Ketukan Ketukan pintu kamarnya terdengar, namun Lita enggan menyahut, kepalanya pusing karena semalam kurang tidur. Niatnya ia ingin menghabiskan hari ini dengan tidur namun rencana itu harus diundur karena ketukan di pintu serta panggilan dari sang Papi.
"Sayang, Kamu tidur ya?"
"Nggak Pi, masuk aja pintunya nggak Lita kunci."
"Papi kira kamu tidur." Wiratama melangkah masuk dan duduk di tepi kasur Queen size putrinya.
"Nggak kok Pi. Ada apa?" Tak ingin jujur bahwasanya ia memang berniat tidur menggantikan jam tidur malam yang berantakan juga rasa pusing di kepala.
"Tadi Rudi ke sini, dia bilang kalau polisi butuh kesaksian dan kesediaan kamu untuk divisum." Ditatap ekspresi anak tercintanya yang tak berubah, "tapi Papi nggak maksa. Papi nggak mau kamu merasa ketakutan atau sedih karena harus menceritakan kejadian buruk itu kembali. Kalau kamu perlu waktu-"
"Aku nggak apa-apa Pi. Aku siap untuk kasih keterangan dan tes visum karena aku mau Laki-laki itu secepatnya dihukum." Ucap Lita dengan nada tajam.
Wiratama sedih memang, lebih sedih lagi orang yang telah ia anggap anak malah menyakiti anaknya yang lain.
"Papi jangan sedih..."
Fokus sang Papi kembali, dan hanya tersenyum sendu seraya menarik Lita dalam pelukannya.
"Apapun bakal Papi lakukan untuk kamu Nak."
Mendengar itu, Lita balik memeluk erat Wiratama. "Makasih Pi ..."
.*.*.*.*.
Saat polisi bilang ada yang ingin bertemu dengannya Julian tidak ingin menerka siapa orang itu. Yang jelas ia berharap ke dua adiknya belum mengetahui keadaan kakak mereka saat ini.
"Selamat siang, Julian."
Sapaan itu hanya dibalas anggukan pelan.
"Tidak disangka kita bertemu dalam situasi yang menyedihkan. Kebetulan, Saya kembali diminta Pak Wiratama untuk menangani kasus hukum ini."
Julian tidak tahu harus menanggapi apa. Keberadaan pengacara muda nan kondang itu pastilah bukan pertanda baik untuknya. Jika memang Wiratama ingin membuatnya membusuk di penjara sebaiknya tidak usah juga lelaki yang sudah ia anggap ayah itu mengirimkan pengacara untuk menjenguk dirinya.
"Saya yakin tanpa bantuan Pak Rudi pun saya pasti akan tetap jadi tahanan untuk waktu yang lama."
Terkekeh akan jawaban dari calon tersangka, ia berujar, "anda cukup paham sepertinya jika pasrah adalah satu-satunya jalan untuk menghadapi proses hukum. Well, hidup terkadang begitu mudah berputar, jadi saya harap anda memberikan keterangan sebaik mungkin untuk mempermudah kepolisian menaikan status anda sebagai tersangka."
Melirik jam tangan mahalnya, pengacara itu menyudahi pertemuan mereka tanpa kata perpisahan apapun.
Pejaman mata Julian menandakan beban berat yang pria itu rasakan. Tamatlah sudah riwayatnya.
*.*.*.*.*.
Ia telah memberikan kesaksian, dan melakukan tes visum. Hasil tes itu sendiri baru akan keluar dua atau tiga hari nanti.
Rasanya ia tidak sabar untuk melihat lelaki itu divonis hukuman penjara. Entah berapa lama dan berapa banyak tahap lagi yang harus dilewati agar tujuannya tercapai.
Si anak kesayangan yang selalu dipuji dan dibanggakan kini menjadi narapidana. Ia tak perlu lagi merasa iri pada siapapun.
"Non?"
Panggilan di belakangnya membuat senyuman Lita hilang. Rautnya berubah tak ramah saat melihat asisten rumah tangga yang berdiri di ambang pintu kamar.
"Bibi kok nggak ketuk pintu dulu sih?" Ketus Lita.
Wanita paruhbaya yang sudah bekerja di sana sedari lama hanya tersenyum tidak enak. "Maaf Non, pintunya ke buka jadi Bibi langsung manggil Non Lita aja. Ini makan siangnya Bibi taruh dimana Non?"
"Sini, biar aku yang pegang. Bibi langsung keluar aja." Lita mengambil alih nampan berisi makan siangnya lalu menyuruh sang asisten rumah tangga tersebut keluar.
"Pintunya sekalian tutupin." Perintah perempuan itu tanpa nada lembut sama sekali.
Marni, asisten tersebut hanya dapat menggeleng pelan setelah menutup pintu kamar Lita. Perasaannya agak aneh, karena setelah berita pelecehan yang menimpa perempuan muda tersebut, Lita malah nampak semakin sumringah dan ceria. Tetapi akan berubah murung apabila Tuan Wiratama berada di rumah.
"Duh, Gusti ... mungkin perasaanku aja kali ya. Gak mungkin Non Lita senang setelah dapat musibah." Ingatnya pada diri sendiri.
"Mbak Mar? Ngapain?"
"Eh Ti. Sampe kaget aku. Tadi abis nganterin makannya Non Lita ke kamar."
"Loh Non Lita makan di kamar Mbak? Tumben. biasanya kan, ngurung diri di kamar cuma kalau ada Tuan Wiratama. Sekarang Tuan lagi nggak ada di rumah."
"Huss ... kamu Ti, jangan ngomong gitu. Nanti didengar orangnya bisa abis kita."
Titi hanya terkekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan. Tidak sadar baru saja membicarakan sang majikan.
"Yaudah saya mau lanjut beresin cucian Mbak."
Marni mengangguk lalu ikut pergi melanjutkan tugas di dapur.
.
.
.
To Be Continue~