Siapa Pelindung Gadis?

593 Kata
            Langit berjalan menghampiri sosok lelaki yang tengah lahap menikmati Burger di sebuah restoran siap saji. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya yang seperti kelaparan, “Ckckckk ... kasihan sekali anak hilang” cibir Langit yang kini sudah duduk disamping Adera.             Adera melirik Langit sinis, tanpa perduli dengan kehadirannya ia terus melahap burger hingga gigitan terakhir. “Kenapa? Kenapa ingin bertemu denganku?” tanya Adera, ia mengelap mulutnya dengan tissu.             “Astaga, aku dibiarkan menunggu hingga makananmu habis dulu baru kau bicara? Ckck, menyebalkan!” ujar Langit melemparkan tissu bekas pakai ke arah Adera. “Ada yang ingin aku tanyakan, ini soal Gadis”             “Apa? Kenapa lagi dengan Gadis?” tanya Adera cemas, “Sudah kuduga ada yang terjadi padanya, beberapa hari ini aku sulit untuk menghubunginya”             “Baguslah, kamu tidak perlu sering-sering menghubunginya” ceplos Langit terkekeh. Adera hanya mampu mendecak kesal. “Bagaimana sifat Gadis di tempat les?”             “Bukankah kamu bilang jika lebih mengenal Gadis? Kenapa masih bertanya padaku, hah?”             Sepertinya pembicaraan ini tidak berlangung baik, keduanya bersih keras dengan ego masing-masing dan juga perasaan spesial untuk Gadis hingga akhirnya Langit menceritakan kejadian-kejadian di sekolah yang melibatkan Gadis.             Adera yang menyimak pembicaraan ini juga mulai buka suara akan kejadian di tempat les dan teman-teman les yang mulai membicarakan kehidupan Gadis.             “Aku tidak pernah habis pikir, kenapa banyak sekali orang yang ingin tau kehidupan orang lain” gumam Adera mengeleng-gelengkan kepalanya.             “Aish, bukankah kamu juga kepo dengan Gadis?” balas Langit dengan tembakan tepat sasaran.             “Itu soal perasaan, beda masalah” ujar Adera menaikan sebelah alisnya.             “Menjijikan!” sela Langit. ***             Di dalam kamar, Gadis terlihat begitu serius menatap layar laptopnya. Matanya mulai membaca dengan teliti sebuah artikel di situs internet. Sesekali ia mencatat di buku apa yang tertulis di situs itu.             “Aku harus bisa, ya ... aku bisa melakukannya!” ucap Gadis menyemangati dirinya sendiri. Kemudian ia merenggangkan tubuhnya lalu bangkit dari bangku menuju ranjang.             Gadis merebahkan tubuhnya sambil membentuk bintang, pikirannya seolah tengah melayang dan mengingat-ingat kembali kejadian dan masalah yang telah dilaluinya. Terasa begitu berat bagi Gadis yang masih berusia 17 tahun untuk melewatinya.             “Aku tidak ingin hidup seperti ini, aku tidak bisa bergantung pada seseorang” gumam Gadis sambil menarik napas panjang.             Tiba-tiba Gadis tersenyum tatkala mengingat tingah Langit dan Adera yang mampu menghiburnya kapan saja dan dimana saja. Mereka berdua sangat melindungi Gadis, hingga membuatnya begitu merasa nyaman.             “Langit, laki-laki bodoh yang selalu ada untukku” kekehnya, membayangkan wajah Langit dan tingkahnya yang mampu membuat Gadis nyaman. Kemudian mata Gadis melirik kearah meja belajar, dimana boneka monyet pemberian Adera duduk manis disana. “Adera, ada apa dengan anak itu kenapa selalu membuatku merasa nyaman?”             Perlahan Gadis memejamkan matanya, ia begitu lelah dengan masalah yang ada. Entah ketika dirinya berada di sekolah atau di tempat les selalu saja ada yang tidak menyukainya. “Kenapa semuanya menyebalkan!!” teriak Gadis.             Tanpa disadari Gadis, sang mama tengah mengintip ke dalam kamarnya. Ia memperhatikan gerak-gerik yang sedari tadi anaknya lakukan, tanpa sadar air matanya menetes. Dengan segera ia menutup rapat pintu kamar Gadis dan kembali ke dalam kamarnya.             “Dia lebih terluka dari aku, apa yang harus aku lakukan? Tuhan ...” ucap mama yang kini sudah terbaring diatas ranjang. Air matanya terus menetes tanpa henti, lahir dan batinnya terluka apalagi kini ia harus melihat anak satu-satunya menaruh benci yang amat dalam pada papanya sendiri.             ‘Sesungguhnya akupun tidak sanggup menjalani hidup seperti ini, tapi aku bisa apa? Aku ingin Gadis mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Astaga! Kenapa aku sama sekali tidak bisa mencari uang!’ batin mama terus merintih. Ia meremas piyama yang dikenakannya, rasanya ingin sekali ia menjerit dan meminta keadilan pada suaminya yang lebih memilih wanita lain dibanding dirinya yang menemani dari nol. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN