Entah sudah seperti apa saat ini penampilan Sherin dengan rambut yang berantakan dan make up yang belum selesai di bersihkan.
Seperti setrikaan, Sherin bolak balik berjalan di depan meja hias kacanya.
"Ya tuhan... Ya tuhan... Bagaimana ini? Apa lagi yang bisa aku lakukan?" ucapnya terlihat panik.
"Apa benar yang dikatakan Veldian tadi? Bagaimana bisa dia? Apa sebenarnya yang akan dilakukan tuan Heri padaku? Kenapa dia tidak mengatakan sebelumnya padaku?" Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar dari bibir Sherin.
Sherin menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi kedua tangan terlentang. "Aaaa... Apa yang harus aku lakukan..." teriaknya frustasi.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan kasar terdengar dari luar kamar Sherin.
Sherin bergegas bangun dari kasurnya untuk membuka pintu kamarnya yang sengaja di kuncinya, tanpa merapikan dirinya yang sangat berantakan.
"Ya, sebentar," ucapnya seraya berlarian kecil untuk mencapai tuas pintu kamar.
Klak...
Pintu kamar terbuka, belum sempat Sherin bertanya tiba tiba tubuhnya telah terlebih dahulu di terobos masuk oleh Adrian dengan dahi yang mengkerut saat melihat wajah dan rambut Sherin yang berantakan.
"Eeeh... Kau..." ucapnya terkejut melihat Adrian yang dengan santainya masuk ke kamarnya sembari menarik koper miliknya.
Sepasang bola mata iris hitam pekat milik Adrian mengedar melihat seluruh isi kamarnya yang telah banyak berubah. Terutama pada bagian kasur dan meja rias yang di penuhi dengan perlengkapan kosmetik serta perhiasan dan aksesoris perempuan.
Tak lama Adrian berjalan menuju lemari pakaian, lalu membukanya secara kasar. Benar saja, lemari itu telah berganti menjadi lemari pakaian milik Sherin yang di penuhi oleh gaun gaun indah serta pakaian wanita lainnya.
"Ini milikmu?" tanya Adrian pada Sherin sembari menunjukkan sebuah bra berwarna pink cerah dengan tali yang tipis.
Sherin berlarian dengan wajah menahan malu mendekati Adrian dan mencoba menarik bra miliknya yang berada di tangan putra sulung Heri dan Lina itu.
"Itu... Itu... Milikku... Kembalikan..." Sambil melompat lompat berusaha mengambil alih bra miliknya dari Adrian, namun Adrian semakin menaikkan tangannya hingga sulit terjangkau oleh Sherin.
"Dasar bocah..." Melepaskan bra berwarna pink terang milik Sherin ke atas kepala Sherin. "Warnanya sungguh menyakitkan mataku," sambungnya.
Sherin mendengus kesal, sembari meletakkan kembali bra miliknya kedalam lemari dan menutupnya. "Kenapa kau masuk ke sini?"
"Aku yang seharusnya bertanya, kenapa kamarku di huni oleh orang sepertimu?" sahutnya menatap Sherin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gaun yang di kenakannya saat menghadiri acara beberapa jam yang lalu masih menempel di tubuh Sherin. Rambut yang awalnya tertata rapi kini justru terlihat begitu mengerikan seperti rambut singa yang baru bangun dari tidurnya. Terlebih make upnya yang masih belum selesai di bersihkan, membuat Adrian antara takut dan ingin tertawa.
"Ini kamarmu? Mana aku tahu. Setahuku saat aku membuka mata dari tidurku aku sudah berada di kamar ini, dan itu... Semuanya telah di siapkan oleh tuan Heri dan Nyonya Lina. Salahkan saja mereka kalau kau berani," ucap Sherin kesal.
Adrian tak menyahut, matanya masih sibuk menatap Sherin yang berantakan.
"Apa yang kau lihat?" tanya Sherin kembali sambil menutup d**a dengan kedua tangannya.
Bukannya menjawab, Adrian justru melepaskan jas miliknya dan melemparkan ke atas kasur begitu saja, lalu membuka kaitan kancing kemejanya dan melonggarkan dasinya.
Melihat itu, Sherin semakin menutup erat dadanya lalu mundur beberapa langkah. "Apa yang ingin kau lakukan?"
Dengan satu kali tarikan tubuh Sherin kini telah berada di atas kursi depan meja hias. "Bersihkan make up mu, kau terlihat seperti hantu yang belum siap untuk menakuti orang." Lalu meninggalkan Sherin begitu saja dan masuk ke dalam kamar mandi.
"Haah..." Sherin menghela nafas lega saat memastikan tubuh Adrian telah hilang di balik pintu kamar mandi.
