Dante menertawakan pendapat Sylvia soal organ pejantan Andreas. "Ini pertama kali aku mendengar komentar buruk soal keperkasaan Andreas. Kau tahu, orang-orang akan mengatakan hal buruk soal kelakuannya, tetapi tidak pernah soal kelelakiannya."
Sylvia meringis tidak senang pada pria itu. "Apa pun yang berkaitan dengan Andreas aku membencinya dari lubuk hati yang paling dalam."
Sylvia lalu memandangi Andreas. Dengan kebiasaannya mabuk-mabuk dan gonta-ganti pasangan, kemungkinan besar Andreas akan terserang beragam penyakit dan tidak akan berumur panjang. Sudah ada contohnya pria di desanya yang meninggal di usia 30an karena keracunan alkohol. Lagi pula seandainya tidak sakit pun, orang mabuk mudah sekali kecelakaan atau dicelakakan. Jika Andreas tidak mati karena penyakit, dia akan mendorong Andreas sehingga jatuh dari tangga ataupun melompat dari balkon.
Membayangkan Andreas tersingkir dengan mudahnya dan dia akan bebas sambil mengantongi seluruh harta Andreas membuat Sylvia gembira bukan main. "Huahahah ...." Dia tertawa sendiri.
“Anda tampak senang sekali, Nyonya. Apa kira-kira yang membuat Anda gembira?” tegur Dante.
Sylvia segera menutupi kebahagiaannya dengan decakan ketus. “Aku hanya merasa miris melihat kehidupan Viscount Bournemouth yang tersohor ini. Ia sepertinya tidak tentu arah. Bukannya aku peduli pada kebahagiaannya, tetapi aku banyak melihat pria sepantaran Andreas hidup lebih baik.”
Dante bertepuk tangan atas kedewasaan berpikir Sylvia. “Tidak pernah saya bertemu dengan gadis yang sangat kritis seperti Anda, Nyonya. Kau seperti wanita berusia 40 tahun lebih ... perawan tua yang tidak pernah mencecap hubungan romantis antara pria dan wanita.”
“Ah, sialan!” gerutu Sylvia yang cukup sensitif jika menyoal umur. Apakah umur harus menentukan kedewasaan pikiran seseorang? “Kau mengolokku seperti itu, memangnya kau sendiri berapa umurmu?”
“28.”
“Andreas?”
“29.”
Wah, sedikit lagi 30. Hehehe. “Eva?”
“18.”
Kening Sylvia terangkat mendengar jawaban itu. Dia tidak mengira mereka sepantaran. Eva terlihat lebih matang dan berpengalaman darinya.
“Kenapa? Apa kau mencoba memperkirakan kapan kami mati?” kecam Dante. Sylvia langsung mendengkus. Kenapa mesti ada pria seperti Dante yang penuh kecurigaan dan juga sangat mengganggu?
“Apa aku satu-satunya pihak yang menginginkan kematian kalian? Sepertinya tidak.”
"Hehe, kau cukup pintar membaca situasi. Aku menyukainya,” ungkap Dante. “Aku rasa kau cukup paham apa yang boleh dan tidak boleh kau lakukan di rumah ini.”
“Tentu. Aku adalah tawanan di rumah ini. Benar ‘kan?”
Dante tersenyum lebar menampilkan gigi taringnya yang berkilau seperti mata pisau yang biasa dimainkannya. “Selamat menikmati keramahtamahan kediaman kami, Nyonya!”
Sylvia mendengkus kesal. Tangan bersedekap dan bibir terkatup rapat. Dia berbalik meninggalkan ruangan nudisme tempat Andreas menghabiskan malamnya. Dia pun berjalan menuju pintu depan.
Namun baru selangkah berada di luar pintu, Blacky dan Darky datang sambil menggonggong keras.
“Kyaaah!” Sylvia terpekik. Dia lekas-lekas masuk dalam rumah lagi dan menutup pintu lalu tersandar di baliknya. Geraman kedua anjing penjaga dan cakaran mereka di pintu terdengar jelas. Napas Sylvia tersengal karena terkejut. Suara tawa Dante menambah kekesalannya. "Kau senang sekali melihat orang kesusahan, Tuan Dante," ketus Sylvia.
"Kesusahan Anda adalah kesenangan saya," tukasnya diiringi sengiran gembira.
“Sialan,” desis Sylvia. Dante pun melenggang ke dalam rumah sambil tertawa terbahak-bahak.
Saking kesalnya dan tidak tahu cara melampiaskan, Sylvia menangis berderai air mata dengan suara meraung. “Hu hu hu hueeeee, hueeeee ....”
Mendengar tangisan itu merambat ke gendang telinganya seperti suara cakaran menggerit kayu, Andreas setengah sadar bangun dari tidurnya. Pria dengan tubuh sepolos bayi baru lahir itu menggerundel sambil menutupi kedua telinganya. “Ampuuun, anak siapa itu yang menangis? Cepat suruh diam! Kepalaku sakit.”
“Uhmm ... itu istri Anda, Tuan,” jawab Timothy yang lewat di ruangan itu untuk mulai membereskan tamu tuannya. Ia menyeret seorang pria menuju lorong sayap barat Kediaman Bournemouth.
Mendengar jawaban itu, Andreas terdiam dengan mata terpincing mengerjap-ngerjap. “Istri?” Ia sendiri keheranan. Mengumpulkan kesadarannya, Andreas menggaruk rambutnya yang tergerai berantakan. “Oh, ya ampun, si karnivora betina itu.”
Andreas mengenyampingkan kaki wanita yang menaut kakinya, lalu bangkit dalam kepolosan tubuh yang perkasa dan gairah pagi turut berdiri tegak. Ia melangkah menuju suara tangis istrinya. “Sylvia, hentikan tangismu, manis, atau kucium kau sampai kau mendesah menyebut namaku.”
“Oh, tidak!” Mendengar kata ciuman membuat Sylvia terbayang aroma urine sapi dan geliat mengobok-obok mulutnya, Sylvia mau muntah. Dia menghentikan tangisnya, berlari ke arah tangga bertepatan dengan munculnya sosok lembu gondrong yang terhuyung-huyung.
“Oh, manis, kau mau ke mana?” sapa Andreas yang nanar melihat istri mungilnya melotot padanya. Andreas mengiringi gadis itu.
Sylvia pun bergegas masuk ke kamarnya, tidak lupa mengambil kunci dan mengunci pintu dari dalam. Dia tidak akan membiarkan Bournemouth menciumnya lagi. Tidak akan pernah selama dia masih waras.
Andreas terkekeh. Sepertinya ia telah menemukan jurus jitu membuat gadis itu tidak berkutik. Ia pun berbelok ke kamar lain. Ia ingin mandi untuk menyegarkan pikirannya. “Latanza! Air panas!” teriaknya.
Di kamar seorang diri, Sylvia melongok ke luar jendela untuk melihat jalan harapannya pergi dari Kastel Bournemouth. Namun dua anjing herder hitam menggonggong keras menunjukkan rahang mereka yang sanggup mencabik tubuhnya. Dalam benak Sylvia mempertimbangkan antara Bournemouth dan anjingnya, siapa yang lebih mudah ditaklukkan.
Sylvia pun memicingkan mata. Dalam pikirannya sibuk menyusun rute pelarian yang baru lagi.
Sylvia mengurung diri di kamar sampai siang.
Latanza mengetuk pintu. “Nyonya, saatnya makan siang. Tuan Andreas menunggu di ruang makan.”
Sylvia menyahut ketus. “Katakan padanya ... aku tidak mau melihatnya. Aku makan di kamar saja.”
Di luar kamar, Latanza sudah membawa nampan berisi daging panggang. Tuan Andreas terlebih dahulu sudah mengatakan padanya bahwa nyonya muda itu tidak akan berani keluar kamar dan ternyata tuannya tidak salah. Latanza bisa mendengar suara tawa penuh kemenangan pria itu dari ruang makan di bawah.
“Baiklah, Nyonya. Ngomong-ngomong, ini makan siang Anda, Nyonya, sudah siap,” ujar Latanza.
Sylvia pun membukakan pintu dan menerima nampan makanannya, dia terperangah. “Daging panggang lagi?”
Latanza tersenyum tulus. “Tuan Andreas tidak pernah pelit soal makanan, Nyonya. Tuan ingin Nyonya mendapatkan nutrisi terbaik dan termahal.”
Sylvia menerima makanan itu dengan terpaksa dan memakannya dia tidak ingin menyiksa diri sendiri di rumah itu. Ada pun di sisi lain dia merasa diuntungkan dengan menu daging ala Bournemouth itu. Sylvia menyisihkan daging tersebut dan menggunakannya untuk mengumpani anjing penjaga di bawah jendela kamarnya.
Dia tidak perlu menjinakkan lembu jantan seukuran Bournemouth, tetapi dia tidak keberatan bersahabat dengan Blacky dan Darky. Kedua anjing itu akan patuh padanya.
Makan malam menunya tentu saja daging lagi. Tidak ada yang menaruh curiga karena dia tidak mengumpankan tulang pada kedua anjing itu, melainkan bagian dagingnya, serta diberikan sedikit-sedikit agar tidak kentara jika Dante memberi makan mereka.
Sampai beberapa hari, kegiatan Sylvia tidak ada perubahan. Dia makan 3 kali sehari di kamar. Saat pagi atau siang dia akan keluar kamar sebentar, melihat-lihat lalu akan berlari terbirit-b***t jika melihat suaminya meskipun baru batang hidungnya yang muncul. Sylvia masih berpikir setiap inci tubuh pria itu adalah bencana.
Latanza menjadi khawatir dan mencoba membujuk Sylvia. Mereka bicara melalui sela pintu. “Nyonya, apa Anda tidak bosan di kamar terus? Apa Anda kurang sehat atau tidak enak badan? Saya bisa memanggilkan dokter untuk memeriksa Nyonya.”
“Bukan aku yang harus diperiksa oleh dokter, tetapi Andreas. Dia mabuk-mabukan setiap hari. Apa dia masih bisa berpikir waras? Aku takut dia akan menyerangku. Aku merasa keselamatanku terancam.”
Latanza geleng-geleng kepala. “Anda salah paham, Nyonya. Tuan Andreas tidak seburuk yang Anda duga. Tuan Andreas mabuk karena ia baru kembali dari melaut. Tuan Andreas mabuk darat. Ia perlu mabuk beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan daratan.”
Astaga, alasan apa pula itu? Tidak masuk akal! Latanza anak buah Andreas, tentu saja dia akan berbicara yang baik-baik mengenai tuannya. “Aku punya pandangan yang berbeda mengenai Andreas. Bagiku ia adalah baji.ngan,” tukas Sylvia.
“Nyonya kebanyakan berdiam di kamar, tentu saja Nyonya tidak melihat perubahan Tuan Andreas. Coba saja Nyonya lihat sendiri, Tuan Andreas sudah mengenakan pakaian lengkap. Ia tidak lagi keluyuran tanpa busana. Teman-teman Tuan Andreas pun hari ini pulang. Mereka tidak akan ke sini lagi kecuali diundang pesta lagi.”
Eh, ada toh, pemabuk yang seperti itu?
Ucapan Latanza berhasil membuat Sylvia penasaran. Gadis itu pun membuka lebar pintu dan melangkah keluar kamar. “Aku perlu melihat sendiri hal itu. Sukar dipercaya jika Andreas tidak seburuk yang dirumorkan orang-orang.”
Latanza menyambutnya dengan riang. “Silakan saksikan dengan mata kepala Anda sendiri, Nyonya!”
Sylvia pun melenggang ke ruang depan untuk melihat perubahan ‘perilaku’ Andreas dan memang siang itu Andreas tampak elegan dan berwibawa dalam pakaian jas hitam melapisi kemeja putih serta celana ketat yang membungkus paha kencangnya. Rambut gelapnya terkuncir rapi.
Andreas berdiri di teras bersisian dengan Dante sementara Sylvia mengintip dari dalam rumah melalui jendela.
Puluhan kereta kuda yang tergolong mewah berjejer di halaman depan kastel Bournemouth. Teman pria dan wanita Andreas yang biasanya mabuk-mabukan kali itu terlihat segar semua. Mereka berpakaian rapi, anggun dan mewah. Mereka semua, terutama yang pria, adalah orang-orang terpandang serta bangsawan dari berbagai penjuru Inggris yang datang ke rumah Bournemouth untuk plesiran liar mereka. Lepas dari rutinitas formal, sorotan publik atau pun pengawasan mata anggota keluarga mereka.
Sylvia terperangah pada kenyataan itu. Dia mengira teman-teman Andreas adalah para baji.ngan berandalan jalanan yang hidup luntang lantung mencari kesenangan sesaat. Ternyata dugaannya salah.
Andreas dan Dante melepas kepergian orang-orang itu satu per satu. “Sampai jumpa lagi, Lady Bancroft!” ujar Andreas sambil mengecup punggung tangan wanita paruh baya yang berdandan bagai wanita muda.
“Tentu saja, Andreas, benar-benar minggu yang menyenangkan di tempatmu. Hubungi aku kapan saja jika kau membutuhkan sesuatu.” Wanita itu mengerling genit pada Andreas sebelum masuk ke keretanya.
“Sampai jumpa lagi, Count Hampshire, Lady Maidsbury, Marquis Luxembrough, Viscountess Compton,” serta lusinan nama aristokrat lainnya.
“Terima kasih, Andreas, atas pesta yang meriah ini, kami benar-benar puas. Sayang sekali kami tidak berkesempatan mengenal istrimu lebih akrab,” ucap salah satu tamu yang segera diangguki tamu yang lain.
Andreas menyahut santai. “Ah, jangan pikirkan soal wanita itu. Dia sibuk di dunianya sendiri. Lagi pula dia masih terlalu polos, saya harus mengajarinya kebinalan sedikit demi sedikit. Huahahahha ....” Gelak tawanya diiringi tawa teman-temannya.
Sylvia kesal sekali mengetahui orang-orang itu menertawakan dirinya.
“Baiklah, kalau begitu aku pamit kembali pada istriku,” ucap salah satu tamu lagi. “Kita sudah sepakat bukan, kalau ini tadinya adalah perjalanan bisnis ekspedisi barang dari Hindia dan Asia.”
“Tentu saja, Lord Birmingham,” imbuh Andreas semringah. “Kesepakatan kita akan jadi kerja sama yang saling menguntungkan. Rahasia Anda aman bersama saya, huahahaha ....”
Lord Birmingham turut tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Andreas. “Huahahaha, memang, tidak pernah mengecewakan berbisnis denganmu, Viscount Bournemouth. Kau selalu dapat diandalkan.”
“Bisnis apaan? Diandalkan apaan?” gerutu Sylvia dari balik tirai. “Ini sama sekali bukan bisnis. Ini kejahatan!” Sylvia memutar badan dan melotot pada Latanza yang sedari tadi menempel di belakangnya. “Andreas telah mendukung perbuatan asusila. Ia telah menjadikan rumahnya sebagai sarang percumbuan terlarang. Ini adalah pencemaran kesucian rumah tangga. Teganya ia berbuat itu! Apa ia tidak memikirkan bagaimana perasaan anak dan istri mereka yang menunggu di rumah?”
Latanza ragu-ragu menjawab, “Ngg ... sepertinya Tuan tidak memikirkan itu, Nyonya ....”
Dan Sylvia mengeluarkan makian andalan mengutuk suaminya sendiri. “Dasar Andreas Bradford Bournemouth berengsek!”
*
Bersambung ....
(01/12/2020)
(~‾▿‾)~
Follow IG Sisilianovel, dapatkan info n****+ baru dan promo buku (❤️)
Terima kasih (◍•ᴗ•◍)❤