Merilyn berkali-kali menarik napas melihat tingkah putrinya yang bersikeras untuk memasak sarapan mereka pagi ini. Sejak mulai tadi Rachel sudah menghabiskan lebih dari sepuluh butir telur ayam untuk percobaan dan hasilnya pun selalu gagal. Merilyn menghitung kerugiannya dalam hati. Sepuluh butir telur sudah bisa jadi lauk makan mereka selama dua hari.
"Sudah iya, Nak. Besok lagi aja belajar masaknya. Sekarang biar Mama saja, waktu sarapan sudah lewat. Takutnya kalian terlambat ke sekolah," kata Merilyn pelan.
"Nggak, Ma. Rachel mau coba terus sampai bisa," tolak Rachel sambil tetap fokus ke adonan telur di depannya. Salah satu kelebihan gadis itu adalah tidak mudah menyerah. Dia terus mencoba sampai bisa bahkan jika itu harus mengorbankan banyak waktunya ataupun satu hari masa sekolahnya. Rachel kembali menyalakan kompor lalu memasukkan adonan telur ke dalam penggorengan. Pelan-pelan dia membalik adonan dan dia berhasil membaliknya meskipun bentuknya tidak sebagus telur yang biasa mamanya buat.
"Yeay! Aku berhasil!" sorak Rachel senang. Dia memindahkan masakannya itu ke piring setelah mematikan kompor.
"Apa itu enak?" tanya Richad. Dia merasa sangsi melihat bentuk telur tersebut.
"Sudah pasti enak. Karena aku yang masak," kata Rachel dengan gaya yang sombong. Dia kemudian membagi telur jadi tiga bagian. Dia menaruh satu bagian di piring mamanya, lalu satu bagian di piringnya dan yang terakhir untuk adik kembarnya itu.
"Sebelum makan mari kita berdoa." Rachel memimpin doa makan untuk mereka.
"Selamat menikmati!" ucap gadis kecil itu dengan semangat setelah selesai memanjatkan doa. Merilyn mencoba telur buatan putrinya lebih dulu. Tidak ada rasanya sama sekali namun, Merilyn tidak langsung memberikan komentar atas masakan yang buat Rachel. Dia ingin menghabiskannya terlebih dahulu. Merilyn memikirkan sebuah rencana untuk mengambil waktu berdua bersama Rachel. Hari di mana mereka hanya akan memasak hingga Rachel mengerti tentang bumbu masakan. Rachel tidak menambahkan bumbu apapun pada masakannya.
"Hambar, nggak ada rasanya sama sekali. Mana dalamnya kurang matang," komentar Richad pedas.
"Tinggal tambahkan kecap sama saus sudah ada rasanya." Merilyn berbisik pada putranya. Dia tidak tega melihat ekspresi Rachel yang kecewa.
"Tapi kamu sudah hebat. Lain kali pasti rasanya lebih enak," kata Richad yang membuat raut wajah Rachel sedikit cerah. Dia belum mencicipi masakannya sejak tadi, dia menunggu komentar mamanya dan Richad. Dia pikir dia akan mendapatkan pujian tadi namun, dia masih harus belajar lebih keras lagi. Tujuannya agar bisa meringankan pekerjaan mamanya. Rachel mulai memikirkan membantu mamanya untuk pekerjaan rumah. Hal itu dipicu salah satu temannya yang suka sekali membantu sang ibu di rumah mereka. Temannya sering kali menceritakan tentang senangnya membantu mamanya. Rachel ingin melakukan hal yang sama.
"Aku akan belajar lebih keras lain kali." Merilyn mengangkat jempolnya untuk menyemangati putri kecilnya itu.
"Mama akan bantu kamu sampai bisa masak."
***
Siang hari setelah pulang sekolah, Merilyn membawa kedua anaknya untuk makan di sebuah warung makan pinggir jalan. Warung itu menjadi salah satu langganan mereka karena rasa makanannya tidak kalah dengan makanan di restoran mall.
Richad dan Rachel serentak mengucapkan kata 'terima kasih' setelah pegawai warung makan itu mengantarkan pesanan mereka.
"Sepertinya kita sering bertemu secara tidak sengaja, iya, Lyn?" Gabe ikut bergabung di meja mereka Dengan membawa serta makannya. Dia sudah lebih dulu tiba sebelum Merilyn dan anak-anaknya. Piringnya pun sudah hampir bersih dari makanan. Mungkin sisa dua suap lagi.
"Sepertinya Om yang kurang kerjaan dengan terus mengikuti kami. Terus terang kami tidak tertarik makan bersama kamu, Om." Richad berucap tanpa melihat Gabe.
Gabe menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Dia cukup canggung menerima penolakan dari anak lelaki Raiden itu. Bukan hanya satu kali, ini adalah yang kedua kalinya. Dia sudah sering menghadapi sikap dingin Raiden dewasa. Akan tetapi dia tetap tidak terbiasa dengan sikap dingin dari Raiden kecil. Rasanya Raiden kecil lidahnya lebih tajam daripada Raiden dewasa.
"Om sangat dekat dengan Mama kalian dulu. Om juga mengenal siapa ay-"
"Duduk saja dan habiskan makanan kamu, Gab dan jangan membicarakan apapun!" Merilyn tidak sadar kalau suaranya meninggi hingga menarik perhatian beberapa pengunjung warung makan itu. Seperti tidak terjadi apapun, Merilyn melanjutkan makan siangnya tanpa peduli dengan keadaan sekitarnya.
"Mama oke?" Rachel menatap mamanya dengan wajah teduh.
"Oke, Nak. Habiskan makanannya iya biar kita pulang." Merilyn menjawab lembut pertanyaan putrinya. Rachel mengangguk kemudian lanjut menyuap makanan ke dalam mulutnya.
Gabe mengangguk lalu menelan sisa makannya yang memang tinggal sedikit. Untuk bisa terus bersama ketiga orang itu dia menambah pesanannya. Pandangan Gabe sesekali bertemu dengan tatapan kesal dari Merilyn.
"Kenapa kamu tidak menikah lagi, Lyn?" Pertanyaan itu tiba-tiba Gabe layangkan pada Merilyn.
"Tidak tertarik," jawab Merilyn pendek. Benar, dia tidak lagi tertarik untuk memulai hubungan dengan pria. Dia merasa merawat dan membesarkan anaknya sudah cukup untuknya. Setidaknya sampai sekarang dia masih memegang teguh prinsip itu.
"Setidaknya kamu melakukan itu untuk melindungi kalian," kata Gabe. Hal tersebut menarik perhatian Merilyn.
"Kami bisa melindungi diri kami sendiri. Tidak perlu bantuan orang lain." Gabe mengangguk. Dia berharap Merilyn memang bisa melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi anak kembarnya dari keluarga Raiden.
"Jangan-jangan kamu belum bisa melupakan dia," kata Gabe lagi dengan nada bercanda. Namun melihat ekspresi Merilyn dia yakin kalau perempuan iti masih menyimpan perasaan pada Raiden.
"Jangan mengharapkannya lagi, Lyn. Dia sudah bertunangan dan akan menikah tidak lama lagi." Gabe membisikkannya pada Merilyn. Lalu kembali fokus pada makanan yang baru saja diantar oleh pegawai warung makan tersebut.
"Om bilang apa sama Mama?" tanya Richad sembari menatap tajam pada Gabe. Dia sama sekali tidak takut menghadapi Gabe yang besar badannya tiga kali lipat darinya.
"Om hanya minta lauk Mama kamu, tapi nggak di kasih." Gabe memilih berbohong karena tidak ingin mendapat amukan dari Merilyn.
"Om segitu miskinnya hingga minta-minta." Kali ini kalimat pedas keluar dari mulut Rachel.
"Om nggak semiskin itu, sih. Om hanya tertarik mencoba makanan yang pilih Mama kamu."
"Kenapa nggak pesan lagi aja? Kenapa harus minta sama Mama?" Gabe kehabisan kata-kata menghadapi anak-anak Merilyn. Mereka benar-benar keturunan Raiden Hartawijaya. Harusnya mereka mengambil sikap mamanya yang lemah lembut bukan seperti Raiden.
"Lyn, aku tegaskan lagi. Jangan mengharapkannya, sebaiknya kamu mendapatkan pria yang bisa melindungi kalian nantinya." gabe kembali berbisik sebelum pergi meninggalkan meja itu. Dia tidak yakin bisa sabar menghadapi anak-anak Merilyn.
"Apa lagi yang dia bilang?" Richad bertanya lagi.
"Dia hanya pamit pergi," jawab Merilyn berbohong. Hatinya kembali berdenyut sakit ketika mendengar Raiden telah memiliki perempuan lain. Namun, dia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Merilyn sudah mampu mengabaikannya meskipun rasa itu tidak nyaman.
Richad diam-diam memperhatikan mamanya. Dia tahu kalau pria bernama Gabe itu mengatakan sesuatu sehingga membuat wajah mamanya sedih. Walaupun hanya sebentar karena mamanya sudah kembali ceria.
"Habis ini kita jadi jalan ke taman kota 'kan, Ma?" tanya Rachel memastikan. Karena tadi mamanya bilang mereka akan pulang setelah makanannya habis. Taman kota yang dia maksud letaknya tidak jauh dari tempat mereka sekarang. Hanya berjarak sekitar dua kilometer saja. Saat di perjalanan tadi Rachel sudah mengatakannya dan Merilyn pun sudah menyetujuinya.
"Iya jadi."
Ketiganya kemudian keluar dari warung makan tersebut lalu mengendari motor menuju taman kota. Merilyn menghentikan motornya di depan sebuah minimarket. Dia lalu meminta Richad turun untuk membeli minuman dan makanan ringan sementara dia dan Rachel menunggu di parkiran.
"Ini semua dihabiskan, Ma?" tanya Richad sembari mengangkat uang seratus ribu yang diberikan Merilyn tadi.
"Nggak dong. Beli minuman dingin tiga sama jajanannya tiga. Di sana juga nanti masih jajan lagi 'kan?" Richad mengangguk.
"Oke!" jawabnya semangat. Dia lalu berlari menuju super market agar Rachel dan mamanya tidak menunggu lama.
"Ups maaf, Om," kata Richad karena tidak sengaja menabrak seorang pria dewasa. Pria itu hanya mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Richad. Melihat sikap pria dewasa itu, Richad hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Dia sudah mengaku bersalah dan meminta maaf.
"Adik namanya siapa?" Tiba-tiba seorang perempuan menghampiri Richad yang sibuk memilih jajanan untuk Rachel.
"Kamu terlihat mirip dengan seseorang yang kukenal, jadi aku penasaran," kata perempuan itu lagi.
"Richad."
"Wahh! Nama yang bagus. Kamu tahu siapa nama ayah kamu, sepertinya dia orang yang kukenal, karena kalian mirip." Richad hanya diam, dia enggan menyebutkan nama ayahnya karena pria itu tidak pernah ada dalam ingatannya.
"Maaf, aku harus pergi." Richad lalu membawa belanjaannya ke kasir meninggalkan perempuan yang sepertinya seumuran dengan mamanya itu.
"Aku ingin kamu menyelidiki seorang anak laki-laki. Namanya, Richad dan fotonya sudah aku kirimkan ke email kamu." perempuan itu menutup panggilan teleponnya sembari terus memperhatikan Richad yang keluar dari minimarket hingga menghilang dari pandangannya.
***