Datang

1606 Kata
Ponsel Elang di atas meja berdering. Ia memilih untuk mengabaikan begitu saja, karena melihat nama yang tertera di layar ponsel itu sudah membuat dirinya enggan untuk mengangkatnya. Seperti biasanya, semakin Elang mengabaikan semakin pula Keyla gencar untuk menelpon tanpa jeda. Hingga Elang melempar map di tangannya dengan kasar karena kesal. "Apa sih, Key?" tanyanya dengan malas. "Dari tadi aku telepon kenapa nggak diangkat, Lang?" "Kenapa?" Elang menaikkan sebelah alisnya seiring dahi mengkerut. "Mami, Papi dan aku, kami bertiga sekarang ada di mobil." Elang mendengus begitu tidak pentingnya, hal seperti itu saja Keyla menelpon. "Itu sama sekali nggak bawa informasi apa pun buatku, Key. Seharusnya hal seperti itu ngga perlu meneleponku." Memutar bola matanya malas lalu menjauhkan ponsel di tangannya sebelum kemudian suara Keyla hentikan. "Kami bertiga naik mobil menuju ke rumahmu, Elang." Elang membulat sempurna. Keyla benar-benar Suka berbuat semena-mena, bagaimana mungkin hal sebesar ini dia tidak bicara dengannya lebih dulu. "Kamu gila, Key? Ngapain malam-malam ngajakin papi sama mami ke rumah?" Elang kembali memijat kepalanya. Sakit yang teresa sebelumnya menghilang kini Keyla membuatnya semakin pening. "Ini semua demi kebaikan kita, Lang. Teresa harus tahu kalau aku lagi hamil anak kamu." "Tere sudah tahu, Keyla! Dan kenapa harus bawa papi dan mami, kamu mau semakin memperkeruh semua, iya?" Elang menggeleng dua kali. Benar-benar tidak habis pikir dengan Keyla yang suka bertindak sesuka hati. "Bagus dong ... kalau dia tahu, jadi kita nggak perlu rahasiakan lagi." Suara Keyla terdengar tenang dari seberang sana. Bisa dipastikan pasti' sambil memainkan ujung kuku-kuku nya kini. "Kalau sampai kenapa-kenapa, aku nggak bakalan maafin kamu, Key. Ingat itu," balas Elang sambil menggertak kan gigi. "Nggak akan terjadi apa-apa, Lang. Aku cuma mau minta apa yang seharusnya jadi punya ku aja, kok, nggak lebih." Tut. Elang mematikan telepon secara sepihak. Setelah melempar ponsel ke atas meja ia kembali memijat pangkal hidungnya. Menghela napas panjang mencari solusi. Tiba-tiba terlintas pikiran, ia harus menjauhkan Teresa dari rumah mungkin untuk malam ini. Ke hotel mungkin adalah langkah yang tepat. Ya, Elang tidak ingin Teresa bertemu dengan Keyla. Jika mereka bertemu pasti akan kacau. Ia tak mau membuat istrinya itu bersedih karena hal ini. Kegalauan beberapa hari terakhir telah menerjang kebahagiaan yang mereka bangun beberapa bulan. Elang segera beranjak mengambil ponsel, dompet dan mengganti pakaiannya dengan rapi. Sebelum Keyla sampai ia harus membawa Teresa. Keluar kamar dengan tergesa-gesa sambil menelepon salah satu anak buahnya untuk menyiapkan kamar hotel khusus buat Teresa. "Sediakan kamar presidential suite, aku akan memakainya malam ini dan mungkin beberapa hari ke depan." Jeda dalam beberapa menit saat seorang di seberang sana bicara. "Iya, sekarang juga." Elang berjalan sambil melihat ke bawah. "Re, bukain gih, ada yang tekan bel tuh," titah Mama Dera. "Siap, Ma." Teresa beranjak dari kursi mengayunkan kaki membuka pintu. "Mama, jangan lupa masih ada hutang penjelasan sama aku ya, sebenarnya apa yang ingin mama sampaikan." Teresa berujar sambil menoleh ke belakang. Sedangkan Mama Dera hanya menggeleng terkekeh melihat tingkah menantunya itu. "Kamu tenang aja, Re." "Siapa?" Tatapannya seketika kaku di depan pintu. setelah melihat siapa yang datang. Bibirnya bergetar, lututnya melemas seolah tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Entah harus apa yang harus dia lakukan. Sudah lima bulan lamanya ia tidak bertemu dengan kakaknya itu. Kini bingung harus berbuat apa, haruskah ia menghambur untuk memeluk atau harus menutup pintu lagi. Disaat tubuhnya masih kaku tiba-tiba Keyla memeluk menguar segala kerinduan karena sudah lama tidak bertemu. "Re, aku kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik aja kan selama ini?" tanya Keyla memandang Teresa lekat. Suasana canggung menyergap perasaan Tere. Bagai memiliki hutang yang ditagih oleh si peminjam, ia begitu kaku, keluh dan dingin. Melihat ke belakang Keyla. Ternyata dia tak sendiri datang ke mari melainkan bersama mami dan papi. Untuk apa mereka secara beramai-ramai datang ke sini? "Pi?" Teresa melewati Keyla untuk mencium tangan Papinya. "Kamu apa kabar, Re?" tanya Robert. “Teresa baik, Pi,” balas Teresa pada Robeth—ayah kandungnya. Lelaki berusia lima pupuh lima tahun itu tampak berwibawa di depan pintu sambil mengangguk satu kali. “Silakan masuk, Pi." Mereka semua masuk ke dalam rumah Teresa. Tatapan Papi Robert menelisik setiap sudut ruang yang ditinggal oleh anaknya itu. "Papi baru pertama kali ke sini, jadi heran gitu. Rumah ini memang nggak sebesar rumah papi, tapi ... ini nyaman bagi Teresa." "Bagus sekali kamu, Re, udah bertingkah kayak nyonya rumah ini aja," celetuk Mami Anggi. Teresa memilih mengabaikan perkataannya. Kemudian melanjutkannya bicara lagi, "Tumben-tumbenan papi dan Mami datang ke rumah Tere, nggak seperti biasanya. Sepertinya ini yang pertama kali setelah Tere jadi tumbal keluarga kalian,” ucap Teresa sarksasme. “Maksud kamu apa ngomong kayak gitu, Re?” Mami Anggi tidak terima. “Orang tua datang, harusnya kamu cium tanganku, bukan ngabaikan gitu aja.” “Bukannya mami ya, yang selama ini selalu nolak kalau aku mau cium tangan, karena takut kotor?” Teresa menjawab dengan lantang. Dia sudah bermonolog dengan dirinya sendiri bahwa tidak akan jadi Teresa yang mudah ditindas sesuka hati karena statusnya sebagai anak yang tak diharapkan oleh keluarga Robert. “Kamu masih aja ya, Re, kurang ajar seperti dulu. Setelah nikah harusnya kamu berubah, nggak semakin bar-bar seperti ini.” Mami Anggi tersulut emosi. “Kenapa aku harus berubah kalau aku nyaman dengan diriku sendiri. Harusnya mami tuh yang berubah, biar nggak selalu rendahin orang ….” “Re!” Suara papi Robert menggema di indra pendengaran Teresa menggantung satu tangan di udara dengan mata menyorot tajam dan rahang mengetat. Tidak geming sedikit pun Teresa justru mengangkat wajahnya menyiapkan untuk ditampar Robert. Dia yang sering mendapat julukan anak haram, pembangkang, tidak tau terima kasih dan lainnya lagi. "Sekarang mau apa lagi, Pi? Nampar? Sini tampar!" Teresa menyodorkan pipi kanannya. Sebelum Mami Sarah meraih tangan Papi Robert melerai menyuruh suaminya untuk tenang. "Udah, Pi, jangan diladeni anak kurang ajar kayak gitu, dari pada jantung papi sakit lagi," ujarnya sambil menatap Teresa sinis. "Kamu kenapa gitu, Re? Kami ke sini datang baik-baik kenapa kamu nya nyolot gitu. Pakai ngelawan Papi sama Mami lagi. Kamu nggak sopan, tau nggak?" Teresa membuang wajah malas, kedua tangannya berkacak. Ia begitu enggan menanggapi Keyla yang selalu bertingkah membela kedua orang tua yang justru bermaksud mencari kebaikan untuknya sendiri. "Terus kakak, maunya aku gimana?" tanyanya sewot. Elang langsung tergesa-gesa menuruni tangga saat mendengar suara Teresa. Ia melihat mamanya terdiam menyaksikan mereka. Ia langsung menggandeng karena ini sangat tidak baik. "Ma, lebih baik mama masuk kamar tamu aja, biar aku lihat apa yang terjadi dengan mereka." Mama Dera mengangguk menurut. "Bik, bawa mama masuk ke kamar. Temani dia sampai aku datang." "Baik, Pak. Ayo Nyonya." Bik Ina mengajak mama Dera ke kamar. "Sebenarnya apa yang kalian lakukan? Kenapa berantem seperti ini?" tanya Elang menatap tajam ke arah mereka berempat yang sedang bersitegang. "Kami datang dengan baik-baik, Lang, Mami sama Papi ingin lihat keadaan Teresa. Tapi baru kami datang, Tere udah marah-marah gitu," jawab Keyla. Teresa tak menjawab tidak juga menoleh. Ia akan lihat, sampai mana Keyla merancang drama ini. "Lang, aku capek, apa kamu nggak mau suruh duduk?" timpal Keyla. "Pa, Ma, silakan duduk." Elang memilih mengabaikan Keyla justru menyuruh kedua mertuanya duduk. Setelah mereka semua duduk, Teresa masih berdiri kaku dengan tangan bersidekap. Terlihat begitu kesal melihat ke arah suaminya itu. "Kita bisa bicara baik-baik, Re, nggak udah marah-marah kayak gitu. Duduk yuk?" Elang mengusap-usap punggung Teresa dengan lembut. Kemudian sebelum istrinya itu bergerak, ia lebih dulu duduk di sofa menyusul Keyla dan keluarganya. Dengan malas Teresa menyeret kedua kakinya untuk bergabung dengan mereka. "Duduk, Re." Perintah Elang lagi saat Teresa tidak duduk, tapi justru berdiri di sampingnya. "Mama kamu ke mana, Lang? Bukannya tadi dia ada di sini?" tanya Mami Anggi. "Sebenarnya apa tujuan kalian kemari? Kenapa tiba-tiba secara bersamaan datang?" tanya Elang. "Lang, sebenarnya aku nggak mau kasih tau mami dan papi, tapi ... nggak sengaja aku ketemu sama papi, aku dibawa pulang dan diancam buat ngatakan siapa ayah dari bayi yang kukandung ini. Maaf, Lang, aku harus kasih tau mereka karena aku juga ingin memperlihatkan kalau kamu adalah cowok yang bertanggung jawab." Teresa memalingkan muka sambil menjulurkan lidah seolah-olah ingin muntah. "Terus apa yang kamu inginkan sekarang?" tanya Elang dingin. Walaupun ia sebenarnya sudah tahu apa yang mereka inginkan. "Ya kamu harus nikahi, Keyla, Lang. Enak banget kamu jadi cowok sudah berbuat nggak mau tanggung jawab," celetuk mami Anggi. Seketika Tere menoleh dengan bibir menganga terkejut mendengar permintaan Mami Anggi. Papi Robert mengambil alih pembicaraan. Berdeham sejenak kemudian menyuruh anak dan istrinya diam. "Lang, kamu tau aku, kan? Pak Zidan, dan aku sudah berteman lama secara bisnis. Dia dan kamu juga sudah tahu sepak terjangnya bisnis yang kujalan kan berkembang." Butuh waktu beberapa saat Robert diam. Sedangkan Elang mengerutkan dahi, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Robert. "Aku terkejut saat melihat Keyla hamil, bahkan aku marah. Aku ingin mengugurkan anak itu, tapi rasa kasihan sama Keyla membuatku urung melaksanakannya. Dia mengatakan bahwa ayah dari anak itu nggak ingin bayinya kenapa-kenapa. Aku terkejut saat tanya siapa dia, dan ternyata kamu." Robert menatap Teresa dan juga Keyla secara bergantian. "Mereka berdua adalah putriku maka nggak adil kalau aku milih salah satunya buat nikah sama kamu." Elang mengangguk paham. Memang seperti itu lah pemikiran seorang ayah yang tidak memilih kasih salah satu. "Keputusan ini sudah Papi bicarakan sebelumnya dengan Mami dan juga Keyla. Ini adalah jalan satu-satunya yang tepat, Lang." "Tapi Papi nggak bicarain apa pun sama Tere, kan?" Suana semakin tegang. Ingin rasanya Tere meniggalkan mereka semua pergi ke kamar. "Iya, Lang, kami sudah membicarakan semua tadi siang. Ini adalah jalan terbaik buat kita semua, keluarga kita nggak akan malu karena memiliki anak di luar nikah," sambung Mami Anggi. Diikuti helaan napas berat seolah ini adalah pilihan yang berat. - TBC-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN