* Flashback On *
"Veldian..." Seorang perempuan menyapa pria yang tak kalah tampan dari Adrian yang ternyata bernama Veldian.
"Oh my angel..." ucap Veldian sembari memeluk perempuan yang menyapanya.
Mata Sherin harus kembali terbelalak saat melihat Veldian dan Lina berpelukan lalu mencium pipi kiri dan kanan secara bergantian. "Dia..." ucapnya ragu.
Lina segera melepaskan pelukannya dari Veldian dan mendekati Sherin. "Oh iya... Sherin, kenalkan. Ini anak mama yang bungsu, Veldian."
Lagi lagi Sherin membulatkan matanya sempurna, bahkan untuk menelan salivanya pun sulit. 'Wah, betapa beruntungnya mereka, selain tampan mereka juga di mempunyai seorang mama yang sangat baik seperti nyonya Lina. Bahagianya keluarga ini.' Batinnya.
Veldian mengembangkan senyum di bibirnya. "Ck..Ck..Ck.. Jadi ini yang akan menjadi kakak iparku?" Menggelengkan kepalanya pelan dengan tatapan terpukaunya.
Lina tersenyum mengangguk pelan, sementara Sherin yang masih tak menyangka bahwa Veldian adalah anak dari Lina dan Heri sekaligus adik kandung Adrian begitu terkejut mendengar ucapan yang di lontarkan Veldian, pria yang menyelamatkannya dari rasa malu akibat ulah Tiara yang sengaja merobek gaunnya.
"Haaa? Kakak iparmu?" Tanyanya dengan mata yang terbelalak.
"Emm..." Veldian dan Lina mengangguk bersamaan.
"Ma, apa dia belum mengetahuinya?" Tanya Veldian pada Lina.
Lina mengerutkan dahinya menatap Sherin. "Kau belum mengetahuinya? Bukankah suamiku telah mengatakannya padamu?" Bukannya menjawab pertanyaan Veldian, Lina justru balik bertanya pada Sherin.
Sherin menggeleng pelan, fikirannya hanya terbayang pada perkataan Heri yang terus mengatakan akan menikahinya. "Bu...bukannya, tuan He...ri yang aa..kan menikahiku?" Sherin Terbata bata.
Veldian dan Lina saling memandang dengan wajah yang serius, hingga akhirnya keduanya tertawa lepas hingga bahu keduanya terguncang.
"Hahaha...."
"Apa yang kau fikirkan, Sherin? Suamiku akan meikahimu? Astaga... Bagaimana bisa? Aku pasti akan mengusirmu sejak awal jika itu memang benar terjadi." Lina masih menahan tawanya hingga kepalanya menggeleng sembari menutup mulut dengan tangannya.
"Kau lebih pantas menjadi menantunya dari pada istrinya. Aku pasti akan menculikmu kalau saja papa berani menikahimu." Veldian tersenyum geli membayangkan Sherin dinikahi oleh papanya.
Berbeda dengan ibu dan anak itu, Sherin justru lebih berekspresi bergedik ngeri membayangkan ia akan menikah dengan Adrian. Pria dingin seperti Adrian akan menjadi suaminya. Lebih tepatnya, Sherin merasa tak sepadan jika dirinya dinikahi oleh pria dengan latar belakang yang terhormat berbeda dengan dirinya hanya seorang anak yatim piatu yang secara terang terangan di jual oleh sang paman.
"Tt...tapi... Bagaimana mungkin aku menikah dengan tuan Adrian?" Ucapnya tertunduk.
"Kenapa? Kau tidak mau? Atau, jika kau mau aku bisa menggantikan posisi Adrian. Hahaha..." Veldian menggoda Sherin.
Sontak Lina menepuk lengan Veldian dengan mata yang sedikit membesar hingga membuat Veldian menghentikan tawanya.
"Ya sudah. Ayo kita kesana, papa mu sudah menunggu kedatanganmu sejak tadi." Lina mengarahkan wajahnya pada sosok Heri yang berdiri tak jauh dari mereka.
Ketiganya berjalan mendekati Heri. Sherin yang masih tak percaya berjalam dengan perasaan yang tak menentu.
* Flashback Off *
"Vel, mau apa? Adrian tidak ada kaitannya dengan ini." Sherin panik hingga menaikkan sedikit volume suaranya.
"Adrian... Cepat buka." Kali ini Veldian sudah kehilangan kesabaran hingga tak mengaitkan kata 'kak' pada ucapannya.
Klak...
Pintu kamar terbuka lebar menampilkan sosok Adrian yang masih berpenampilan seperti terakhir kali bersama Sherin.
Tanpa basa basi terlebih dahulu, Veldian mendorong tubuh Adrian hingga tersudut ke dinding. "Kau... Apa yang sudah kau lakukan pada Sherin?"
Adrian mengerutkan dahinya, lalu menatap Sherin.
"Veldian, dengarkan aku. Demi tuhan, kakakmu tidak ada kaitannya sama sekali dengan luka ini." Sherin menarik tangan Veldian agar melepaskan Adrian.
Veldian tak percaya begitu saja dengan perkataan Sherin. Ia mengenal betul watak sang kakak yang terkadang suka bertindak kasar pada siapa pun orang yang tak di sukainya. "Kau jangan membelanya Sherin."
Adrian memutar bola matanya malas, ia terlalu lelah untuk meladeni Veldian yang bertindak kekanak kanakan itu, bahkan pada perempuan yang baru saja ia kenal. "Kau lebih membela perempuan ini dan memilih untuk menuduhku. Hah..."
"Kau ba-"
"Ini semua terjadi saat aku bekerja di club malam. Karena ini lah tuan Heri menyelamatkanku." Ucap Sherin begitu saja, matanya terlihat berkaca kaca, senyum getir terukir di bibirnya.
Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki tak beraturan mendekat ke arah kamar Adrian.
"Veldian, Adrian... Ada apa ini?" Suara berat milik pria paruh baya yang tak lain adalah Heri sang tuan rumah menggema di seluruh ruangan kamar berukuran besar itu.
"Astaga, kalian berdua." Sambung Lina menggelengkan kepalanya.
Kejadian yang mereka lihat sudah sering terjadi pada kedua kakak beradik kandung itu sejak keduanya masih berada di bangku sekolah, karena sifat keduanya yang sangat berbeda membuat mereka selalu bertengkar bila bertemu.
Veldian melepaskan tangannya dari lengan Adrian. "Pa, apa benar luka di pelipis Sherin terjadi saat dia masih bekerja di club malam?" Tanyanya karena merasa belum yakin sepenuhnya.
Heri mengangguk, "Ya, benar. Ada apa?"
Adrian menaikkan sebelah alisnya menatap sinis Veldian. "Masih belum yakin? Sepertinya kau juga perlu bertanya, bagaimana caranya papa membawa bocah ini pulang? Silahkan tanyakan."
"Adrian..." Ucap Lina sedikit membentak.
Sherin kembali menundukkan kepalanya. "Tidak masalah nyonya, tuan Adrian benar." Sherin menghela nafasnya sesaat. "Aku berada di rumah ini karena tuan Heri telah menyelamatkanku dari kejadian naas yang yang hampir merenggut kesucianku. Dan di saat bersamaan, pamanku setuju untuk menjualku pada tuan Heri seharga lima ratus juta." Sambungnya dengan suara yang bergetar.
Betapa terkejutnya Veldian mendengar penjelasan dari Sherin. Gadis cantik yang selalu terlihat kuat sejak belia itu nyatanya begitu rapuh. "Maafkan aku Sherin, aku tidak bermaksud apa apa."
Sherin mengedipkan matanya beberapa kali sebelum menaikkan kepalanya. Kini wajahnya di paksa untuk tersenyum seperti tak terjadi apa apa. "Tidak tidak... Kau tidak salah."
"Sherin, kenapa kau belum mengganti pakaianmu?" Tanya Heri mengalihkan pembicaraan saat mendapati jejak air mata yang terlihat di antara bulu mata lentik milik Sherin.
"Emm... Itu tuan. Aku..." Sahutnya terbata mencari alasan yang pas untuk di katakan pada Heri.
"Aku meyuruhnya keluar dari kamarku." Ucap Adrian jujur dengan wajah tanpa dosa.
Heri menggelengkan kepalanya kesal. "Papa yang menyuruhnya untuk tidur di kamar ini. Kenapa justru menyuruhnya keluar?"
"Jangan lupa bahwa ni kamarku. Aku berhak untuk mengusirnya dari sini kapanpun aku mau." Adrian tersenyum smirk melirik Sherin.
"Tapi dia perempuan Ad, kau sa-"
"Nyonya, tuan. Tidak apa apa, aku bisa tidur di kamar belakang saja. Nanti aku juga bisa meminjam baju Rika saja untuk mengganti pakaianku." Ucap Sherin memotong perkataan Lina.
"Kau tidur dikamarku dan pakai pakaianku saja. Besok aku akan mengajakmu pergi membeli pakaian." Veldian menarik tangan Sherin begitu saja meninggalkan Heri, Lina dan Adrian yang menatapnya heran.
"Eh... Tapi..." Sherin mengerutkan dahinya lalu menatap Lina sembari menganggukkan kepalanya seakan pamit.