9. TAWARAN GILA

1273 Kata
“Eve, kamu nggak kerja?” Pertanyaan Sukma terlontar, lantaran Eve datang saat siang hari. Tidak biasanya Eve datang disaat jam kerja. Keponakannya akan datang saat malam, lalu tidur di sini untuk menemaninya. Begitu terus sejak ia masuk rumah sakit. Kondisi Sukma sudah jauh membaik setelah menerima perawatan. Meski sempat mendapat tindakan karena ternyata bibinya itu menderita batu ginjal. Untungnya semua proses operasi berjalan lancar dan tidak butuh waktu yang lama. Seminggu berlalu, keadaan sudah semakin baik. Eve tersenyum, mengusap punggung tangan bibinya. “Aku lagi jam istirahat, Bi. Jadi aku sempatkan ke sini dulu.” “Oh begitu. Bibi takut kamu dipecat, Eve,” gumam Sukma. Seketika Eve merasa bersalah atas apa yang dikatakan Sukma. Wanita paruh baya itu, pasti mengingat kembali soal kehilangan pekerjaan yang dialami akibat ulah dirinya. Eve menggeleng, menggenggam tangan Sukma erat. “Enggak akan, Bi. Aku akan terus bekerja, menebus kesalahan yang sudah aku lakukan.” Senyum tipis terbit di wajah Sukma. “Oh iya, kata dokter, besok Bibi sudah bisa pulang.” “Oh iya?” Eve antusias. “Syukurlah. Aku senang dengar kabar baik ini, Bi. Jadi kondisi Bibi sudah dinyatakan membaik. Apa bekas operasinya nggak ada masalah?” “Nggak Eve. Sudah dilakukan pengecekan, dan hasilnya baik. Tapi dokter tetap suruh Bibi istirahat dan jangan sampai stres atau bekerja terlalu berat.” “Bibi sudah dengar langsung dari dokter, artinya Bibi nggak boleh melanggar.” Wajah Sukma mendadak sendu. Eve memperhatikan dengan rasa ingin tahu. “Kenapa murung, Bi? Apa Bibi nggak senang dengan kabar ini?” “Eve, apa Bibi bisa pulang?” tanyanya. Kening Eve mengkerut. “Maksud Bibi? Dokter sudah izinin, kan?” “Masalahnya, biayanya pasti mahal. Penyakit Bibi bukan Cuma maag tapi juga ada operasi. Gimana kita bisa bayar jika kondisi keuangan keluarga kita seperti ini,” jelas Sukma miris. Seketika hati Eve terasa teriris. Dalam keadaan seperti ini, banyak sekali beban yang harus Sukma pikirkan. Eve berusaha tersenyum dan bersikap santai. “Bi Sukma tenang saja. Aku punya tabungan buat bayar rumah sakit Bibi. Yang penting sekarang, Bi Sukma sudah sembuh. Dan harus dengar kata-kata dokter.” “Terima kasih ya, Eve. Kamu keponakan tapi bersikap seakan seperti anak Bibi. Sedangkan Dude, dia sama sekali tidak peduli bagaimana keadaan Bibi.” Eve menggeleng. “Bi, jangan berpikiran buruk sama Dude. Dia juga jagain Bibi selama aku kerja. Jadi, tetap saja dia peduli.” Sukma mengangguk. “Kamu benar-benar mirip dengan ibumu, Eve. Selalu bersikap hangat dan ceria. Terima kasih sudah menemani Bibi.” “Aku yang berterima kasih sama Bi Sukma. Apa jadinya aku tanpa Bibi.” Eve beranjak dari duduknya. Perlahan membungkuk, memeluk Sukma dengan lembut. “Jangan tinggalin aku, Bi. Tetap sehat seperti sedia kala. Hidup lama bersamaku,” ucapnya tulus. *** Langkah kaki Eve nampak lemas, setelah ia pergi untuk bertanya, berapa kisaran biaya rumah sakit Sukma. Awalnya ia tidak berniat melakukan ini. Tetapi, perasaannya mendorong untuk bertanya agar besok, semuanya bisa diurus dengan lancar. Namun kini, ia justru tidak tenang karena tahu, biaya pengobatan dan perawatan Sukma nilainya cukup besar. Terang saja, rumah sakit swasta ini cukup terkenal dan sebanding dengan biayanya yang mahal. “Sekarang aku harus gimana?” gumam Eve sedih. “Dari mana aku bisa dapatkan uang sebanyak itu. Sedangkan tabunganku nggak cukup untuk menutupi biayanya.” “Eve!” Wanita itu menoleh, mencari tahu siapa yang memanggilnya. Begitu wajah Dude terlihat di pandangannya, seketika Eve menghela napas pelan. Sungguh, saat ini energinya tidak cukup jika harus berdebat dengan kakak sepupunya. “Eve, kamu dari mana?” “Ketemu Bi Sukma. Kenapa?” tanya Eve malas. “Bagi duit. Lapar dan butuh rokok.” Kening Eve mengkerut, matanya mendelik tajam. “Nggak malu minta uang sama perempuan?” “Aku sedang minta tanggung jawab. Bukan lagi malak!” “Sama saja. Harusnya malu, sudah setua ini masih pengangguran dan jadi beban keluarga,” sindir Eve tajam. Seketika tangan Dude terangkat, memegang dagu Eve dengan kasar. “Jangan menghinaku, sialan!” Eve melawan dengan melepaskan tangan Dude di dagunya. “Coba sekali saja pikiran biaya rumah sakit Bi Sukma. Kamu tahu, besok Bi Sukma sudah boleh pulang. Itu artinya, kita harus membayar biaya rumah sakit.” “Itu tanggung jawab kamu. Siapa suruh buat mamaku pingsan dan juga kehilangan pekerjaan!” “Aku tahu, aku salah. Tapi setidaknya kamu jangan menjadi beban juga. Biarkan aku fokus mencari uang untuk biaya rumah sakit Bi Sukma!” Dude mengerang kesal. “Makanya jangan bawa mamaku ke sini.” “Aku mau Bi Sukma dapat perawatan yang terbaik. Kamu tahu, aku sangat takut kehilangan Bi Sukma. Cuma dia yang aku punya di dunia ini,” balas Eve penuh emosi. Suasana mendadak hening. Dude nampak sedang berpikir. Sedangkan Eve, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Suasana di halaman rumah sakit cukup ramai. Tidak ingin semakin menarik perhatian akibat pertengkarannya dengan Dude. Dude berdeham pelan,“Aku ada cara untuk membantu kamu.” “Cara apa maksud kamu?” tanya Eve curiga. “Mendapatkan uang dalam jumlah banyak, tanpa melakukan pekerjaan yang sulit.” Kedua alis Eve tertaut. “Maksud kamu apa?” “Ikut aku. Kita cari tempat duduk.” Dude menarik tangan Eve dengan tergesa-gesa. “Aku nggak ada waktu. Jam istirahatku sudah hampir habis.” “Sebentar saja!” Keduanya duduk di kursi kayu yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka berdebat. Cuaca cukup panas, ditambah pembahasan yang sangat menguras pikiran. Benar-benar situasi yang tidak kondusif. “Kamu mau jelasin apa? Aku harus cepat balik ke butik.” “Jadi begini, aku punya kenalan pengusaha sukses. Dia minta aku untuk cari teman karaoke. Dia orangnya sangat pemilih, tidak suka bertemu dengan sembarangan wanita. Menjanjikan imbalan yang menggiurkan. Daripada aku cari wanita yang tidak jelas asal usulnya, aku berniat membawa kamu. Kebetulan juga, kita dalam kesulitan keuangan jadi sebaiknya kamu terima,” jelas Dude. “Kamu gila!” “Apanya yang gila?” tanya Dude tanpa rasa bersalah. “Kamu Cuma temani dia saja. Tanpa harus tidur dengan dia. Apanya yang sulit, Eve?” Eve menggeleng tegas. “Enggak. Aku nggak akan pernah mengambil pekerjaan itu. Kamu pikir aku wanita gampangann yang mudah menemani pria yang suka main perempuan?” “Dia bukan pria nakal. Dia orang yang terpandang dan berkelas!” “Kalau dia memang berkelas dan terpandang, harusnya dia tidak bersikap seperti itu.” Lagi-lagi tangan Dude memegang wajah Eve dengan kasar. Menatap adik sepupunya tajam dan penuh emosi. “Jangan sok suci, Eve. Aku yakin kamu sudah sering melakukannya. Hanya saja kamu tutupi dengan keluguanmu itu.” Suara tangan Eve mendarat di permukaan pipi Dude terdengar nyaring. Wanita itu marah atas apa yang Dude sangkakan kepadanya. “Kamu berani menamparku!” “Kenapa tidak?” tantang Eve. “Kamu ini sampah masyarakat dan Cuma bisa buat onar dan susah.” “Diam Eve! Atau aku akan melukai wajahmu!” ancam Dude. Jantung Eve berdetak cepat. Emosinya pecah tapi ada rasa khawatir terhadap apa yang Dude katakan. Takut jika Dude melakukan hal yang cukup nekat. “Pikirkan baik-baik tawaranku. Aku akan tekankan lagi. Pekerjaan ini hanya menemani dia karaoke dan minum tanpa harus tidur bersama. Kalau sampai dia melanggar janji, aku yang akan bertindak,” jelas Dude dengan sisa emosinya. “Kalau kamu menolak, maka kamu tahu resikonya. Biaya rumah sakit mama, tidak akan pernah bisa kita bayar.” Tubuh Eve melemas. Menatap kepergian Dude, setelah pria itu mengoceh akan hal yang tidak bisa ia terima. Eve marah dan juga bingung. Tangannya mengusap kasar wajahnya yang basah karena air mata yang menetes. “Harusnya kamu tahu, tawaranmu barusan, sama saja dengan menjualku. Sebagai kakak, setega itu kamu kepadaku,” ucap Eve sedih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN