Chapter 6

1241 Kata
Setelah makan siang, Lingga pamit untuk pergi lagi katanya ada yang mau dia kerjakan, aku juga tidak bertanya kerjaan apa karena aku tanya pun Lingga gak akan jawab. Aku dirumah mama sampai sore, berbaring diatas tempat tidurku, aku pikir mama mengusirku dari rumah ini dan melarangku datang lagi. Tadi aku juga sempat bermain dengan adik kecilku yang imut itu tapi setelah makan dia tidur lagi pantas saja badannya gemuk, untung gemesin. Ponselku berdering, aku mengangkat panggilan dari Lingga yang masuk barusan. "Dewi, papa meninggal." ucap Lingga lirih. Aku terlonjak dari tempat tidur, "Hah? Innalillahi wainnalilahi rajiun!" ucapku kaget mendengar kabar duka dari Lingga. Segera aku keluar dari rumah menuju rumah sakit tempat om Hendri, aku tidak mengira om Hendri benar-benar akan pergi untuk selamanya, Lingga dan mama melati pasti sangat terpukul dengan kenyataan ini. Aku juga tidak mengira yang aku lakukan bersama Lingga kemarin benar-benar permintaan om Hendri. Aku menghentikan ojek agar mempercepat pergi ke rumah sakit, di sana aku menemui Lingga dan mama Melati siap membawa mayat om Hendri pulang. Karena kematian om Hendri sore hari sepertinya pemakaman akan dilakukan besok, Mama Melati masuk ke mobil ambulan sedangkan Lingga dan aku pulang naik motor. Tiba dirumah, para tetangga yang sudah mendengar kepergian om Hendri berdiri di depan rumah Lingga. Om hendri semasa hidup memang terkenal baik bersama tetangga ia orang yang rajin beribadah ke masjid, aku harap jiwa om hendri bahagia di surga. ______ Ke esokan harinya tepat pukul sembilan pagi tubuh om Hendri telah di kebumikan dengan tenang. Mama melati tidak berhenti bersedih kehilangan suaminya, aku melihat saja juga ikutan sedih, bagaimana pun juga mereka adalah keluargaku. Sedangkan Lingga, cowok itu sejak tadi malam membacakan surat yasin entah sampai berapa kali, Lingga bahkan tidak tidur, aku tau pasti dia sangat terpukul kehilangan sosok ayah. Kami pulang setelah pemakaman selesai, Lingga naik kelantai dua menuju kamarnya, cowok itu belum makan sejak kemarin, aku tidak mau dia sakit. Meskipun kami sering bertengkar, tetap saja aku tidak tega kalau sampai Lingga sakit. "Mah, aku siapin makanan buat Lingga ya." ucapku. Mama melati mengangguk, aku menyiapkan makanan dan air lalu aku bawa menuju kamar memastikan Lingga mau mengisi perutnya dengan makanan. "Lingga nih aku bawain makanan kamu makan ya." aku meletakan nampan di meja belajar lalu duduk di dekat Lingga sepertinya belum terima jika ayahnya sudah tiada. "Lingga makan dong nanti kamu sakit gimana", Lingga menepis pelan tanganku dari lengannya. "Kamu aja yang makan aku gak lapar." "Tapi aku lihat dari kemarin sore kamu belum makan atau mau aku suapin?" kataku membujuk, Lingga menoleh lalu menggeleng. "Yaudah makanannya aku simpan di sana kamu kalau lapar tinggal makan aja aku mau bantuin mama di bawah buat pengajian nanti sore." aku berdiri tapi Lingga menarik tanganku memeluk setengah badanku dalam posisi duduk. "Diem aja bentar Dew, aku cuman pengen kamu diam kayak gini buat beberapa menit aja." Aku diam sesuai apa yang Lingga minta, hari ini Lingga kehilangan ayahnya aku tidak tega melihat kesedihan cowok yang sudah menjadi suamiku berkat permintaan terakhir om Hendri. Mulutku diam tapi tanganku mengusap bahu Lingga berusaha menenangkan, aku rasa lebih baik melihat Lingga si tukang usil dari pada melihat Lingga sedih seperti ini. Pria emang gak selamanya bisa tetap tegar ketika kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Sekitar empat menit Lingga akhirnya melepaskan pelukannya. "Terima kasih." "Jadi kamu udah mau makan kan?" tanyaku. Lingga tetap menggeleng. "Kamu keluar aja nanti kalau lapar aku akan makan." "Awas kalau gak dimakan aku marah loh." ujarku, Lingga mengangguk setelah itu aku keluar menghampiri mama melati dan mamaku yang sibuk mempersiapkan pengajian. Saat malam selama tujuh hari rumah Lingga mengadakan pengajian dan cowok itu terus mengalah tidur diatas tikar membiarkanku di tempat tidur dengan nyaman. Melihat Lingga yang tidur seperti itu jujur membuatku hatiku tersentuh ada perasaan kasihan yang timbul