Day 8: Di Tepi Sungai°

1117 Kata
DALAM penglihatan Chandni, ketiga temannya itu serupa rubah dengan mata yang mengerling manja. Hari masih terang ketika keempat gadis belia itu memasuki hutan yang tidak jauh dari tembok belakang Sanggar Mohabbatein. Mereka senang bisa jalan-jalan di luar tanpa pengawasan orang dewasa. “Ayo, Chandni, cepat! Katanya kau ingin melihat sungai. Di hutan ini air sungainya bersih dan menyegarkan,” bujuk salah satu gadis yang berlari paling depan. Namanya Priya. Chandni mengangguk bersemangat dan turut berlari. Mereka mengikuti jalan setapak yang biasa digunakan pencari kayu atau pemburu. Setelah beberapa menit gadis-gadis itu melangkah keluar dari jalan setapak dan menerobos sela pepohonan. Suara gemercik air terdengar semakin jelas setiap mereka melangkah ke depan. Para belia itu tiba di area terbuka dan tampak sungai kecil mengalir deras. Persis seperti yang digambarkan teman-temannya, batang air itu sangat indah. Bebatuan beragam ukuran berserakan mengelokkan aliran air. Sinar matahari membuat permukaan air berkilauan. Airnya sangat jernih seolah tembus pandang. Chandni bisa melihat jelas ikan-ikan berenang di sela bebatuan. Di tempat terpencil itu, mereka mengindahkan segala halangan. Mereka melepaskan pakaian di tubuh dan menumpuknya di bebatuan. Di kaki kanan Chandni terpasang gelang jimat penangkal balanya. Hanya mengenakan kemban dan dothi kecil, gadis-gadis itu menceburkan diri ke dalam kesejukan air sungai yang membelah hutan. “Wuaaah!” Chandni berseru gembira sambil memercik-mercikkan air ke udara. Kemilaunya membuat Chandni terpesona. Ketiga temannya tertawa menyaksikan reaksi Chandni yang baru pertama kali melihat dan merasakan berada di sungai. Sebelumnya Chandni hanya menikmati keindahan alam dari gambar, lukisan dan syair-syair yang kerap dinyanyikan sebagai lagu pengiring tarian. Sungai itu kedalamannya sebatas pinggang para gadis. Mereka berendam sambil bersenda-gurau, saling mencipratkan air dan sesekali menyelam membasahi kepala. Chandni melihat ikan-ikan yang seliweran di antara kakinya. Dia berjalan melawan arus demi berusaha menangkap satu ikan. “Chandni!” panggil temannya. Namun tidak disahut Chandni karena terlalu asyik berendam. Ketiga gadis itu berdekatan untuk berbisik-bisik lalu terkikik geli. Perlahan-lahan mereka keluar dari air dan terkindap-kindap memungut pakaian lalu berlari kecil menjauhi sungai. Chandni ditinggalkan seorang diri. Tidak terdengar lagi suara tawa teman-temannya membuat Chandni tersadar. Dia menoleh ke sana kemari dan memutar tubuh melihat sekelilingnya, tetapi tidak terlihat seorang pun. “Teman-teman!” panggilnya. Namun hanya desir angin dan gemercik air yang menyahut. Teman-temannya telah mengerjainya. Muka Chandni merengut. Dia sudah bisa menebak rencana teman-temannya, tetapi tidak menyangka mereka benar-benar melakukannya, setidaknya dia tidak mengira akan ditinggalkan di sungai sendirian. Di hari yang terang benderang ditemani riak air dan risik serangga dedaunan, Chandni bisa merasakan mata-mata kelam memperhatikannya dari pepohonan. Chandni bergegas keluar dari air dan mencari pakaiannya. Namun tidak terlihat lagi sari warna-warni yang tadinya bertumpuk di atas batu besar. Chandni tergemap. Bundelan pakaiannya bahkan turut raib. Dia ditinggalkan seorang diri tanpa pakaian yang patut. Tubuh mulusnya hanya ditutupi sejengkal kain dan basah kuyup. Di luar air, Chandni merasa kedinginan. Dia bersedekap memeluk tubuhnya yang menggigil. “Sialan!” rutuknya, memaki teman-teman yang mengerjainya. Sebenarnya bukan teman jika menjebaknya sedemikian rupa. Meninggalkannya seorang diri di tempat asing dalam keadaan nyaris telanjang. Bagaimana jika ada penyamun menangkapnya, menjadikannya benda tebusan atau lebih buruk, memerkosa lalu membunuhnya? Chandni cepat-cepat menggeleng. “Jangan berpikiran seperti itu Chandni! Apa yang kau pikirkan bisa benar-benar terjadi kalau kau terlalu memikirkan,” gumamnya. Chandni bergegas ke pepohonan untuk menyembunyikan