Merilyn mengawasi Rachel yang asik bermain dengan seorang teman yang baru dikenalnya. Sementara Richad sibuk membaca buku di samping kirinya. Beberapa anak laki-laki mencoba mengajaknya bermain bola namun, Richad menolak karena belum selesai membaca bagian akhir dari buku yang dia pinjam dari perpustakaan sekolah. Besok buku itu harus dia kembalikan lagi ke perpustakaan.
"Hei, kamu mau main bola sama kita? Kita kurang satu orang lagi untuk main." Segerombolan anak-anak kembali datang pada Richad. Mereka membujuk Richad agar mau bermain dengan mereka.
"Kamu nggak mau pergi main sama mereka, Chad?" Merilyn menatap putranya.
"Pergilah! Nanti malam bisa lanjut baca buku lagi," kata Merilyn lagi. Richad terlihat berpikir untuk waktu yang singkat, tidak lama kemudian dia mengangguk untuk menerima ajak anak-anak tersebut.
Sebelum pergi bermain mereka saling mengenalkan diri. Richad termasuk orang yang mudah bergaul, dia bisa menyesuaikan diri dengan baik. Merilyn tersenyum melihat Rachel yang tertawa lebar bersama temannya. Sementara itu dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah Richad yang baru saja berhasil memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Senyum Merilyn langsung pudar begitu melihat ekspresi Richad. Ekspresi yang membuat Merilyn teringat dengan Raiden. Merilyn buru-buru mengalihkan pandangannya pada Rachel, dia tidak ingin membuat suasana hatinya menjadi buruk karena teringat dengan mantan suaminya itu.
"Mama masih punya minum?" Richad berjalan mendekat dengan mamanya. Wajahnya penuh dengan keringat, sesekali dia menyekanya dengan tangan. Merilyn semakin terbayang wajah Raiden, hatinya semakin sesak karena yang muncul di kepalanya adalah momen perpisahan mereka.
"Mama baik-baik saja?" Richad menyentuh tangannya mamanya.
"Mama baik-baik saja, Nak. Ini minumlah." Merilyn memberikan minum miliknya pada putranya. Richad minum cukup banyak, setelahnya dia kembali berlari ke teman-temannya.
Merilyn menghela napasnya dia hampir kelepasan tadi. Sejak bertemu kembali dengan Gabe dia jadi semakin sering teringat dengan Raiden. Bagaimana pun dia harus bisa melupakan pria itu karena mereka tidak akan pernah lagi bisa bersama. Sebenarnya apa yang Merilyn harapkan? Raiden harusnya lebih kejam di awal pernikahan mereka sehingga Merilyn tidak perlu repot-repot untuk jatuh cinta. Namun, Raiden mencurahkan seluruh perhatiannya pada Merilyn hal yang membuat Merilyn mengharapkan lebih banyak lagi dari pria itu. Harapan yang akhirnya dipatahkan oleh perpisahan mereka.
"Mama sakit?" Rachel tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya tanpa Merilyn sadari. Dia ternyata melamun cukup lama.
"Oh, nggak kok. Mama nggak sakit," ucap Merilyn. Dia memperhatikan putrinya lalu dia buru-buru mengajak Rachel duduk.
"Ini kenapa bisa berdarah?" Merilyn menunjuk lutut putrinya yang luka. Luka tidak begitu dalam namun, meneteskan darah segar dari luka tersebut.
"Tadi aku jatuh waktu main kejar-kejar sama Ina," jawab Rachel. Dia tidak terlihat kesakitan dengan luka yang terbuka di lututnya. Padahal seharunya dia menangis seperti yang dia lakukan biasanya. Kali ini dia mampu menahannya karena banyak orang yang melihat ke arahnya. Terlebih teman-temannya saat bermain tadi.
"Apa ini tidak sakit?" tanya Merilyn. Dia sedang membersihkan luka di kaki putrinya dengan air bersih lalu mengambil kotak P3K ukuran kecil yang selalu Merilyn bawa di dalam tasnya. Rachel menggeleng namun, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan hal yang sama. Dia menutup matanya dan juga mengerutkan kening menahan rasa perih dari lukanya yang sedang diobati.
"Sudah selesai," kata Merilyn setelah menutup luka Rachel dengan plester luka.
"Boleh main lagi, Ma?" Merilyn melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya untuk melihat waktu.
"Setengah jam lagi aja, iya setelah itu kita pulang. Ini sudah hampir sore."
"Baik!" sahut Rachel semangat. Dia kembali bergabung dengan teman-temannya untuk bermain. Sementara itu Merilyn mengamati Richad yang sudah selesai bermain bola. Anak laki-lakinya itu sedang duduk sambil berbincang bersama salah satu teman mainnya. Entah apa yang tengah mereka bicarakan.
Semakin sore taman kota semakin ramai. Tidak hanya anak-anak dengan orang tua mereka. Muda-mudi pun ikut meramaikan taman kota sore itu. Merilyn mengamati suasana taman dan tidak sengaja matanya menangkap keberadaan seseorang dari masa lalunya. Raiden, entah apa yang pria itu lakukan di taman seperti ini. Seingatnya pria itu tidak terlalu suka dengan tempat terbuka apalagi dengan kondisi yang sangat ramai.
Semua hal sepertinya sudah berubah. Merilyn tersenyum miris melihat tangan perempuan cantik yang melingkar sempurna di lengan Raiden. Merilyn buru-buru berbalik saat Raiden menoleh ke arahnya, mungkin pria itu merasakan kalau dia tengah di perhatikan. Saat kedua orang itu menjauh, Merilyn memanggil anak-anaknya.
"Kita pulang sekarang," kata Merilyn. Dia membereskan barang bawaan mereka lalu dengan cepat menggiring keduanya menuju parkiran motor.
"Katanya tadi setengah jam lagi, ini masih ada lima belas menit lagi, Ma. Kenapa harus langsung pulang?" Rachel mengomel karena waktu mainnya dipotong.
"Mendung, Hel. Kamu nggak lihat?" Rasanya hanya itu alasan yang bisa diberikan Merilyn padahal suasana sore itu justru berbanding terbaik dengan apa yang Merilyn sebutkan.
"Mendung dari mana, sih, Ma panas begini?" Rachel dan Richad menatap bingung pada sang Ibu.
"Oh, ini udah panas lagi. Tadi mendung loh." Merilyn sepertinya tidak pandai berbohong. Dia kemudian tersenyum kecil pada anak-anaknya.
"Sudah terlalu sore, Mama belum masak untuk makan malam kita." Merilyn kembali memberikan alasan namun, kali ini lebih masuk akal.
Merilyn menyalakan mesin motornya, Rachel naik lebih dulu lalu Richad di belakang. Merilyn sudah bisa membonceng anak-anaknya sejak usia mereka tiga tahun. Dia bersyukur mereka tidak pernah mendapatkan kecelakaan dan berdoa semoga tidak mengalaminya di kemudian hari.
***
Bangun pagi sekali Rachel sudah berkutat di dapur. Dia bangun lebih dulu dibandingkan mamanya dan Richad. Rachel ingin kembali memasak. Dia telah selesai menonton video di internet. Video tentang bagaimana cara memasak nasi goreng yang enak. Kali ini dia yakin kalau dia akan mendapat pujian dari mamanya dan juga saudara kembarnya itu.
Pertama-tama Rachel mengambil nasi sisa kemarin malam dari dalam penanak nasi atau rice cooker. Dia kemudian mulai meracik bumbu untuk nasi goreng buatannya. Rachel mencampur semua bumbu untuk dia haluskan. Parahnya dia tidak bisa membedakan yang mana lada putih dan yang mana ketumbar. Setelah dia juga bingung membedakan jahe dan lengkuas. Rachel lalu dengan percaya diri memasukkan keduanya ke dalam blender dengan pemahaman kalau dua bahan bumbu masak tersebut tidak akan mempengaruhi rasanya. Setelahnya dia lupa harus menambahkan apa lagi, ingin menonton videonya lagi namun ponselnya berada di dalam kamar. Rachel terlalu malas untuk kembali ke kamar.
"Tambahkan saja semuanya. Semakin banyak bumbu pasti semakin enak," gumam Rachel pelan. Entah pemahaman dari mana yang pasti gadis kecil tidak tanggung memasukkan setiap macam bahan bumbu masakan. Racikan bumbunya hampir penuh satu blender sementara itu campuran nasinya hanya tiga porsi. Entah akan seperti apa rasanya nanti.
***