Aku benar-benar merasakan jantungku berdetak begitu kencang, wajahku memerah padam ketika melihat San terbaring mengenakan pakaian tidurnya di ranjang yang harusnya kami gunakan untuk melakukan malam pertama. Hanya saja aku dan San tidur terpisah, aku tidur di sofa sementara San tidur di atas ranjang, aku menikahinya bukan semata-mata karena menginginkannya, aku juga ingin menjadi pria pertama yang mencintainya dengan tulus dan melindunginya dalam keadaan apa pun.
Ketika kami bertemu di hutan The Ancient Forest, aku langsung jatuh hati kepada gadis itu, anggap saja seperti itu, karena semenjak pertemuan kami kala itu, aku dan dirinya saling memberi kabar dan tidak terpisahkan, kami sering makan bersama, minum kopi bersama dan terkadang juga kami sarapan bersama, aku sempat mengira gadis itu tidak memiliki teman, hanya aku temannya dan hanya aku yang siap menemaninya, karena pertemuan yang sering kami lakukan itu, membuatku jatuh hati dan tidak ingin melepaskannya, aku tidak tahu sejak kapan perasaan ini datang, tapi setahuku, aku sepertinya jatuh hati kepadanya pandangan pertama.
Aku terus menatap wajahnya dan berdiri dihadapannya. Aku tidak bisa menjauhkan pandanganku darinya, aku tidak bisa hanya memalingkan wajah sejenak, karena hanya dengan cara ini aku bisa menatapnya puas.
Ku langkahkan kakiku menuju sofa, sudah hampir satu jam aku berdiri di sini dan menatap wajahnya, sudah waktunya aku tidur agar besok bangun sudah bugar kembali.
Aku berbaring di sofabed dan menatap pemandangan diluar sana, karena tirai masih terbuka lebar, hanya cahaya temaram lampu yang menandakan bahwa malam telah larut, hanya cahaya diluar sana masih terlihat kelap-kelip.
Ku pejamkan mataku dan akhirnya lelap menjemputku.
***
Pagi menunjukkan pukul 9, aku bergegas mandi dan berganti pakaian, sementara San sudah rapi dan sudah bersiap menuju resto untuk sarapan.
Tak butuh waktu lama aku sudah siap, aku mengenakan pakaian casual karena ini masih hari liburku.
“Apa kamu sudah siap?” tanya San yang masih duduk menungguku.
“Aku sudah siap.” Aku mengangguk.
“Ya sudah. Aku sudah lapar,” kata San bangkit dari duduknya.
Aku mengangguk.
Ketika kami hendak melangkah menuju pintu, suara ketukan pintu terdengar, aku menoleh menatap San yang kini mengangkat kedua bahunya, aku bergegas membuka pintu dan melihat empat pegawai hotel datang membawa meja dorong dengan beberapa menu makanan di atasnya.
“Selamat pagi, Tuan Muda,” ucap salah satu atasan para pegawai tersebut.
“Selamat pagi. Ada apa ini? Kami tidak memesan layanan kamar.”
“Kami hanya menjalankan perintah dan membawa semua menu makanan ini kemari.”
“Ada apa, Xav?” tanya San dan menghampiriku.
“Sepertinya ada layanan kamar,” jawabku dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Aku jadi merasa ada yang aneh, namun aku tidak mau memberitahu San, karena itu akan membuatnya mengomel.
“Kalian bawa di bawah saja, kami mau menikmati waktu diluar,” kata San.
“Maafkan kami, Nona, kami tidak bisa melakukannya, karena kami mendapatkan perintah mengantarkan makanan ini kemari.”
“Ya sudah. Bawa masuk saja,” kata San dengan nada kesal.
“Apa tidak bisa kalian bawa kembali?” tanyaku karena melihat kekesalan San.
“Maafkan kami, Tuan muda, kami tidak bisa melakukannya.”
“Karena perintah lagi?” tanya San. “Sudah aku katakan bawa saja masuk.”
Semuanya lalu membawa masuk makanan yang begitu banyak, entah siapa yang akan menghabiskan makanan ini, lalu dua orang membuka kulkas mini dan memasukkan beberapa makanan yang sudah di tutup dan di sterilkan.
“Kenapa memasukkannya ke dalam kulkas?” tanyaku menautkan alis.
“Ini juga perintah yang kami dapatkan, kemungkinan Tuan Muda dan Nona kelaparan,” jawab pegawai tersebut.
Aku menggaruk tengkuk, benar-benar aneh, namun karena itu perintah dari atasan mereka, aku dan San diam saja, dan berusaha menerima perlakuan ini. Aku menganggap karena kemungkinan semua makanan ini adalah layanan spesial untuk kami penganti baru dan menu makanannya juga adalah menu makanan sehat.
“Aku bingung, Xav,” ucap San.
“Aku juga, San.”
“Nanti semuanya mubazir, Xav, sayang kalau terbuang, kita sarapan saja di sini dan setelah itu kita jalan-jalan keluar,” kata San.
Aku mengangguk, apalagi yang bisa aku lakukan jika sudah San yang memutuskan, bagiku apa pun yang menyenangkan bagi San, aku akan menurutinya.
“Kami permisi, Tuan Muda, Nona,” ucap pegawai itu.
Aku dan San mengangguk dan mereka pun berlalu pergi.
“Sepertinya makanan ini tidak akan habis sampai malam,” geleng San membuatku mengangguk, memang benar apa yang dikatakan San, ini tidak akan habis untuk kita berdua.
“Kita makan saja dulu, nanti setelah itu kita bisa menyuruh mereka datang membereskannya.”
San mengangguk. Kami sudah berpakaian dan kami sudah bersiap keluar sarapan, namun kami tertahan oleh semua menu makanan ini.
“Aku tidak menyangka akan ada layanan kamar pemaksaan seperti ini,” kekeh San.
Aku tertawa kecil dan berkata, “Sepertinya pemaksaan mereka berhasil.”
“Benar katamu,” angguk San.
Kami pun sarapan ala kadarnya dan memang benar kata San, makanan ini tidak akan habis dan memang tidak habis, masih beberapa persen kami memakannya dan sebagian besar tidak kami habiskan, bahkan banyak menu yang tidak kami buka.
Tak butuh waktu lama, kami pun selesai sarapan dan minum sesuai yang di siapkan, mengabaikan tatapan seluruh makanan di depan kami, makanan yang benar-benar tidak bisa aku abaikan hanya saja karena banyak sekali, jadi kami menyisahkannya.
“Aku benar-benar bosan di kamar terus, ayo kita pergi,” kata San.
“Baiklah.” Aku menganggukkan kepala.
Aku dan San lalu melangkah menuju pintu dan pintu tertutup rapat, kami sudah membukanya bahkan menggunakan lockcard, namun tetap tidak berhasil, pintu tidak terbuka, dan aku baru menyadari satu hal, sudah ada yang aneh ketika layanan kamar datang dan beberapa menu makanan di masukkan ke dalam kulkas untuk di awetkan agar bertahan hingga malam hari, dan ternyata ini pasti rencana seseorang, dan siapa lagi kalau bukan nenek.
Aku menggelengkan kepala, dan sudah menyerah karena tidak ada cara yang ampuh untuk membuka pintu ini, hanya ada satu cara jika ingin memaksa keluar, yaitu lewat lubang udara atau melompat dari kaca dinding, tapi tidak ada yang selamat untuk itu.
“Wah. Kita di kerjain sepertinya, Xav,” kata San. “Dan, aku sudah curiga ada yang aneh dan memang benar, keanehan ini pasti di ciptakan oleh Nenek kita.”
“Benar katamu dan aku tidak bisa melakukan apa pun,” kataku.
“Coba telepon security.”
“Aku sudah melakukannya dan kita di abaikan.”
Sesaat kemudian suara ponselku terdengar, aku melihat nomor nenek menelpon dan sudah pasti mau mengabarkan sesuatu.