"Tiara..." Ucap Adrian saat tiba di hadapan kedua perempuan yang ia kenali.
"Eh... Kau ada di sini juga?" Tiara mendekati Adrian lalu mengambil satu cup minuman di tangannya. "Kebetulan sekali, aku sangat haus." Sambungnya dengan wajah berpura pura.
Sherin melirik wajah Tiara yang seolah olah tidak melakukan apapun. Ingin sekali Sherin mengacak acak wajah cantik Tiara yang di warnai dengan polesan make up. Namun Sherin tidak akan bertingkah bar bar seperti Tiara ataupun sahabatnya Alika. Gadis itu tidak suka menjatuhkan harga dirinya dengan cara memalukan seperti itu.
Adrian baru menyadari jika setengah tubuh atas bagian kanan Sherin telah basah. "Kau kenapa Sherin?" Tanyanya saat Sherin membalikkan tubuhnya untuk mengambil tisu yang terletak di atas meja.
"Tadi di-"
"Ah itu sayang, dia tadi tidak sengaja menabrakku dan minuman yang ada di tanganku tertumpah mengenai bajunya." Dusta Tiara memasang wajah memelasnya.
Sherin memutar matanya malas, jengah melihat tingkah Tiara yang membalikkan fakta sebenarnya.
"Kenapa kau ceroboh sekali, apa kau tidak bisa bertindak hati hati?" Entah kenapa Adrian menjadi ketus seperti itu. Padahal Sherin sama sekali tidak melakukannya. "Ayo pulang." Sambungnya.
"Ad, apa kau bisa mengantarku pulang? Aku takut, di luar ada beberapa wartawan yang sedang mengikutiku." Dustanya lagi pada Adrian agar Adrian bisa bersamanya.
"Tapi aku harus me-"
"Aku bisa pulang sendiri. Kau temani saja dia." Sherin menyela ucapan Adrian.
Sherin bergegas mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja tempatnya menunggu Adrian dengan sebelah tangan yang terus melonggari kemeja tipisnya agar tak terlihat bagian dalam dadanya.
Dari arah belakang tiba tiba sebuah jaket melingkari punggung Sherin. "Pakai ini." Lalu memegang kedua lengan Sherin untuk berdiri sempurna.
'Suara ini. Ya tuhan, anak ini benar benar keras kepala.' Batin Sherin menggeram.
"Kev-"
"Jangan menolakku untuk kali ini. Kau tidak ingin semua orang melihat kau seperti ini kan?" Bisik Kevin di telinga Sherin.
Sherin menatap Kevin dalam, seketika kekesalannya pada Kevin mulai meredam. Setiap kata kata Kevin seperti menjadi obat tersendiri bagi Sherin, hingga ia pun mengikuti perkataan Kevin.
'Wah, sepertinya pria ini bukan orang biasa. Melihat dari tampilannya saja aku bisa menduga jika dia sama berkelasnya dengan Adrian. Hebat juga gadis cupu ini bisa menjerat pria pria kaya.' Tiara membatin heran sembari memperhatikan Kevin dan Sherin.
Disaat yang bersamaan, Adrian melihat sinis perhatian manis yang di tunjukkan oleh Kevin. Ada perasaan marah di dalamnya, namun marah yang diartikan seperti apa entahlah. Hanya dirinya yang mengetahui persis.
"Sherin, aku a-"
"Ad, ayo... Aku merasa ada wartawan yang sedang mengikutiku saat ini." Tiara kembali menggagalkan niat Adrian yang sebenarnya ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya saat itu.
"Aku akan mengantarkan Sherin pulang." Ucap Kevin pada Adrian dengan kekesalan di wajanya lalu mengancingkan reseleting jaket yang menutupi tubuh Sherin yang basah.
Keduanya lalu pergi meninggalkan Adrian dan Tiara. Tanpa mengatakan sepatah katapun Sherin berlalu begitu saja, bahkan ia sudah tak memperdulikan Tiara yang kegirangan karena misinya berhasil.
*****
"Sekarang mai bagaimana?" Tanya Sherin pada Kevin.
Kini keduanya hanya bisa duduk manis di dalam mobil Kevin karena tak memiliki arah untuk mengantarkan Sherin pulang.
Kevin tersenyum tipis sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Mau bagaimana lagi? Aku ingin mengajakmu makan tapi kau tidak mau. Aku ajak ke mall juga tidak mau. Ya sudah kita di sini saja." Sahut Kevin enteng.
Sherin memijat pangkal hidungnya sembari menghela nafas beberapa kali. Hari ini banyak hal yang benar benar menguras kesabaran Sherin. Mulai dari di kagetkan kondisi sang paman yang mengalami luka serius, lalu berdebat dengan Adrian dan Kevin, kesengajaan Tiara yang menumpahkan minuman di tubuhnya hingga saat ini terjebak di dalam mobil bersama Kevin karena tak tahu alamat pasti rumah Lina.
"Pinjamkan aku chargermu." Ucap Sherin pelan tanpa melihat Kevin.
Dengan cepat pria berkulit putih itu megambil ponsel dari tangan Sherin dan segera menyambungkannya ke charger yang tersedia di dalam mobil yang tak kalah mewah dari milik Adrian.
Baru saja Sherin menyalakan ponsel miliknya, telah banyak pesan singkat via whats app yang masuk serta beberapa panggilan yang tak terjawab selama ponselnya mati. Termasuk dari Kevin dan Veldian
Tak perlu menunggu lama, sesuai dengan apa yang di harapkan Sherin akhirnya Veldian menghubunginya.
Sherin memberitahukan posisi keberadaannya saat itu dan meminta tolong pada Veldian untuk menjemputnya. Sebenarnya Sherin bisa saja meminta alamat lengkap kediaman keluarga Heri saat itu, tapi kekhawatirannya pada Kevin yang bisa bertindak nekat jika mengetahui keberadaan tempat tinggalnya saat ini membuat Sherin mengurungkan niatnya dan lebih memilih agar Veldian menjemputnya.
"Sher, kau kenapa? Sebegitu bencikah kau denganku?" Kevin masih tak terima dengan perubahan sikap Sherin yang sangat tiba tiba hanya karena dirinya akan menikah dengan keluarga yang telah membelinya dari sang paman.
"Aku mohon Kev, plis. Hargai keputusan aku yang akan menikah dengan Adrian." Sherin tetap memilih untuk egois dalam hal ini.
Jika hubungannya dengan Kevin berlanjut, ia takut akan ada masalah besar yang akan menyerang Kevin dan Sherin. Siapa yang ingin berpisah dengan orang yang telah bertahun tahun menemani dengan penuh perhatian dan kasih sayang? Rasanya tidak ada yang menginginkannya, begitu juga Sherin. Tapi apa mau di kata, ini harus terjadi demi kebaikan keduanya.
"Sampai kapan kau akan membohongi perasaanmu Sher? Aku yakin pernikahanmu hanya sebatas kontrak dan tidak akan bertahan lama." Sebuah senyuman terpahat di wajah Kevin, senyuman yang begitu sulit di artikan itu mampu membuat Sherin terdiam seribu bahasa.
Jantung Sherin berpacu dengan cepat, di hatinya terdalam seperti merasakan sesuatu yang begitu aneh. Seperti belati sedang menancap tepat di jantungnya bahkan lebih sakit dari pada itu hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas. Kali ini Sherin benar benar tak bisa berkata kata, lidahnya terasa kelu. Sekedar untuk mengatakan tidak saja tak mampu terucap olehnya.
'Kenapa dadaku terasa sakit sekali. Apa yang salah denganku?' Tanyanya dalam hati seraya meremas kuat ujung jaket milik Kevin yang terpakai di tubuhnya.
"Kenapa diam? Yang aku katakan benar bukan?" Sambung Kevin masih dengan senyum yang sama bahkan kali ini tatapan tak lepas sedikitpun dari sepasang mata indah Sherin seperti sedang mencari kebenaran di dalamnya.
Beruntung suara ketokan dari kaca jendala di sebelah Sherin menyelamatkannya dari situasi yang menegangkan itu. Sherin bergegas membuka pintu mobil saat melihat Veldian telah berdiri menunggunya.
"Kenapa wajahmu pucat?" Tanya Veldian tepat saat Sherin keluar dari dalam mobil.
Sherin menggeleng pelan dengan senyum terpaksa.
"Sherin." Panggil Kevin sebelum Sherin menutup pintu mobil.
Sontak saja Veldian dan Sherin menoleh pada Kevin secara bersamaan.
"Aku akan menunggumu sampai kontrak pernikahanmu selesai. Kembalilah kepadaku segera."
"Maksudmu?" Ucap Veldian tiba tiba. Tak cukup waktu lama bagi Veldian mencerna kata kata yang keluar dari mulut pria yang belum di kenalnya itu. "Kurang ajar..." Geramnya lalu berjalan memutar bagian depan mobil berlogo kuda jingkrak itu.