"Alika, coba kau jelaskan padaku. Apa sebenarnya akan Kevin lakukan bersama pamanku?" tanya Sherin sembari memperhatikan pergerakan Kevin dan pamannya dari jarak jauh.
Alika menggelengkan kepalanya, perempuan yang memiliki lesung pipi itu sama terkejutnya dengan Sherin saat melihat keberadaan Kevin bersama Romi dan dua orang lainnya yang terlihat seperti preman itu.
"Sumpah demi apa pun, aku tidak tahu. Kevin hanya mengatakan padaku jika dirinya akan segera menjual mobilnya untuk membawamu kembali dari keluarga itu. Aku juga tidak menyangka jika Kevin akan menemui pamanmu," ucap Alika jujur.
Mata Sherin terbelalak mendengar pengakuan dari Alika mengenai Kevin. Gadis itu tak habis pikir dengan jalan fikiran Kevin yang masih bersikeras untuk membantunya terlepas dari keluarga Heri.
"Apa katamu? Jadi dia benar benar akan menjual mobilnya?" tanya Sherin kembali.
"Aku rasa sudah terjual, kau lihat saja di sekitar sini tidak terlihat mobil Kevin. Yang ada hanya sebuah motor besar yang sering di gunakan Kevin. Aku rasa itu miliknya." Alika mencoba membaca situasi yang terlihat di depan matanya.
'Benar juga, setahuku... Itu memang motor Kevin.' Batin Sherin.
Sherin tak ingin menunggu lama lagi, ia khawatir jika sang paman akan kembali berbuat ulah dan menjadikan Kevin sebagai bahan baru untuk di jadikan uang.
Dari kejauhan terlihat Kevin sedang menunjukkan sesuatu di dalam isi tas yang berada di tangannya. Sherin melihat dengan jelas sang paman yang memasang senyum sarkas seperti yang sering dia lakukan saat matanya melihat benda yang selalu menjadikannya gila, apalagi kalau bukan uang.
"Ah, sial. Kenapa kau harus berurusan dengan pamanku?"
"Si tua itu, dalam kondisi tubuh yang belum stabil saj masih bisa memikirkan uang. Kenapa tidak KAU cabut saja nyawanya, Tuhan." Alika berdecak kesal.
Alika secara spontan menerima tatapan tajam dari Sjerin yang berada di sampingnya. Drngan cepat Alika menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena merasa kecplosan telah mengatai paman sahaatnya itu.
"Iya iya, maaf... Ayo cepat kita susul kesana." Alika menarik tangan Sherin.
Sayang sekali, langkah mereka terlalu lambat untuk mendatangi Kevin dan paman Sherin. Keempat laki laki itu telah pergi meninggalkan tempat itu menggunakan motor yang mereka bawa, kecuali paman Sherin yang di bonceng oleh Kevin.
"Kevin... Kevin... Paman..." teriak Sherin sambil berlarian.
"Hah... Hah... Hah... Sher, stop... Percuma saja, mereka tidak mendengar kita." ucap Alika menghentikan langkahnya dengan nafas yang terengah engah.
Sherin terus berlari hingga akhirnya ia terjatuh karena kakinya tersandung batu.
"Aww..." Sherin meringis kecil sembari memegangi pergelangan kakinya.
"Sherin... Kau kenapa?" Alika berlari kembali mendekati Sherin.
Hiks... Hiks... Hiks...
Sherin menangis, kali ini air matanya benar benar tak bisa lagi terbendung di hadapan sang sahabat.
"Kenapa? Kenapa tuhan? Kenapa hidupku selalu mendapatkan masalah? Apa aku tidak berhak bahagia? Kenapaaa..." Memukul mukul rerumputan yang menjadi lantai tempatnya saat ini.
Isakan tangis yang terdengar begitu menyedihkan dari bibir Sherin nyatanya membuat Alika juga meneteskan air mata. Di raihnya tubuh Sherin yang tertunduk pilu, di peluknya erat sahabatnya itu, terlihat jelas air matanya menganak sungai hingga membasahi celana bagian pahanya.
"Sher, jangan bicara seperti itu. Kau harus kuat, semua akan baik baik saja," ucap Alika terdengar lirih di balik pelukannya.
Sebagai seorang sahabat, Alika mengerti apa yang tengah di rasakan oleh Sherin. Menjadi seorang anak yatim piatu saja sudah merupakan beban berat yang harus di jalani Sherin, di tambah masalah yang seakan tidak pernah bosan menghampirinya membuat kehidupannya yang tidak seberuntung kebanyakan gadis lain.
