Malam sunyi telah tiba, angin bertiup sepoi menerbangkan tirai putih yang menutupi jendela kaca besar langsung berhadapan dengan balkon. Duduk bersimbah Teresa selesai menunaikan salat isya sendirian. Ia memanjatkan doa meminta ketengangan hati. Setelah selesai ia melipat perlengkapan salat kemudian meletakkannya di tempat semula.
Kemudian Teresa melanjutkan duduk dengan kaki lurus bersandar di head board sambil memainkan handpone membalas chat di grup teman-teman sekampusnya. Teresa cekikikan sendiri ketika membaca keseruan candaan mereka. Bercanda seolah masing-masing tidak memiliki beban di hati.
Siapa sangka, Teresa yang mereka lihat dalam chat tampak ceria dan lucu. Tapi di balik layar ia sedang didera nestafa yang tak berkesudahan. Kadang-kadang perempuan itu berpikir bahwa, seandainya saja dia tidak terlibat dalam pernikahan ini, mungkin tidak akan seperti sekarang. Dijerat dalam kerumitan, didera rasa dilema. Mungkin kesalahan ini bukan karena Keyla sepenuhnya, meminggalkan pernikahan begitu saja tanpa alasan yang pasti.
Namun, Teresa juga ikut bersalah dalam hal ini. Dia sangat salah karena telah mencintai Elang begitu cepat. Jatuh hati menganggap Elang adalah pelabuhan terakhirnya. Bahkan sampai saat ini rasa dalam hati Teresa tidak sama sekali berkurang. Namun, bagaimana pun dia saat ini sedang dihadapkan dengan pilihan. Mungkin akan menyakitkan, tapi semua harus dia lakukan demi kebaikan.
Mengusap-usap perutnya sambil bergumam dalam hati, Teresa memandang lurus saat mendengar suara pintu terbuka. Elang datang dengan wajah tampak bersih. Lelaki itu tersenyum tipis kemudian meletakkan sejadah ke pinggiran sofa. Ia baru saja datang dari masjid melaksanakan salat isya berjamaah.
“Udah sholat?” tanyanya duduk menghampiri Teresa.
Teresa mengangguk. “Udah, Mas,” jawabnya menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum kemudian mencium punggung Elang. Setelah kemudian memperhatikan layar ponselnya lagi.
“Doa apa tadi?” Elang menyapukan tangan membelai rambut Teresa menyelipkan ke belakang telinga sambil tersenyum. Teresa mulai gugup degup jantungnya mulai berdetak tak seirama. Ia tahu, biasanya jika seperti ini yang sudah-sudah Elang menginginkan sesuatu.
Namun, ia tidak bisa. Ia sedang tidak berselera saat ini. Tapi kalau tidak melayani itu sebuah dosa bukan?
Satu tangannya bergerak secara halus menepis tangan Elang sambil tersenyum kikuk. Sebisa mungkin ia menghindar dengan dengan gerakan halus.
“Doa buat ketengangan hatiku, Mas.”
“Oh ya?” Elang semakin mendekat memangkas jarak di antara keduanya. Mengusapkan jari-jemari yang menelusup dalam pipi Teresa dengan lembut. “Terus apa lagi?” tanyanya.
“Aku minta buat selalu menjadikan diriku sendiri sabar, kuat, dan—“ kata-kata Teresa menggantung saat kedua bola mata itu saling menatap gamang.
“Dan apa, hem?” Suara Elang begitu lirih, lembut dan terdengar begitu mesra.
"Kamu mau apa, Mas?" tanya Tere gugup.
"Nggak usah tanya, harusnya kamu udah tahu, Sayang."
Jari-jemari Teresa bergerak secara lembut untuk menepis sentuhan tangan Elang.
“Gimana pun kamu adalah istriku, Re, kamu nggak bisa nolak aku.”
“Nggak sekarang, Mas, situasi kita sedang nggak memungkinkan. Maaf aku sedang datang bulan."
Suara helaan napas Elang terdengar begitu berat. Bersandar di head board sebelah Teresa. Lelaki itu tampak terdiam beberapa saat dengan pandangan lurus. Membuat Teresa mengerutkan alis bingung. Lelaki itu memijat pelipisnya sendiri.
Secara bersamaan tiba-tiba Tere merasakan perutnya mual. Ada sesuatu yang ingin keluar dari mulutnya, tapi tertahan di kerongkongannya. Ia dengan cepat membekap mulutnya berlari ke kamar mandi.
Elang mengerutkan dahi. Tiba-tiba rasa khawatir menelusup dalam benaknya. Dari luar terdengar suara Teresa terus saja muntah-muntah.
"Re, kamu kenapa? Kamu sakit, sayang?" tanyanya khawatir sambil mendekatkan telinga dipermukaan pintu.
"Buka pintunya, Re. Aku mau lihat kamu." Elang terdengar panik sambil mengetuk-ngetuk pintu.
Sedangkan di depan cermin wastafel Teresa mencuci wajahnya yang tampak pias. Ia mengeringkan dengan handuk lalu menepuk-nepuk pipinya supaya membuat wajahnya merona.
"Kamu denger aku, kan, Re. Buka pintunya."
Mendengar suara Elang, Teresa hanya menghela napas sambil melihat pantulan dirinya dari cermin. Sebisa mungkin ia membuat wajahnya supaya tidak terlihat pucat. Ia ingin terlihat baik-baik saja.
"Re--"
Kata-kata Elang terhenti seiring dengan tangan yang menggantung di depan pintu. Teresa bergeming berhadapan dengan suaminya itu. Yang langsung mengurai memegang kedua lengan dengan tatapan khawatir.
"Aku nggak papa kok, Mas. Nggak usah khawatir aku nggak enak perut aja."
"Kamu beneran nggak papa?" Elang merasa belum yakin dengan ucapan Teresa.
Teresa tersenyum kemudian berjalan melewati Elang begitu saja. Ia mengambil sajadah yang diletakkan Elang sebelumnya. Kemudian memasukkan ke dalam ke ranjang. Masih membiarkan Elang terpaku, Teresa sibuk sendiri. Bahkan ia membuka lemari menyusun pakaian-pakaian yang jelas-jelas masih rapi.
"Mas, besok mau pakai baju apa? Dasinya warna apa?" Ia memilih-milih di sementara kemeja kemeja Elang.
"Terus, kamu mau pake celana yang mana? Yang ini?" Ia mengangkat dua lipatan celana di tangannya.
"Atau ini?"
"Yang mana aja, Re, apa pun yang kamu siapin aku pasti pakai besok." Elang yang berpindah ke sofa. Membaca beberapa dokumen yang dia bawa dari kantor.
"Gimana kalau pakai ini, Mas?"
Elang menggeleng. "Ya mana mungkin aku pakai kemejamu, Re, Re," ucapnya terkekeh.
"Siapa tau mau pakai." Teresa cekikikan lalu mengembalikan pakaian ke tempat semula. Sedangkan pakaian yang untuk dikenakan Elang esok hari ke kantor ia sudah menggantung di gagang pintu lemari.
Ketika mereka sibuk masing-masing. Elang serius dengan dokumen sedang Teresa memilih beberapa baju entah untuk apa dari lemari. Pintu terdengar diketuk beberapa kali.
"Siapa?"
"Siapa?"
Teresa melirik ke arah Elang, begitu pun sebaliknya. Saat menyadari bahwa ucapan mereka bersamaan.
"Ini saya, Neng, Pak."
"Oh kamu, Bik. Masuk aja, pintunya nggak dikunci," titah Teresa.
"Neng, nyonya sudah datang, dia sekarang sedang ada di ruang tengah. Menunggu kalian berdua," ucap bik Ina.
"Oh udah datang ya? Tunggu sebentar bik, aku akan langsung turun."
"Baik Neng," ucap bik Ina. Setelah kemudian pergi meninggalkan kamar Teresa dan Elang.
Teresa melirik ke arah Elang. Lelaki itu tampaknya tak peduli dengan kedatangan sang mama. Teresa hanya bisa menghela napas kemudian berkata, "Mama datang, kamu nggak mau nemuin, Mas?"
Menulis sesuatu di di kertas, Elang terlihat begitu sibuk. Ia menjawab tanpa menoleh, "Kamu turun aja dulu, setelah semua selesai aku bakalan nyusul."
"Ya udah," ucap Teresa sambil berjalan meninggalkan kamar.
Dari balik dokumennya, Elang memperhatikan lekuk tubuh Terasa yang terlihat padat dan berisi. Kaos putih yang dikenakan memperlihatkan dalaman berwarna merah, sungguh menggoda Elang beberapa saat sampai meneguk saliva.
Elang merasa Teresa akhir-akhir ini sangat terlihat menggoda. Andai saja, masalah Keyla tidak datang menghampiri mereka. Pasti saat ini ia sudah terus saja mendesak Teresa di mana saja.
"Huh ... semua gara-gara Keyla. Dia membawaku dalam keadaan sulit, bagaimana dulu aku bisa jatuh cinta padanya. Bahkan dibandingkan dengan Teresa dia sama sekali tidak ada apa-apanya." Elang menggeleng kemudian meletakkan dokumen di tangan ke atas meja.
Meremas rambutnya sendiri dengan kedua siku bertumpu di atas paha. Lelaki itu begitu dilema.
***
Baru saja Tere menuruni tangga, mama Dera langsung menghambur memeluknya. Seolah mereka pasangan ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu. Teresa tersenyum tipis setelah ibu mertuanya itu melepaskan pelukannya, memegang kedua lengan sambil melihatnya lekat-lekat.
"Gimana kabarmu, Re? Semua baik kan?"
Teresa mengangguk paksa sambil membuka mulutnya. Walau sulit untuk mengatakan bahwa, "Aku baik-baik saja, Ma."
Namun, kenyataannya dia sedang tidak baik. Rumah tangganya terancam karam tanpa ada perbaikan.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik aja, Re. Mama lega dengarnya." Mama Dera tersenyum hangat lalu meraih jari-jemari Teresa menggandeng mengajak duduk di sofa ruang tengah.
Mendapatkan seorang mertua seperti mama Dera adalah sesuatu kebanggaan buat Teresa. Sebab, dia bersikap seperti seorang ibu, selalu memperhatikan segala sesuatu tentang Teresa.
"Elang mana, Re?" tanya Mama Dera.
"Mas Elang lagi selesaikan kerajaannya, Mah. Kalau sudah selesai dia bakalan turun katanya."
"Silahkan, Nyonya, tehnya." Bik Ina menyela meletakkan secangkir teh ke atas meja.
"Neng Tere, apa mau bibi buatkan sesuatu?"
"Nggak usah, Bik. Ini udah malam, udah stop gula, he he he," jawab Teresa.
"Kamu senam juga, ya, Re? Badan kamu jadi berisi gitu," celetuk mama Dera.
Seketika membuat Teresa memutar bola mata sambil berpikir. "Iya," jawabannya. Namun, kenyataan sama sekali tidak membuktikan kalau dia ikut olahraga.
"Gitu, dong, Re, sekali-kali keluar, ke club senam kek, ke mall atau ke mana pun. Yang penting jangan di rumah terus. Kasian kan kalau kamu bosen, nggak ada temannya. Atau mungkin, kamu bisa ajak teman kamu bertamu ke sini, jadi waktu ditinggal Elang kerja kamu nggak sendirian."
"Tere nggak kesepian, Ma, ada bik Ina di rumah yang selalu nemenin," jawab Teresa.
"Ya bedalah, lagian umur bik Ina udah nggak nyambung kalau diajak ngomong anak muda kayak kamu. Iya, kan, Bik?" kelakar Mama Dera ketika bik Ina meletakkan kudapan ke atas meja.
Mau tak mau membuat bik Ina mengangguk sambil tersenyum.
"Siapa bilang, Ma. Bik Ina ini casingnya aja yang usia empat puluh tahun, tapi jiwanya, beh ... anak tujuh belas tahun. Tere aja kalah sama dia."
Bik Ina dan Dera menertawakan ucapan Teresa.
"Jangan gitu dong, Neng, saya kan jadi malu," ucap Bik Ina tersipu-sipu.
"Kita kan teman, Bik, ngapain harus malu?" jawab Teresa disusul tawa kemudian.
Mereka bertiga tertawa bersama. Tidak ada sekat antara asisten rumah tangga, menantu dan seorang mertua yang minta dituakan dan junjung seperti kebanyakan lainnya.
"Jadi bik Ina punya perasaan sama mang Joko, Re?" tanya Mama Dera. Wajahnya memerah karena menahan tawa.
"Iya, Ma. Bahkan Bik Ina bilang udah lope lope sekebun katanya," balas Teresa.
"His, neng, mah. Bibi kan jadi malu sama, Nyonya."
"Oke, oke, kita udahan bercandanya. Perut mama udah sakit ini dari tadi ketawa terus." Dera memegang perutnya yang terasa kaku.
"Bik, tolong ambilin mama sama Tere minum, dong, haus nih," titah Teresa.
"Siap, Bos!" bik Ina meletakkan telapak tangan di kening memberi hormat.
"Makasih, Bik ... nanti aku bantu jomblangin sama mang Joko deh, biar nggak keduluan sama mbak Atik yang tinggal di sebelah."
"Udah, Re, aku kasihan sama dia." Mama Dera terkekeh. Memegang tangan Teresa. Tenyata benar yang dikatakan Teresa, bahwa bik Ina bisa dijadikan teman. Terbukti ia sangat terhibur saat berkumpul dengan mereka berdua.
- TBC-