"Huaaaaah..." Sherin menggeliat di atas kasur sambil merentangkan kedua tangannya ke atas.
Gadis itu sepertinya benar benar menikmati tidur malamnya, matanya terpaksa harus terbuka saat suara deringan nada di ponselnya.
"Siapa yang menelfon pagi pagi seperti ini?" Suaranya terdengar parau akibat kesadarannya yang belum terkumpul sepenuhnya.
Tangan Sherin merayap ke sebelah bantal yang sedang menjadi alas kepalanya. Di raihnya benda pipih berukuran enam senti meter itu lalu menjawab telfon.
"Halo..."
"Sherin... Kau kemana saja? Kenapa aku begitu sulit untuk menghubungimu?" Terdegar teriakan Alika dari seberang sana.
Sherin menjauhkan ponselnya dan menekan tombol loudspeaker lalu menekan nekan telinganya yang berdenging akibat teriakan suara Alika dari dalam ponsel miliknya.
"Kenapa sih Al? I'm fine..." sahut Sherin santai.
"Fine, fine, fine... Enak saja kau bicara seperti itu. Aku baru saja melihat salah satu situs media tentang foto foto scandal kalian. Astaga... Kapan sih Sher hidup kau bisa tenang, aman dan tenteram? Apa keluarga konglomerat itu benar benar menyusahkanmu? Sampai sampai kau harus menanggung akibat seperti ini?" Apa perlua aku turun tangan?" Cerocos Alika dengan suaranya yang melengking di iringi nada kekesalan.
"Ck... Ck... Ck... Besar sekali nyalimu Al? Aku sampai sampai bergedik ngeri mendengarnya."
"Ais, apa kau lupa bahwa aku bisa bela diri? Tentu saja aku akan melindungi sahabat baikku." Alikan terus mengoceh kesal.
"Sudahlah, apa kau tidak lelah?" tanya Sherin yang mulai beranjak dari tidurnya.
"Ah, itu tidak penting. Aku ada kabar yang sangat penting untukmu saat ini. Kevin kabur dari rumahnya setelah bertengkar dengan mamanya karena gosip yang telah beredar di media."
"Apa? Kabur kemana dia? Kenapa pria itu begitu keras kepala?" Sherin hampir melempar ponselnya mengingat sikap Kevin yang sangat keras kepala itu.
"Aku juga tidak tahu persis. Apa kita bisa bertemu?"
Sherin terdiam sesaat, gadis itu tidak yakin apakah bisa keluar dari rumah itu atau tidak, mengingat perkataan Heri yang tak memperbolehkan dirinya untuk pergi sendirian dari ruamh itu.
"Entahlah Al, aku tidak yakin. Tapi aku berusaha agar di beri izin untuk menemuimu."
"Baiklah, jika kau bisa segera kabari aku. Nanti akan ku kirimkan lokasi tempat kita bertemu," ucap Alika.
"Baiklah, sampai jumpa." Sherin mengakhiri obrolan keduanya dari dalam telfon.
Gadis itu turun dari atas kasur dan bergegas untuk membersihkan dirinya. Sherin tahu betul sifat Kevin yang tak pernah main main dengan ucapannya. Walaupun Kevin orang yang selalu berhati hati dalam bertindak, namun tidak serta merta membuatnya untuk selalu patuh dengan apa yang di inginkan kedua orang tuanya.
Tak butuh waktu lama bagi Sherin untuk tampil segar kembali. Menggunakan celana jeans dan kaos longgar berlengan panjang, serta rambut yang diikat keatas Sherin kembali terlihat seperti gadis biasa. Meskipun begitu, tidak sedikitpun menutupi kecantikan alami yang di miliki Sherin.
Sherin hanya mempunyai satu cara untuk bisa keluar dari rumah mewah itu. Veldian, ya hanya Veldian lah yang bisa membantu Sherin untuk keluar dari rumah itu.
Jika Sherin beruntung, ia akan bertemu dengan Veldian saat itu juga. Sherin telah berdiri di depan pintu kamar Veldian, tangannya tengah bersiap untuk menggedor pintu kamar berwarna putih yang masih tertutup rapat itu.
Ceklak...
Pintu kamar Veldian telah terbuka terlebih dahulu sebelum Sherin mengetuknya.
Veldian terkejut dan hampir saja menanarak tubuh ramping Sherin yang berdiri di depan pintu kamarnya. "Astaga... Sherin... Mengagetkanku saja..." Sambil mengelus dadanya pelan.
Sherin memasang senyuman yang mematikan, senyuman yang seakan mampu membuat Veldian terhipnotis. "Vel, apa kau akan pergi bekerja?" tanya Sherin tanpa basa basi.
Veldian menganggukkan kepalanya mantap seraya tersenyum.
"Emm... Apa aku boleh ikut?"
"Kali ini kau mau kemana lagi? Bukankah kau tidak boleh pergi kemana mana?"
"Aku tahu, tapi ini sangat penting. Aku mohon, bantu aku Vel. Plis..." pinta Sherin dengan wajah nemelasnya.
"Tidak bisa... Aku tidak ingin kau semakin di marah papa. Lagi pula kau mau kemana? Kau belum benar benar pulih." Veldian menatapnya dalam, mencoba menelisik dari kejujuran mata Sherin.
"Aku ingin bertemu sahabatku Vel, sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya."
Setelah cukup lama meyakinkan Veldian di depan pintu kamar Veldian, akhirnya Sherin berhasil membujuk Veldian untuk membantunya. Setelah mendapat izin dari Lina, keduanya bergegas menuju alamat yang telah di kirimkan oleh Alika.
*****
"Kau yakin di sini tempatnya?" tanya Veldian ketika mobil yang di kendarainya terhenti tepat di depan sebuah cafe yang belum pernah mereka datangi sebelumnya.
Sherin memeriksa kembali pesan dari Alika yang berisikan alamat yang tertera dalam ponsel miliknya. Beberapa kali kepalanya menatap layar ponsel dan cafe tersebut secara bergantian sebelum kepalanya benar benar mengangguk yakin, "Iya, tidak salah lagi."
"Apa kau ikut turun Vel?" Sherin menawarkan pada Veldian agar pria itu yakin jika dia tidak sedang membohonginya.
"Aku ingin, tapi sayangnya aku tidak bisa. Pagi ini ada beberapa urusan di perusahaan yang tidak bisa aku tinggalkan." Veldian melirik Arloji mahal yang melingkar di tangannya.
Sherin tersenyum, "Baiklah, tidak apa apa. Terimakasih sudah membantu ku untuk kesekian kalinya." ucapnya tulus.
Veldian mengelus pucuk kepala Sherin, senyumnya kembali merekah, "Jika ada sesuatu, segera hubungi aku. Dan ingat, jangan lagi kau menemui pamanmu itu. Kau tahu sendiri akibatnya jika papa mengetahuinya." Veldian mengingatkan Sherin.
Sherin sangat mengerti tentag kekhawatiran Veldian pada dirinya, Sherin sebenarnya memang telah berniat akan mengunjungi aang paman ke rumah sakit setelah bertemu dengan Alika. Tapi sepertinya niat itu tidak akan terealisasi setelah mendengar peringatan dari Veldian.
"Siap bos..." Menganggkat tangan kananya dan meletakkannya di sudut pelipisnya membentuk gerakan hormat.
Gadis itu turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya memasuki sebuah cafe berukuran sedang itu. Matanya mengedar untuk mencari keberadaan sahabatnya, Alika. Matanya berbinar saat mendapati sosok Alika yang tengah duduk di sudut ruangan cafe itu sembari melambai lambaikan tangannya.
Belum sempat Sherin duduk, Alika dengan buru buru mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.
"Al, kita mau kemana? Kenapa terburu buru seperti ini?" tanya Sherin pada Alika yang menarik tangannya sembari berlari kecil.
"Nanti kau akan tahu, sekarang kita harus cepat sampai. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kevin." Alika terus menarik tangan Sherin untuk mengikutinya.
Keduanya tengah berjalan menyusuri jalanan yang jauh dari lalu lalang kendaraan.
Setelah berjalan selama kurang lebih delapan belas menit, dari kejauhan Sherin bisa melihat beberapa orang yang berpakaian lebih mirip seperti preman sedang berdiri di hadapan Kevin. Tak lama, Sherin kembali di kejutkan dengan kehadiran pamannya.
"Itu, itu Kevin dan pamanku? Sedang apa mereka disana?" tanya Sherin penasaran.