Alika melepaskan pelukannya, di raihnya wajah Sherin dengan kedua tangannya lalu di tatapnya mata sang sahabat yang masih mengeluarkan bulir bening dari dalamnya.
"Aku akan selalu membantumu Sher, dukamu juga akan menjadi dukaku. Kau jangan menangis lagi, oke..." Sambil menyeka air mata Sherin dengan kedua tangannya.
'Jika saja kau tidak ada, aku tidak tahu akan seperti apa aku sekarang Al. Aku benar benar sendiri. Selain kau tidak ada satu orang pun yang ku punya, mereka menginginkanku hanya untuk kepentingan mereka saja.' Batin Sherin dengan segala kesedihannya.
"Ayo kita pulang. Kau berdiri perlahan..." ucap Alika yang telah berdiri terlebih dahulu.
"Aww... Kakiku sepertinya terkilir. Sakit sekali Al..." Sambil memegang pergelangan kakinya, Sherin menahan rasa sakitnya dengan menggigit bibir bawahnya.
"Kau duduk saja, jangan bergerak. Aku akan menelfon taksi sebentar," ucap Alika yang kembali berjongkok melihat kaki Sherin sembari mengotak atik ponsel miliknya untuk memanggil taksi.
Sherin terus memegangi kakinya, sampai akhirnya sebuah tangan kekar menggendong tubuh rampingnya dari arah belakang.
"Ehh.. Kau siapa? Turunkan a-"
"Diamlah, jangan banyak bergerak." Suara bariton milik Adrian menghentikan ucapan Sherin.
"Kau... Kau... Hei mau kau bawa kemana Sherinku?" teriak Alika yang tak kalah terkejut dengan Sherin saat melihat Adrian yang muncul entah dari mana dan langsung mengangkat tubuh Sherin.
Adrian tak menjawab, dengan tatapan yang terfokus kedepan ia terus melangkahkan kakinya untuk mencapai mobil miliknya, dengan Sherin yang melingkarkan kedua tangannua di leher Adrian, laki laki itu seperti tidak memiliki beban apapun. Di iringi Alika yang mengekori keduanya dari belakang sambil terus mengumpati Adrian dalam hati.
Setibanya di mobil berlogo bintang tiga milik Adrian, Alika berinisiatif membukakan pintu mobil Adrian.
Adrian meletakkan tubuh Sherin pada kursi penumpang sebelah pengemudi, lal mengambil kotak yang berisikan peralatan kesehatan dan obat obatan di dalamnya.
"Ini sakit?" tanya Adrian datar sembari menekan bagian kaki Sherin yang terkilir.
'Apa lagi kalau bukan sakit? Kau pikir rasa kaki yang terkilir itu enak? Dokter aneh.' Batin Sherin mengumpat.
"Eem..." Sembari meganggukkan kepalanya.
Sherin berusaha menahan rasa sakitnya dan tak meringis kesakitan saat tangan Adrian dengan lihai memakaikan obat semprot serta perban di kakinya.
Sementara Alika yang melihat, beberapa kali memejamkan matanya seperti ikut merasakan sakit yang sedang di rasakan sahabatnya itu.
Tak butuh waktu lama bagi Adrian untuk menuntaskan pekerjaannya. Adrian kembali menaruh kotak peralatan kesehan kebagian belakang mobilnya.
"Hei Sherin... Dia kah dokter yang akan menjadi calon suamimu itu?" tanya Alika berbisik pada Sherin.
Sherin hanya berdehem di iringi anggukan kepalanya.
"Waw... Pesonanya benar benar nyata. Wajar saja jika Kevin terbakar api cemburu sampai sampai merelakan mobil kesayangannya di jual untuk mendapatkanmu kembali." Alika menjadi mengerti apa yang dilakukan oleh Kevin.
"Ssstt... Diamlah Al. Jangan bandingkan mereka," ucap Sherin sembari memijat mijat pangkal hidungnya.
"Ayo naik," ucap Adrian tanpa menoleh pada Alika.
Alika menoleh ke kanan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu.
"Siapa? Aku?" tanya Alika pada Adrian sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Memangnya, selain kau disana siapa lagi? Hantu?"
Mendengar itu, Sherin menipiskan bibirnya dengan sempurna menatap Alika yang justru menampilkan wajah masamnya.
"Ah, aku..."
"Alika, ayo naik..." ucap Sherin menggoyangkan tangan Alika.
Tiba tiba sebuah taksi berhenti di hadapan mobil Adrian hingga membuat Alika tersenyum lebar.
"Ah tidak perlu. Itu taksinya sudah datang. Nanti aku akan menelfonmu Sher. Bye..." Alika berlari kecil meninggalkan Sherin begitu saja.