ketika melihat Lingga tidur di tikar, sedangkan aku diperlukan dengan baik. Selama satu minggu sejak kematian om Hendri Lingga tidak lagi mengusiliku seperti biasanya, berdebat pun jarang. Kami masih sekolah bersama tapi kadang aku memilih pulang sendiri tanpa bergantung pada Lingga. Setiap pagi aku melihat Lingga terlihat seperti orang kelelahan, mungkin karena tidur hanya beralaskan tikar yang tidak begitu tebal pasti badannya terasa pegal-pegal. Aku mengerjakan tugas sekolah setelah membantu mama melati mengurus orang-orang pengajian. Tak lama Lingga masuk ke kamar setelah selesai ikut pengajian untuk mengerjakan tugas sekolah juga. Cowok itu jadi pendiam dua kali lipat dari sebelum om hendri meninggal, aku tau Lingga pasti merasa sangat kehilangan. "Kamu belum tidur?" "Masih ada dua soal lagi yang belum aku kerja." Lingga mengangguk mengambil buku pelajaran miliknya sendiri, aku memperhatikan Lingga sampai cowok itu balas menatapku. "Kenapa?" "Ah enggak papa, kamu pakai meja belajarnya." "Punyamu kan belum selesai?" "Udah gak papa kamu pakai aku bisa kerjain dimana aja lagian tinggal sedikit kok," aku berdiri dari meja belajar Lingga dan melanjutkan tugasku sambil tengkurap di kasur, menulis sambil tiduran udah kebiasaanku. Lingga duduk membelakangiku, cowok itu mengerjakan tugas dengan tenang. Setelah selesai dengan tugas sekolah, aku membereskan alat tulis ke tempatnya lalu duduk diatas tempat tidur kembali memperhatikan Lingga. Apa aku kasih ijin aja ya buat cowok itu tinggal satu kasur denganku?, Selagi masih menjaga batas aman Lingga pasti tidak akan macam-macam, lagian ini juga bukan termasuk Zina tidur bareng bersama suami kan?, maksudku hanya tidur tidak melakukan yang lain. Lingga berdiri dari duduknya sepertinya sudah selesai mengerjakan tugas lalu cowok itu mengambil galungan tikar disamping lemari. "Kamu dari tadi liatin aku terus, cinta sama suami sendiri ya." ucap nya. "Ih bukan begitu, oh ya Lingga emang kamu gak pegel-pegel tidur ditempat keras begitu?" tanyaku. "Sebenarnya pegel tapi aku juga bisa tidur satu kasur sama kamu kan." "Kalau aku ijinin kamu tidur disini gak?" Lingga langsung menoleh, aku turun dari tempat tidur mengambil tikar yang masih dipegang Lingga. "Kamu tidur diatas biar aku yang tidur dibawah." ucapku. "Enggak!" Lingga mengambil kembali tikar ditanganku, "Kamu gak boleh tidur di bawah, mending kamu tidur aja ditempat tidur lagian aku ini cowok, jadi sebagai pria sejati harus memperlakukan wanita dengan baik." Aku mencebikkan bibir, "Tapi kalau kamu nantinya sakit gara-gara tidur dilantai aku juga yang repot." "Kan pakai tikar bukan langsung diatas lantai." jawab Lingga, mulai berdebat lagi deh padahal bagus ditawari tempat yang nyaman tapi kenapa ditolak?. "Oh atau gini aja," aku merebut kembali tikar yang dia pegang lalu menyimpan nya di dekat lemari, aku sepertinya harus bisa berbagi tempat tidur dengan Lingga, itu karena aku tidak bisa melihat Lingga ternistakan dirumahnya sendiri. "Kamu pengen banget tidur sama aku, apa kamu juga pengen merasakan malam pertama denganku?" Tiba-tiba aku dikejutkan dengan Lingga menarik tanganku sampai menubruk badannya. "Aku gak ada pikiran sampai kesitu!" ujarku sembari mendorong Lingga. Cowok itu mendekat lagi spontan saja aku bergerak mundur, tapi sial kakiku menabrak tepian tempat tidur, tubuhku kehilangan keseimbangan, mataku mendelik secara refleks tanganku menarik baju Lingga hingga akhirnya cowok itu juga jatuh tepat menimpa tubuhku. Lingga langsung beranjak dari posisinya, dia berdehem dan terlihat canggung. "Kamu kayaknya ngebet banget buat malam pertama, tapi maaf ya aku gak mau." ucap cowok itu. Wait, harusnya yang bicara begitu aku kan?. "Ling––!" "Tapi kalau kamu mau aku tidur di tempat tidur sama kamu gak papa sih." sahutnya lalu naik ke kasur dan berbaring membelakangiku, tapi sebelah tangan cowok itu bergerak menepuk tempat kosong di belakangnya. "Masih luas kok, kamu bisa tidur disini, tenang aja aku gak bakal sentuh kamu." katanya. Aku menghela nafas, sudahlah ini sudah malam lebih baik aku tidak berdebat lagi dengan Lingga. ____ Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN