Part 5

1322 Kata
"Berangkat sama Rayyan aja, Dek." Ujar Cintya saat Sena baru menginjakkan kaki di ruang makan. "Nggak ah. Sena naik taxi online aja." "Tujuan kalian kan sama. Kenapa harus di buat rumit sih, Dek?" Sena menghembuskan napasnya. Dia meraih roti dan mengoleskan selai coklat kesukaannya. "Nanti pulangnya juga sama Rayyan sekalian ambil mobil kamu." "Aku bisa ambil sendiri, Kak." Ujar Sena jengkel. "Nggak. Ambil sama Rayyan, terus pulang. Kamu kalau dibiarkan bisa menginap lagi di tempat temanmu." "Memang kenapa? Sena di sana nggak ngelakuin apa - apa!" Cintya yang duduk saling berhadapan dengan Sena melototi adiknya itu. "Kamu itu kakak sayang – sayang. Kamu cewek. Kalau kenapa – kenapa yang rugi itu di kamu." "Oh maksud Kakak tentang keperawanan?" Tanya Sena penuh kegetiran. Dia menggigit rotinya dan menatap Cintya dalam diam. "Bukan. Bukan begitu. Kakak was – was melihat pergaulan kamu yang terkadang di luar batas wajar. Kakak nggak ingin kamu salah pergaulan, Dek. Yang nanti berujung kamu menyesali perbuatanmu." "Aku bisa kok jaga diri. Kakak nggak perlu khawatir. Lagipula, apa yang aku lakukan di masa lalu atau masa depan, aku tidak akan menyesalinya karena itu pilihanku. Tapi Kak," Sena menjeda, dia menatap Cintya sebelum melanjutkan, "Mempertahankan keperawanan sampai seorang wanita menikah atau tidak mempertahankan keperawanan sebelum menikah itu pilihan setiap wanita." Cintya memicingkan matanya menatap adiknya penuh selidik. Sena yang sudah menghabiskan roti dan selesai minum segelas susunya segera beranjak berdiri. "Lalu, di antara dua pilihan itu. Kamu memilih yang mana?" "Pilihan kedua." Jawab Sena disertai senyuman yang terbit di bibirnya. Tanpa menatap ekspresi terkejut Cintya lebih lama, Sena segera beranjak pergi dari ruang dapur. Di ruang tengah, Sena sempat berpapasan dengan Rayyan yang baru turun dari lantai atas, tapi Sena berpura – pura tidak melihatnya. Sena keluar dari rumah dan berjalan di sepanjang trotoar untuk sampai di depan perumahan. Di sana sudah berjajar taxi yang menunggu untuk mendapatkan penumpang dan Sena segera memasuki taxi yang berada di urutan paling awal. "Mau kemana, Non?" "SMA Harapan Bangsa, Pak." ** "Kamu kenapa?" Tanya Rayyan ketika mendapati istrinya tengah memijat pelipisnya saat ia baru menginjakkan kaki di ruang makan. "Mual?" Cintya menggeleng dan menatap nanar pada suaminya. "Aku nggak habis pikir sama Sena." "Kenapa lagi?" Cintya menghembuskan napas. Mengambil roti dan mengoleskan selai kacang kesukaan Rayyan. "Kami berdebat." "Jangan terlalu sering berdebat, Yang. Lagi hamil lho kamu," Cintya mengangguk. "Hanya saja gatal lihat kelakuannya yang semakin hari keterlaluan. Apa salah aku menasihatinya? Dia adikku kan ya?" "Menasihati bagaimana?" "Aku hanya berpesan supaya dia menjaga dirinya. Dia wanita. Dan kamu tau dia berkata apa?" Cintya menarik napas perlahan, "Dengan kurang ajarnya dia bilang mempertahankan keperawanan atau tidak itu pilihan setiap wanita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti kalau dia menikah dan apabila dia sudah tidak perawan. Bagaimana tanggapan suaminya?" Rayyan benar – benar terkejut mendengar penuturan Cintya. Untuk menutupi keterkejutannya, Rayyan menggenggam tangan Cintya dan meremasnya pelan. "Banyak kok pria yang tidak masalah calon istrinya perawan atau tidak. Jika memang seperti itu, doakan agar Sena menemukan pria baik yang tulus menerima kekurangannya." Cintya tersenyum tipis dan mengangguk. "Semoga aja. Makan rotinya, nanti keburu telat datang ke sekolahnya." Rayyan tersenyum dan menarik tengkuk Cintya, pria itu pun mendaratkan ciuman di kening Cintya sebelum memakan sarapannya. ** Baru saja Sena menginjakkan kaki di kelasnya, iris matanya menatap keberadaan Bima yang tersenyum penuh kepongahan dan sedang duduk di atas meja Sena. Sena tidak mungkin mengusir pria itu. Dia akhirnya mau tidak mau menghampiri Bima dengan raut kesal yang tidak sedang dia sembunyikan. "Kenapa lo ke sini?" "Mau lihat elo lah. Kemarin lo ngapain nggak masuk?" "Bukan urusan lo." Bima berdecak, dia turun dari atas kursi lalu berdiri saling berhadapan dengan Sena. "Ngapain lo ke sini?" "Nanti malam Nova ngadain party. Lo mau gabung nggak?" "Gue nggak bisa." "Nova kan teman lo. Masa iya lo nggak datang ke party teman lo sendiri?" "Gue sudah bilang ke Nova gue ada urusan." "Urusan apa? Berkencan sama Pak Rayyan?" Sontak beberapa teman Sena yang ada di kelas memutar kepalanya menatap Sena dan Bima. Sena mengumpat lirih dan menatap marah pada Bima yang tengah menunjukkan smirknya setelah membuka rahasia antara Rayyan dan Sena. "Lo apa – apaan sih! Gue nggak ada hubungan apa – apa sama dia!" "Santai aja kali kalau lo memang nggak ada affair sama Pak Rayyan." Oke. Sena diam. Dia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Entah mengapa, kini rasanya Sena ingin meninju wajah Bima. Tapi dia tahan. "Lo mau apa?" "Nanti malam datang ke party Nova sama gue." "Oke fine. Puas lo?" Bima mengangguk dan tersenyum lebar. "Gue jemput lo di rumah jam tujuh." "Lo nggak tau rumah gue. Kita ketemuan di ru—" Bima sedikit mencondongkan kepalanya di cuping telinga Sena dan berbisik, "Kata siapa? Gue tau kok kalau lo tinggal serumah sama Pak Rayyan." Kedua tangan Sena terkepal kuat mendengar penuturan yang terlontar dari bibir Bima. Bima sendirg cukup puas melihat raut keterkejutan yang tercetak dengan jelas di wajah Sena. Dia pun mencuri kesempatan mengecup pipi Sena, lalu melangkah keluar dari kelas Sena meninggalkan Sena yang berdiri kaku dengan tangan saling terkepal kuat. ** Tepat pukul 7 malam bel di rumah Rayyan berbunyi, dari arah dapur Bi Anik berlari keluar dan membuka pintu rumah untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah remaja bertubuh jangkung yang sepertinya baru pertama kali di lihat Bi Ani bertamu ke rumah. "Cari siapa ya Den?" "Saya cari Sena, Bi. Rumah Sena kan ini?" "Ah Non Sena? Aden temannya?" Bima; remaja jangkung itu mengangguk. Bi Anik segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Bima untuk masuk, "Silahkan masuk Den. Silahkan duduk, saya mau panggilkan Non Sena dulu." Bima mengangguk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu tersebut. Bi Anik undur diri, saat dia melewati ruang keluarga, Cintya yang rebahan di sofa seraya menonton televisi pun bertanya, "Siapa yang datang Bi?" "Temannya Non Sena, Bu." Cintya mengernyit bingung karena merasa aneh, tidak biasanya ada teman Sena yang datang berkunjung di rumah. Lalu ingatannya tertuju pada saat Sena menginap di rumah teman cowoknya. Membuat Cintya yang sejak awal tiduran di paha Rayyan seketika menegakkan tubuhnya. "Mau kemana?" "Mau sapa temannya Sena." "Jangan, di sini aja." "Nggak apa - apa. Pengen tau aja. Ayuk ikut, Yang. Bisa jadi temannya Sena murid kamu di sekolah." Rayyan menghela napas ketika Cintya menarik tangannya menuju ruang tamu. Di ruang tamu, Rayyan melihat salah satu anak didiknya. Rayyan memang lupa dengan namanya, tapi tidak lupa dengan raut wajahnya. "Kamu temannya Sena?" Bima segera berdiri ketika melihat sepasang pria dan wanita. Bima memang mengenal Si Pria, tapi tidak mengenal Si Wanita. "Ah iya Teh. Saya teman sekolahnya Sena." "Kenal juga sama suami saya dong?" "Kenal Teh. Pak Rayyan, selamat malam, Pak." Sapa Bima pada Rayyan sembari menjabat tangannya. Lalu Cintya juga mengulurkan tangannya dan langsung di jabat Bima. "Bima, Teh." "Cintya, kakaknya Sena." Mendengar itu tanpa sadar sudut bibir Bima tertarik menunjukkan seringai kecil. Dia tidak menyangka bahwa Sena benar – benar terlibat affair dengan kakak iparnya. "Duduk, yuk." Ajak Cintya dan mempersilahkan Bima duduk. Sedangkan ia dan Rayyan duduk tepat di depan Bima. "Mau pergi ke mana sama Sena?" "Teman kami mengadakan Party, Teh. Jadi saya mau jemput Sena." "Oh begitu." Cintya menganggukkan kepala, lalu melirik suaminya yang lebih banyak diam. "Nanti pulangnya jangan malam – malam ya?" "Ah iya Teh." "Kalau bisa jangan ajak Sena menginap di rumah kamu lagi. Atau kalau Sena ingin menginap, paksa saja dia pulang ke rumah ya? Kemarin itu, suami saya semalaman mencari Sena. Untungnya dia pulang dengan selamat." Bima merasa ada yang tidak beres dengan ucapan kakak Sena barusan. Lalu dia teringat kemarin lusa Sena tidak masuk ke sekolah dan tiba – tiba saja di otaknya menarik kesimpulan kalau kemungkinan Sena menghabiskan waktunya dengan Rayyan. Ahh—memikirkan itu membuat Bima semakin tertarik dengan Sena. Belum sempat Bima menanggapi ucapan Cintya, Sena sudah tiba di ruang tamu. Melihat cara berpakaian Sena, entah mengapa Cintya melotot dan menatap tajam adiknya. "Pakaian kamu!" Guman Cintya berat dan tajam. Sena menatap pakaiannya, lalu menatap kakaknya. "Tidak ada yang salah sama pakaianku." "Ganti baju kamu. Pakai jaket atau cardigan kalau nggak kakak nggak kasih izin kamu keluar rumah." "Sena nggak ada waktu. Nggak enak datang telat ke party teman Sena. Dah yuk, Bim. Keburu telat." Ajak Sena sembari menarik lengan Bima dan mengajak keluar rumah meninggalkan Cintya yang seketika pusing kepala melihat adiknya hanya memakai tanktop bra juga rok hitam di atas lutut. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN