan memintanya segera masuk.
Tanpa banyak kata, Sena segera masuk dan duduk di samping Jessy. "Ada Si Cucok?"
"Hmm.. cepat jalankan mobilnya. Suasana hatiku sedang buruk, Jess."
Jessy mendengus dan mengguman, "Kapan suasana hatimu pernah membaik?"
Sena yang memejamkan matanya mengguman, membalas perkataan Jessy. "Aku mendengar gumananmu, Jess."
**
"Kamu ini ke mana aja! Kakak cari kamu. Kalau mau pergi pamit sama Kakak. Kakak khawatir, Mas Rayyan juga khawatir. Dia sampai bela – belain nyari kamu dan pulang pagi – pagi sekali!"
Sena baru menginjakkan kaki di rumah Rayyan dan langsung mendapatkan cercaan dari Cintya. Dia melirik Rayyan yang dengan tenang tengah membaca majalah di sofa, seolah – olah kebohongannya yang diutarakan pada Cintya adalah kebenaran. "Maaf. Sena salah."
Cintya menghembuskan napas untuk menata kesabarannya. "Kakak tidak mendengar suara mobil kamu. Di mana mobil kamu?"
"Di rumah teman. Kalau nggak malas, lusa Sena ambil."
"Kamu menginap di rumah temanmu?"
"Kenapa?"
"Temanmu cowok apa cewek?"
"Cowok."
"Sena!" Hardik Cintya. "Kamu tau kan kalau kamu itu wanita? Bagaimana bisa kamu tidur di rumah teman lelakimu?"
"Sudah. Jangan emosional, Yang. Ingat kandunganmu." Ujar Rayyan pada Cintya. Sena mendengkus, lalu berkata, "Aku ke kamar dulu. Dan ah! Kakak tenang saja. Aku nggak melakukan apa – apa di rumah temanku."