diri. Dia terkindap-kindap dari balik batang ke batang pohon. Dia akan mencari dedaunan yang besar untuk dijadikan penutup tubuh lalu dia akan mencari jalan pulang ke sanggar. Satu hal yang tidak Chandni sadari, dia buta arah. Pepohonan yang tampak sama membuat Chandni terputar-putar dalam hutan. Gemeresik daun bergoyang dan penampakan kulit mulus, seorang pemburu mengira telah menemukan kijang buruan. Pemburu itu memasang anak panah pada busur dan menarik senarnya. Tangan kokoh menarik panah lalu melepaskannya. Anak panah tajam memelesat cepat menembus dedaunan. Suara pelesat udara membuat Chandni menoleh. Namun belum sempat dia mengetahui apa, rasa nyeri menyengat. Benda tajam bergerak sangat cepat menggores bahu kanannya. Chandni terpekik. “Kyaaah!” Tubuhnya doyong sehingga batang lapuk yang dipijaknya patah. Kakinya terpeleset dan tubuhnya terjerembap. Chandni terbaring di tanah menggeliat kesakitan. “Aduuuh ...,” erangnya sambil memegangi bahu yang terluka. Saat dia berusaha bangun, rasa sakit menyerang pergelangan kaki kanannya. Chandni terjatuh lagi. “Huuhuu, sakiiiit ...,” isaknya. Langkah cepat berderap mendekat. Chandni semakin ketakutan. Dia tidak bisa lagi membendung air matanya. Chandni menangis. Namun dia kembali terdiam, mematung menatap sosok yang muncul menyibak dedaunan. Seekor serigala berdiri tegap dengan busur di pundak, berpakaian berburu yang dilengkapi rompi kulit. Mata cokelat hewan buas itu menatapnya tajam. Terlalu terkejut, terlalu ketakutan, terlalu kesakitan, detak jantung Chandni menjadi tidak beraturan. Dia pingsan dan terkulai lemas di tanah. *** IMDAD Hussain, seorang pria muda berusia 24 tahun, panglima tertinggi tentara kerajaan Rajpur. Tangkas dalam berpedang dan pandai mengatur strategi berperang. Hari itu ia mengambil libur dan pergi ke hutan untuk berburu sebagai hiburan pengganti karena Sanggar Mohabbatein sedang tutup. Dan Imdad Hussain tidak menyesali keputusannya. Malahan, ia merasa Yang Maha Pencipta sedang berbaik hati padanya. Tidak setiap hari ia bisa memanah seorang gadis cantik di tengah hutan belantara. “Subhanallah,” katanya takjub melihat hasil buruannya. Sorot matanya menelusuri lekuk tubuh gadis itu. Kulit mulus yang diperlihatkan terlalu banyak, kain penutup tubuhnya terlalu minim. Gadis itu seperti perempuan dalam lukisan-lukisan Eropa dan kitab kuno kisah percintaan (dengan kata lain majalah porno tempo doeloe). Imdad menarik napas dalam untuk meredam hasratnya. Pria mana pun akan tergoda melihat tubuh semolek itu dan jika bukan dirinya yang menemukan, entah apa yang akan dilakukan laki-laki lain pada gadis itu. Imdad mengeluarkan kain lebar jubah beledunya dari dalam kantong kulit di punggung dan menggunakannya untuk menutupi tubuh gadis itu. Ia mengangkat gadis itu dan membawa dalam gendongannya menuju sungai. Di tepi sungai, Imdad membaringkan gadis itu di bebatuan landai. Ia meletakkan busurnya di sisi gadis itu lalu berjalan ke tepi sungai. Ia mengeluarkan belati dan menyobek kurta-nya untuk mendapatkan sehelai kain bersih. Ia membasahi kain itu lalu kembali pada si gadis dan mengelap sisa darah dari luka di pundaknya. Ia memeriksa luka itu. Untungnya, anak panahnya meleset dan hanya menggores kulit gadis itu. Sayangnya, luka itu cukup dalam untuk meninggalkan bekas. Ia menjadi gamam. Imdad akhirnya membalut luka itu dengan kain kurta. Imdad ke sungai lagi untuk mengisi kantung air. Ia membawa air untuk membasuh muka gadis itu. Dengan menadah air di telapak tangannya. Imdad membasahi wajah jelita yang terlelap. Gadis itu mengeluarkan desahan lemah. “Di mana ini?” Penglihatan Chandni serba putih. “Apa aku sudah mati?” Matanya mengerjap-ngerjap lalu memalingkan wajah karena silau. Suara seseorang menyahutnya dengan nada menyebalkan, “Belum, kau belum mati dan kita masih di sini, di tepi sungai.” Mendengar jawaban itu, Chandni tergegau dan mata terbuka lebar. Dia kembali terkesiap bertatapan dengan sang serigala lagi. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN