12. MANGSA YANG SIAP DITERKAM

1407 Kata
Evelyn segera membereskan meja kerjanya, sebelum meninggalkan butik. Beruntung tidak ada pekerjaan penting yang memaksanya untuk tetap tinggal. Tujuannya pulang buru-buru karena malam ini adalah malam yang cukup penting. Bukan untuk melakukan hal yang membanggakan. Dan mungkin akan menjadi salah satu malam yang akan Eve sesali di dalam hidupnya. Baru saja ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya, tiba-tiba benda pipih itu berdering. Eve sempat kaget. Buru-buru mengambil dan melihat siapa yang menelepon. Nomor tidak dikenal, terlihat di layar ponselnya. “Siapa yang telpon?” gumamnya. Eve mengabaikan dan tidak menjawab. Namun benda itu kembali berbunyi, dan menampakkan nomor yang sama. Hati Eve menolak untuk menjawab. Namun pikirannya membangun rasa penasaran. Ingin tahu siapa yang meneleponnya. “Enggak, jangan dijawab Eve. Kalau memang penting, pasti dia akan kirim pesan. Aku nggak mau, kejadian dulu terulang lagi. Dia nggak boleh tahu, apa pun tentangku,” gumanya dalam hati. Keputusan Eve adalah kembali menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Mengaktifkan mode senyap, agar ia tidak merasa terganggu. Tidak mau menambah beban pikirannya, setidaknya untuk hari ini. “Eve!” Baru saja kakinya melangkah ke anak tangga, seseorang memanggilnya. Eve menoleh, melihat Ranza berjalan ke arahnya. “Ran?” “Jangan lupa, besok kesempatan terakhir kamu.” Eve menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Aku ingat, Ran. Kamu tenang saja, aku nggak akan membuat kamu kehilangan pekerjaan.” Begitu menyelesaikan kalimatnya, Eve kembali melangkah pelan. Meniti anak tangga, untuk pulang. Dengan perasaan gugup dan juga gelisah, Eve mencoba untuk melewati hari ini sebaik mungkin. Baru saja Eve keluar dari butik, ia dikejutkan dengan kemunculan seseorang. Bukan pangeran berkuda putih yang akan menjemput tuan putri. Atau kereta labu yang siap mengantar cinderella ke sebuah pesta. Tetapi Dude yang siap membawanya ke pria yang akan membayar mahal dirinya. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Eve dengan wajah kaget dan tidak suka. Dude membuang rokoknya, lalu menginjak dengan kaki agar baranya padam. “Aku jemput ke sini, mau memastikan kalau kamu nggak kabur.” Eve tersenyum kecut. “Mana mungkin.” “Kalau begitu, ikut aku. Kita beli baju dan ke pergi salon agar penampilan kamu sempurna.” “Enggak perlu. Aku juga masih punya pakaian layak. Jadi jangan mengaturku.” Dude mencekal tangan Eve dengan kasar. Membuat adik sepupunya itu meringis kesakitan. “Jangan membantah. Ikuti saja apa yang aku bilang!” *** Mobil taksi yang ditumpangi Eve dan Dude, berhenti di salah satu tempat karaoke dan bar yang cukup terkenal di Jakarta. Bukan sembarang tempat. Hanya didatangi oleh kalangan atas yang berduit. Jika hanya rakyat biasa, jangan bermimpi bisa masuk ke tempat ini. “Ayo masuk.” Eve bergeming. Tidak mendengarkan dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Dude. Tatapannya ragu. Tangannya terus menarik mini dress berwarna hitam yang digunakan. Ia benar-benar tidak nyaman. Ditambah heels yang cukup tinggi, seakan siap membuatnya terjungkal. “Kenapa diam? Ayo!” teriak Dude. “Aku …aku ragu,” ujarnya. Kening Dude mengkerut. Wajahnya menegang dan tatapan matanya tajam. Lantas, tangannya begitu kasar menarik Eve. “Jangan omong kosong dan membuat masalah. Kalau kamu berubah pikiran, aku seret kamu ke dalam,” ancam Dude. “Ingat Eve, kamu butuh uang untuk mengembalikan uang yang kamu pinjam. Jadi lakukan saja tugasmu, maka kita akan dapat bayaran besar.” Apa yang dikatakan Dude benar. Tetapi, ia sendiri benar-benar ingin pergi dari tempat ini. “Ayo ikut aku!” Akhirnya, dengan pasrah Eve ditarik oleh Dude, agar masuk ke tempat hiburan malam itu. Ini kali pertama wanita itu menginjakkan kaki di sini. Langsung membuat kepala Eve pening. Suasana yang gelap, memancing rasa takutnya. Bagaimana mungkin ia bisa mempercayakan keselamatannya pada Dude, yang sudah jelas hanya ingin memanfaatkannya saja. Setelah melewati lorong yang cukup panjang dan berliku, akhirnya Eve dan Dude sampai di depan pintu sebuah ruangan. Di depannya dijaga oleh dua orang bertubuh tinggi tegap. Membuat jantung Eve semakin berdetak cepat, karena ketakutan. Dude mengeluarkan ponselnya. Mengutak-atik singkat, lalu diberikan kepada salah satu penjaga. Pria itu menunggu sampai akhirnya dipersilakan masuk. “Tunggu!” “Kenapa?” tanya Dude. Wajah Eve gugup. “Aku …aku perlu ke toilet.” “Kenapa harus sekarang?” “Aku gugup. Jadi perutku mual. Sebentar saja, aku nggak akan kabur.” Pria itu menghela napas pelan. “Baiklah. Jangan lama-lama. Atau aku dobrak pintu toilet.” Tanpa membuang waktu, Eve langsung pergi ke toilet yang letaknya masih belum ia ketahui. Karena pencahayaan yang minim, di ujung lorong terjadi hal yang tidak diinginkan. Tubuhnya membentur tubuh seseorang, hingga membuatnya sedikit terpental. Ditambah heels yang tinggi membuat kakinya sakit seperti terkilir. “Maaf. Saya tidak sengaja,” ucap Eve dengan wajah tertunduk. Tidak ada reaksi dari orang itu. Eve sendiri tidak berani menatap dan menutupi wajahnya dengan rambut yang terurai. Ia terlalu takut jika ada orang yang mengenalinya di tempat seperti ini. Namun, ada yang membuatnya penasaran. Wangi orang yang ada di hadapannya, begitu familier bagi indera penciumannya. Baru saja Evelyn ingin menegakkan wajah dan melihat siapa yang ia tabrak, sosok itu justru melangkah dan melewatinya. Pergi tanpa sepatah kata pun. Hal ini semakin membuatnya penasaran. “Wangi parfum seperti ini, sudah pasti digunakan nggak Cuma satu orang saja. Jadi mana mungkin apa yang aku pikirkan benar,” gumamnya. Begitu sampai di toilet dengan langkah tertatih-tatih, Evelyn menatap dirinya di depan cermin. Riasan wajah yang digunakan saat ini, sungguh bukan seleranya. Bukan karena ia tidak suka berdandan, hanya saja produk yang digunakan oleh perias salon terlalu tebal dan warnanya begitu mencolok. Terutama bagian bibirnya. Begitu merah dan tebal. “Sebaiknya aku hapus. Setidaknya sisakan sedikit saja, agar terlihat wajar. Kalau aku biarkan, yang ada orang-orang takut melihatnya.” Baru saja Eve mengambil tisu basah di dalam tasnya, terdengar suara seseorang memanggil. Eve mengurungkan niatnya, lalu mencuci tangan di wastafel. “Eve! Cepat keluar atau aku yang masuk.” Tidak ingin membuat keributan, buru-buru wanita itu keluar dari sana. Menghampiri Dude yang sudah menunggu di depan toilet khusus wanita, dengan wajah kesal. “Kamu ngapain saja di dalam? Bosku sudah menunggu, cepat!” Kaki Eve yang sakit akibat insiden kecil tadi, dipaksa melangkah cepat. Dude seakan tidak peduli dengan keadaan Eve. Bagi pria itu, urusannya harus segera beres. Agar uang yang dijanjikan bisa segera diterima. “Apa kamu sudah terima uangnya?” tanya Eve. Dude menoleh, menatap sepupunya. “Begitu kamu masuk, maka uangnya sudah mendarat di rekeningku. Tenang saja, bagianmu pasti langsung aku berikan.” Evelyn ditarik masuk oleh Dude. Di dalam sana, terdengar suara yang cukup berisik. Kepala Eve semakin pening. Ingin pingsan sekarang juga. “Maaf Bos, saya terlambat.” “Tidak masalah, asal kamu bawa apa yang aku minta.” Dude tersenyum, lalu menarik Eve agar memperlihatkan diri. Dengan bangga, pria itu memamerkan sosok adik sepupunya. “Sesuai yang Bos minta. Cantik, lugu dan tentu saja belum terjamah. Saya jamin, Bos Alex tidak akan kecewa.” “Bagus. Aku suka cara kerjamu. Dan silakan cek beberapa menit lagi, 100 juta sudah pasti masuk ke rekeningmu.” “100 juta?” Dude tidak menyangka akan sebanyak itu. Yang ia tahu, nominalnya sekitar 80 sampai 90 juta. Tentu saja membuatnya begitu terkejut. “Kenapa? Apa masih kurang?” “Tidak Bos. Saya Cuma kaget karena belum pernah memiliki uang sebanyak itu.” Pria itu tertawa mereh. “Ada bonus karena suasana hatiku cukup baik.” “Baik Bos. Terima kasih,” balas Dude senang. Lalu menyikut lengan Eve dengan keras. “Angkat wajahmu,” bisiknya. Dengan perasaan ragu dan takut setengah mati, perlahan Eve mengangkat wajahnya yang kaku. Napasnya terasa begitu berat. Raungan ini terasa dingin, namun juga pengap. Matanya menatap gugup keadaan remang-remang di sekitar ruangan. Samar-samar, ia menangkap ada dua perempuan di sana. Dan ada tiga laki-laki yang duduk terpisah. Semuanya berpenampilan rapi dan berkelas. “Ayo Sayang, mendekat ke sini,” perintah Alex. Pria tampan namun terlihat beringas itu, melambaikan tangan. Memanggil Evelyn agar duduk di sebelahnya. Eve sangat jijiik diperlakukan seperti ini. Berharap, Alex tidak berbuat macam-macam, sesuai yang Dude katakan. “Jangan takut, kamu akan aman,” gumam Dude dan akhirnya meninggalkan Eve di sana. Wanita itu seperti mangsa yang ditinggalkan di kandang hewan buas. Siap diterkam tanpa rasa kasihan. Dan kini, Eve ingin menangis karena ketakutan. “Jangan Cuma berdiri di sana. Ayo ke sini!” Baru saja kakinya melangkah, matanya kini bisa menangkap jelas, wajah-wajah di dalam ruangan itu. Napas Eve terhenti, dan tubuhnya membeku. Sepasang mata menatapnya dingin tanpa ekspresi. Sungguh, Eve tidak pernah membayangkan situasi seperti ini. “Tuan …Tuan Arnesh?” gumamnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN