"Kamu ke dokter Hana, buat medical check up. Seminggu lagi kalau nggak ada halangan kita pergi bulan madu ke Paris. Itu Negara yang pengen banget kamu kunjungi, kan?"
"Maaf aku nggak bisa temani kamu, karena ada hal penting yang harus kuselesaikan di hotel. Kamu nggak papa kan sendirian?"
"Nggak papa kok, Mas."
"Habis dari dokter langsung pulang, aku akan kasih tau Joko. Biar kamu nggak ke mana-mana."
"Iya."
Elang memang begitu pengertian pada Teresa. Tak pernah marah, lebih ngemong memperlakukan Teresa selalu dengan lembut. Meskipun, di usia Teresa masih dua puluh satu tahun sedangkan dirinya tiga puluh lima tahun. Tidak pernah ada kecanggungan satu sama lain. Bahkan saat ini, Elang lah teman ternyaman Teresa. Selalu mendengarkan keluh kesah.
Teresa suka bilang pada Elang, bahwa ia begitu ingin pergi ke Paris. Sudah lama ia ingin ke sana, jalan-jalan seperti Keyla dan teman-temannya dulu. Paris menjadi kota teromantis di dunia yang dikunjungi oleh banyak pasangan untuk menghabiskan waktu bersama. Oleh sebab itu, Elang juga memilih untuk bulan madu mereka.
Lima bulan mereka menikah, akhirnya baru kali ini mereka berdua memiliki kesempatan untuk pergi. Itu semua dikarenakan Elang yang selalu sibuk menjelang akhir tahun, mengurus perusahaan property dan hotel yang memiliki cabang di Bali dan wilayah Indonesia lainnya.
"Frekuensi denyut jantung normal, enam puluh lima kali per menit."
"Frekuensi pernapasan normal tiga belas kali per menit."
"Suhu tubuh sehat tiga puluh enam derajat Celcius."
"Tekanan darah juga normal sembilan puluh lima per enam puluh mmHg."
Dokter wanita berkacamata itu memegang kertas hasil setelah pemeriksaan. Dengan seksama kaca mata melorot hampir sampai ujung hidungnya. Menatap kertas kemudian Teresa yang tersenyum lega kendati pemeriksaan berjalan lancar.
"Tapi kamu sepertinya nggak bisa pergi ke Paris. Tentang keluhan kamu yang baru saja di sebutin itu," ucap dokter Hana.
"Nggak bisa?" Teresa mencondongkan tubuhnya ke depan, penasaran.
"Bukannya tadi di dalam surat itu kesehatanku baik-baik, Dokter?"
Dokter Hana mengangguk. "Semua hasil memang baik, tapi ada satu hal yang membuat kamu semakin baik."
'Apa?"
"Selamat nyonya Erlangga, sebentar lagi kamu mempunyai anak. Usia sekarang masuk dalam hitungan empat Minggu."
Deg.
Jantungnya bertalu-talu seperti suara bedug. Pun dengan wajah Teresa seketika pucat pasi seperti darah tak mengalir dalam tubuhnya. Ia begitu tegang menarik napas berat. Entah bagaimana ia harus menyingkapinya, haruskah bahagia? Sebab, dia sedang mengandung anak dari laki-laki yang begitu dicintainya.
Usianya masih muda, dia masih memiliki cita-cita, sebagai penyanyi dan pemain gitar akustik terkenal memiliki banyak fans. Ah, lagi-lagi cita-citanya harus terkubur begitu saja. Sekarang saatnya menghadapi kenyataan bahwa, Ia hamil, ia seorang istri. Maka tugasnya di rumah merawat anak dan suami.
"Terima kasih, Dokter. Aku akan bicarain ini sama suamiku. Mungkin kami bisa cancel rencana hanny moon."
Teresa pergi meninggalkan ruangan dokter dengan perasaan bahagia. Sebab, sudah beberapa bulan ini Elang membicarakan tentang kehamilan istri temannya yang sudah hamil anak kedua.
"Kamu tahu, nggak? Kata orang, kalau punya teman lagi hamil kita sering ngomongin dia, nggak lama hamilnya nular."
"Dapat pengetahuan dari mana itu? Dosenku gak pernah jelasin kayak gitu."
"Bukan dosen, tapi kata mbah Uti. Orang jaman dulu sering mengaitkan hal-hal kayak gitu."
"Tapi kamu juga percaya," balas Teresa. Sambil membaca n****+ di sofa memangku kepala Elang yang berbaring di pahanya.
Elang menghadap ke atas menatap wajah Teresa yang sedang asik membaca n****+ romance. "Aku nggak percaya, karena tanpa usaha nggak mungkin kamu bisa hamil, kan?" Mengubah posisi menjadi miring menghadap perut. Mengusap usap membuat Teresa yang sensitif terhadap sentuhan itu menggeliat.
"Kita usaha yuk? Biar anak kita cepat jadi."
"Gimana caranya?" tanya Tere polos. Elang menyeringai memikirkan rencana nakal.
Ah, pipi Teresa memerah ketika mengingat kala itu. Bagaimana mereka dengan asik memadu kasih di atas sofa di ruang tamu. Itu benar-benar gila. Bahkan harus membuat Bik Ina yang sedang berada di luar rumah menunggu berjam-jam lamanya. Melayani Elang memang tak pernah ada habisnya, lelaki tinggi dan lebih dewasa darinya itu seolah tak pernah merasakan lelah.
Selalu menggunakan berbagai cara untuk menuntaskan kehendak. Tidak di kamar, dapur, atau bahkan di dalam mobil. Dia benar-benar gila, tapi semakin lama Teresa semakin terbiasa dengan hal itu. Hatinya selalu menghangat setelah mendapat sentuhan dari Elang. Sem pur na.
Perlakuan-perlakuan lembut suaminya itu selalu berhasil menelusup ke dalam relung hati. Menembus sukma membawanya terbang menuju nirwana. Dalam deru napas saling berucap satu kata penuh makna. Cinta.
Membawa surat hasil medical check up Tere lebih ingin memberitahukan Elang tentang kehamilannya. Kedua, ingin langsung meminta untuk tidak memesan tiket pergi ke Paris. Gadis yang memakai celana jeans pendek sepaha dan kaos berwarna merah hati dengan tas selempang berwarna coklat berada di pinggangnya.
Sepatu kets berwarna merah muda melangkah memasuki area hotel milik Elang. Rambut sepundaknya dikuncir satu di belakang tengkuk, poni rambut hitam itu menutupi kening di dua sisi dekat telinga sedikit panjang. Penampilan Teresa terlihat seperti gadis tomboi namun, ia memiliki sifat kelembutan dan tak terlihat.
"Permisi mbak, apa mas Elang ada di sini?" tanyanya pada resepsionis yang berjaga. Ia tanya untuk memastikan, sebab Elang sering rolling cek hotel miliknya.
"Maaf, kalau saya boleh tahu, Adek ini siapanya Pak Elang ya?"
Teresa mendengus membuang muka sambil meletakkan satu tangan di atas meja resepsionis. Bagaimana bisa ia istri dipanggil adik.
"Aku adeknya!" jawabnya ketus.
"Oh ... adeknya ...." Resepsionis dengan tag nama Ana Sutiah itu mengangguk mengerti.
"Pak Elang ada di ruangannya, Dek. Dia sepertinya masih ada tamu. Coba ku telepon dulu ya." Ana Sutiah itu mengambil telepon menempelkan ke telinga. Sedangkan tangannya bergerak menekan nomor yang langsung ke ruangan Elang.
Dengan cepat Teresa menekan tombol penutup telepon. Sambil tersenyum tersemat. "Nggak usah ditanyakan, Mbak, biar aku datangi aja langsung. Kalau mas Elang masih ada tamu gampang, tinggal tunggu aja di luar sampai selesai."
Teresa meniggalkan meja resepsionis. Menuju ruangan Elang ada di lantai empat. Memasuki lift khusus langsung depan berhenti ruangan Elang. Tere memeriksa surat yang dia bahwa. Surat yang menyatakan bahwa ia sedang hamil.
"Mas Elang pasti seneng dapat kabar ini. Kira-kira apa ya, yang bakalan dia lakukan kalau tau aku hamil?" Tere terkikik sendiri di dalam lift.
"Adegan klise kalau dia cuma memeluk haru. Aku maunya lebih buat ngerayain kehamilan ini. Tapi apa ya?" Ia tampak berpikir sambil menaikkan pandangan.
Ting.
Pintu terbuka menyentak, langsung bergegas keluar menuju ruang Elang. Menghentikan langkah sesaat. Memikirkan sesuatu.
"Ah, bagaimana kalau aku buat kayak di film-film. Surat sama testpack aku bungkus dalam kado? Biar kelihatan surprise gitu."
Teresa kembali ke luar hotel untuk membeli kotak kado. Di toko yang tak seberapa jauh dari hotel Erlangga.
"Nah, kalau kayak gini kan bagus. Pas mas Elang buka dia pasti terkejut bukan main." Teresa sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi Elang di dalam ruangannya.
Langkah kaki itu kian bersemangat masuk ke dalam ruangan Elang. Menekan kode akses masuk dengan pelan sebab jika ada tamu di dalam sana tidak mungkin dia tergesa gesa.
- TBC-