Perlahan, Sherin membersihkan sisa make up di wajahnya hingga benar benar bersih dan polos. Wajah cantik alami Sherin terpancar saat itu. Bahkan dalam keadaan apapun perempuan itu tetap terlihat cantik, mungkin karena hatinya yang baik membuat Sherin memancarkan aura yang benar benar mampu mempesona siapa pun, terkecuali Adrian yang masih menganggapnya seperti bocah.
Kini Sherin telah memegang sisir di tangannya, tapi tangannya kesulitan untuk melepaskan aksesoris yang menempel di bagian belakang rambutnya. "Aduh, ini bagaimana lagi coba? Sepertinya aku harus meminta bantuan Rika."
Baru saja Sherin hendak berdiri dari duduknya, tiba tiba tangan Adrian telah terlebih dahulu berada di bagian belakang rambut Sherin dan melepaskan secara perlahan aksesoris yang terpasang di rambut Sherin.
"Emm... Terima kasih," ucap Sherin gugup.
'Sumpah demi apa? Itu roti sobek benar benar sexi sekali, belum lagi rambutnya yang basah itu. Uhh... So sexi...' Sherin membatin terpesona melihat ketampanan Adrian yang hanya memakai celana pendek dan handuk kecil yang masih melingkar di lehernya.
Tangan Sherin bersiap untuk menyisir rambutnya, tapi lagi lagi Adrian mengambil alih sisir itu dan menyisirkan rambut Sherin dengan penuh hati hati, berbeda dengan perlakuannya pada Sherin beberapa jam lalu saat berada di sebuah acara yang juga di hadiri oleh Lina dan Heri.
"Eeh... Kemarikan, biar aku saja yang menyisir rambutku," ucap Sherin salah tingkah.
Sepertinya Adrian tak tertarik dengan perkataan Sherin. Dia lebih memilih untuk melontarkan kata tanya pada Sherin.
"Kau sudah mengetahuinya?" tanya Adrian santai tanpa menghentikan aktifitasnya menyisir rambut Sherin.
Sherin terdiam sejenak, kepalanya tertunduk sambil menggigit bibir bawahnya sendiri akibat gugup.
"Aku rasa, Veldian telah memberitahumu bukan?" Adrian kembali bertanya.
Sherin mengangguk pelan. "Kau tenang saja tuan. Aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tuamu untuk membatalkan pernikahan itu. Atau aku ak-"
"Aku ingin menawarkan kerja sama denganmu," ucap Adrian memotong perkataan Sherin sembari menatap Sherin dari dalam kaca yang ada di hadapan keduanya.
Mendengar itu, kepala Sherin segera naik kembali menatap ke dalam kaca hingga beradu tatap dengan Adrian. "Maksudmu?" tanyanya bingung bersamaan mengerutkan dahinya.
Adrian tersenyum smirk, tanpa mengatakan apapun ia meletakkan sisir di atas meja hias dan menarik tangan Sherin berjalan mendekati pintu kamar.
"Eeh... Mau kemana? Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Sherin degan langkah yang terburu buru mengikuti langkah Adrian yang mendahuluinya.
Adrian membuka pintu kamarnya dan melepaskan tangan Sherin tepat di luar pintu kamarnya. "Besok aku akan memberitahumu." Lalu bergegas untuk menutup pintu kamar.
"Tt...tapi... Itu..." Sherin mendorong pintu kamar dengan kepala yang setengah masuk.
Adrian menatap dengan sebelah alis yang terangkat tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Itu, aku... Aku tidur dimana?" tanyanya bingung.
Adrian tersenyum manis, "Di taman belakang ada kursi panjang. Kau bisa tidur di sana." Lalu menutup pintu kamar dengan kasar hingga membuat Sherin terkejut dan memejamkan matanya.
"Hiiisss... Dasar pria gila," ucapnya kesal.
"Sherin..." sapa Veldian dari belakang.
Sherin menoleh ke belakang, wajahnya masih terlihat begitu kesal. Namun ia masih berusaha untuk tersenyum ramah pada Veldian. "Hei... Vel."
"Kenapa berdiri di sini?" tanya Veldian setibanya di hadapan Sherin.
Sherin menggeleng pelan. "Aku sepertinya salah menempati kamar."
Veldian tersenyum tipis, rambutnya yang sedikit panjang ala ala boyband korea membuat penampilannya terlihat lebih santai dari pada Adrian.
Namun, senyumnya menghilang saat matanya tertuju pada sudut pelipis mata Sherin yang memar dan meninggalkan bekas luka kecil. "Siapa yang menyakitimu? Apa Adrian yang melakukannya?" tanya Veldian kesal.
Sherin menggeleng dengan cepat. "Bukan, bukan dia."
Tak memperdulikan ucapan Sherin, Veldian kini telah mengetok pintu kamar Adrian dengan kasar. "Kak... Kak... Buka pintunya," teriaknya.
"Vel, mau apa? Adrian tidak ada kaitannya dengan ini."