Enam

950 Kata
Shaila sungguh muak dengan boss besar itu, setelah beberapa hari lalu menghujat gaya pakaian dan ukuran tubuhnya kini pria itu sengaja membuat ulah dengan mengatasnamakan perayaan ulangtahun perusahaan. Pria itu membuat peraturan untuk memakai pakaian formal yang pas badan, Shaila kesal bukan main saat tahu dari Hani yang malah sangat senang karena bisa tampil seksi meskipun memakai pakaian kerja. Shaila tahu bahwa pria itu sengaja melakukannya agar semua orang semakin mengoloknya dengan tubuh besar pura-pura ini. Sialan sekali! Tapi setidaknya kabar yang lain membuat perasaan Shaila menjadi lebih baik. Pasalnya ia akan dipromosikan sebagai manager karena pekerjaannya yang memuaskan, ia akan naik jabatan setelah tiga tahun bekerja disini. Tapi ia pun tidak bisa senang dulu karena ada beberapa kandidat yang menjadi saingannya, ia harus lebih berusaha. Sesaat sebelumnya Shaila kembali dipertemukan oleh boss besar di dalam lift, hanya berdua. "Saya ucapkan selamat karena kamu sudah akan naik jabatan." "Hah??" Shaila yang awalnya diam dan mencoba menghindar cukup terkejut saat pria itu buka suara, "maksud bapak, saya?" "Iya siapa lagi kalo bukan kamu. Disini kita hanya berdua." Shaila menganggukkan kepala paham, cukup senang dengan berita yang diterimanya meskipun tidak senang dengan si pemberi berita. "Kamu akan dinaikkan jabatan jika berhasil mengambil hati para atasan senior disini saat perayaan ulangtahun perusahaan nanti. Tetapi saya tidak yakin melihat penampilan kamu yang seperti ini, jadi saya tunggu kamu dengan perubahan gaya yang lebih baik." Pintu lift terbuka dan dengan kekesalan setengah mati Shaila keluar dari sana. "Duh yang mau naik jabatan, gesit betul kerjanya." Shaila tak mau menghiraukan godaan yang Hani lontarkan padanya. Ia tetap fokus pada pekerjaan tanpa membalas ucapan temannya itu. "Yakin deh, tanpa perlu usaha lagi lo pasti jadi manager bagian publikasi yang baru. Karena semua orang udah tahu jelas kemampuan lo." Kini Shaila tak bisa menghiraukan Hani yang terus bicara, "Belum tentu, saingan gue hebat-hebat." Selesai berkata demikian ponselnya berbunyi dari nomor yang ia hafal diluar kepala. Ini nomor telfon rumahnya, apakah telah terjadi sesuatu? Dengan segera Shaila angkat telponnya dan mendengar semuanya dengan jelas hingga pikirannya hilang dan ponselnya jatuh. Matanya berkaca-kaca sampai satu aliran turun kebawah karena tak dapat lagi membendungnya. "Shai... Lo kenapa?" Tepukan dibahunya membuat Shaila sadar dan linglung sebentar. Ia mengambil ponselnya dan menaruhnya ditas tanpa peduli pekerjaan dan Hani lagi. "Gue izin, kerjaan gue udah disimpan." Setelah berkata cepat begitu Shaila berlari menuju suatu tempat yang selama ini ia hindari. Gerbangnya terbuka lebar, ramai orang berpakaian hitam disana. Melihat itu perasaan Shaila semakin tak menentu, ia merasa dunianya hancur. Setelah membayar ongkos ojek online, Shaila langsung masuk kedalam rumah besar itu. Sesaat ia masuk tatapannya terkunci pada seseorang yang sudah tak bernyawa disana dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Air mata Shaila yang tadi ia tahan langsung luruh begitu saja bahkan suara tangisannya begitu menyakiti hati siapapun. "Papa.. hiks.. Papa... Jangan pergi.. hiks.. jangan tinggalin Shaila sendiri.." Shaila ambruk disamping jenazah sang ayah, memeluk tubuhnya berharap pria itu masih bisa membuka mata dan memarahi dirinya karena tidak pernah pulang kerumah. "Non Shaila.." mata Shaila menangkap Bi Rarti yang sudah bersimbah air mata. "Bi, papa bi.. Papa ninggalin aku.. hiks.. Papa mau ketemu Mama makanya ninggalin aku bi.. hiks.." Shaila menangis tersedu dipelukan wanita paruh baya yang sudah mengurusnya sejak kecil. "Non yang sabar, masih ada Bibi dan Pak Tedi disini. Non gak sendirian." Shaila menggelengkan kepalanya tak terima, ia sendiri sekarang. Ia tak punya siapapun lagi untuk menjadi alasan ia hidup didunia ini. "Tenang non, sebentar lagi. Bapak akan disemayamkan." Shaila menatap gudukan tanah itu dengan isak tangis yang masih sama dengan pelukan Bi Rarti. Ia masih tidak bisa terima, ia sengaja pergi dari rumah agar Papanya bahagia bersama istri barunya tapi mengapa malah jadi seperti ini. "Non, ayo kita pulang. Ada yang mau Bibi bicarakan." Tubuh lemah Shaila dipapah Bi Rarti yang sangat mengerti bagaimana perasaan anak majikannya itu, mungkin ini bukan waktu yang tepat tetapi Bi Rarti tidak bisa terus bungkam dan menutup semua kejadian lebih lama. Sebelumnya Shaila dibiarkan membersihkan diri dan mengisi perut meski tidak selera, Bi Rarti menatap prihatin anak tunggal majikannya ini. Dulu gadis ini begitu ceria tetapi jalan hidupnya membuatnya tak lagi sama seperti dulu, dalam hati bi Rarti selalu berdoa untuk kebahagiaan nona mudanya ini. "Bibi mau bicara apa?" Bi Rarti duduk tepat disebelah Shaila dan menangkup tangan nona mudanya meremasnya pelan, "Itu.. Anu.. non, ini tentang bapak." Shaila terus menatap bi Rarti membiarkan wanita itu menyelesaikan ucapannya. "Bapak udah lama sakit non, tapi baru beberapa hari ini yang parah. Bapak selalu berpikir non sangat membencinya sampe saat saya pengen kasih kabar ke non bapak menolak dan melarang saya." Bi Rarti menangis sebentar sebelum kembali berucap. "Bapak bangkrut non karena kondisi badan yang kurang sehat dan dikhianati sama ibu, ibu pergi dari rumah saat bapak lagi sakit-sakitnya membawa semua harta bahkan juga sudah menjual rumah ini." Shaila melotot tak percaya dan merasa emosinya memuncak, tapi disisi lain ia merasa sangat menyesal atas apa yang terjadi pada ayahnya. Bagaimanapun setidaknya jika ia tidak pergi semua ini tak akan terjadi. Wanita itu, memang sedari awal Shaila tak menyukainya bahkan Shaila begitu membencinya. Wanita itu terlalu terlihat memanfaatkan ayahnya bukan mencintainya, bahkan wanita itu dengan terang-terangan membencinya juga dan mengusirnya dari rumah. Ayahnya sangat melarang hal itu tetapi ia tak bisa mengingkari ucapan istrinya karena Shaila tahu ayahnya mencintai wanita itu, dan karena sakit hati Shaila pergi dari rumah tanpa mau kembali. Namun apa yang didapat sang ayah atas cintanya benar-benar menyakiti hati. Pantas saja wanita itu tidak terlihat dimanapun. Shaila mengeratkan kembali genggaman tangannya dengan Bi Rarti, "aku akan mempertahankan rumah ini Bi, ini satu-satunya kenangan yang aku punya dengan Mama dan Papa." Ia tiba-tiba terpikir pada tawaran yang diberikan padanya. "Bibi gak usah khawatir." Vote and Comment!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN