Bab 20: Mengungkapkan Kebenaran 2

1211 Kata
Prima masih menunggu pesanan martabak manis yang baru ia pesan lima menit lalu. Ia pikir, saat ia datang lebih malam, akan sepi pengunjung, siapa yang nyangka kalau ia harus menunggu tiga orang lagi di depannya yang sedang mengantri juga. Ia jadi cemas, takut Mira mencurigainya ketika ia kembali nanti. Tapi Prima merasa lega karena July bisa ia taklukan dan sepertinya menuruti semua perintahnya. Di kantor, mereka jarang berkomunikasi agar para rekan kerja mereka tak tahu ada hubungan apa antara dirinya dan July, di rumah, Mira juga tak bertanya macam-macam dan tak menaruh kecurigaan sama sekali padanya. Apalagi setiap akhir pekan, ia tak pernah kemana-mana, selalu standby di dekat Mira, menikmati waktu bersama sepanjang hari. Ia juga merasa senang karena bisa leluasa bertemu dengan July dan memadu cinta dengannya. Ia merasa segar dan bahagia, seolah-olah kecemasannya telah sirna. “Mas, kelihatan bahagia banget, rambutnya juga basah tuh,” kata bapak-bapak yang juga menunggu pesanannya matang sama seperti Prima. “Iya, pak. Alhamdulillah, ini istri saya yang ngidam,” kata Prima dengan wajah sumringah. “Wah, selamat ya, pak. Anak pertama?” tanya bapak-bapak itu kepada Prima. Prima mengangguk dengan binar bahagia. “Iya, pak, selama bertahun-tahun menunggu buah hati, Alhamdulillah akhirnya diberi kepercayaan juga oleh yang maha kuasa,” kata Prima. Bapak-bapak tersebut tersenyum bangga. “Syukurlah, ya. Untungnya bapak sabar dengan ujian yang maha kuasa karena biasanya banyak suami yang gak sabar dan dengan alasan istri gak bisa hamil, mereka akhirnya menduakan istri, berselingkuh atau poligami,” kata bapak-bapak itu yang membuat senyum Prima lenyap seketika. Karena pada kenyataannya, ia dan July menjalin kasih memang sebelum Amira hamil, dan ia bahkan berniat menceraikan Amira. Tapi setelah tahu Amira hamil, ia tak punya alasan lagi menceraikan Amira, apalagi Amira juga tak memiliki celah sama sekali saat ia menjadi istrinya. Kini yang tersisa terkadang hanya kecemasan dan kekhawatiran kalau Amira tahu perbuatannya. Prima akan menikahi July secara agama, tapi setelah Amira melahirkan, ia tak mau kehamilan Mira bermasalah jika tahu kalau dirinya berselingkuh dengan wanita lain. “Pak, pak, itu nomernya dipanggil, udah jadi martabaknya!” kata bapak-bapak itu pada Prima. Prima tersadar dari lamunannya dan langsung menuju kasir untuk membayar sekaligus menerima martabak manis pesanannya. “Saya duluan, pak. Assalammualaikum,” sapa Prima ramah pada bapak-bapak yang mengajaknya ngobrol tadi. Dalam perjalanan pulang, ia melihat ponselnya, ada beberapa panggilan missed called dari Mira, ia tersenyum seraya mengetik pesan pada Mira, ‘aku sudah di jalan pulang, sayang. Alhamdulillah dapat juga martabaknya setelah antri panjang,’ pesan tersebut dikirimkan lengkap dengan foto martabak yang dikirimkan oleh Prima, tanpa Prima ketahui bahwa Mira menelepon bukan untuk menanyakan martabak yang dijanjikannya, melainkan karena kehadiran July di hadapannya. “Saya di sini untuk bertemu bu Mira,” kata July dengan d**a berdebar-debar pada Mira ketika Mira membuka pintu pagar untuknya. “Lalu?” tanya Mira dengan hati yang tak kalah berdebar-debar juga, ia masih berpikiran positif kalau July ke kostnya untuk menemui suaminya dan memberitahukan sesuatu mengenai pekerjaan mereka. Mira sudah membuang praduga buruknya tentang Prima dan July setelah beberapa hari bahkan minggu ini, Prima menunjukkan bahwa ia tak memiliki perempuan lain di luar sana, sikap Prima yang manis dan selalu ada di sampingnya sepanjang hari saat libur kerja itu mengenyahkan pikiran buruk Mira. Bahkan ketika Prima bekerja, pun, ia tak segan-segan menghubunginya lewat panggilan video call dan berkali-kali dalam sehari jika sempat. Prima juga mengabari Mira, ketika ia harus keluar kantor. Jadi, Mira sudah mulai mempercayainya. Tapi kehadiran July di depan pagar kostnya, membuatnya kembali bertanya-tanya. “Saya minta maaf,” kata July dengan suaranya yang mulai serak. d**a Mira tambah berdebar-debar, perasaannya makin tak karuan. “Minta maaf buat apa? kamu ada masalah di pekerjaan dan ke sini untuk menemui suami saya dan meminta maaf padanya?” tebak Mira. Sungguh, Mira tak siap mendengar hal lain apalagi hal-hal buruk yang sempat menjadi praduganya selama ini. “Bu, saya …” “Tunggu dulu, saya akan hubungi pak Prima,” “Pak Prima mungkin lagi beli martabak buat ibu,” jawab July yang membuat Mira kaget dan menoleh ke arahnya. Dari mana July tahu kalau Prima keluar untuk membeli martabak untuknya. “Kamu sudah bertemu dengan suami saya?” tanya Mira dan July mengangguk. “Kami baru bertemu di rumah kontrakan kami,” kata July. “Rumah apa?” “Rumah kontrakan yang dibayar pak Prima untuk saya tinggali,” kata July. Mira tercekat dengan apa yang dikatakan oleh July barusan. Perutnya yang membuncit itu terasa menegang saat ini, kehamilannya baru memasuki dua puluh satu minggu dan ia tak ingin ada apa-apa dengan kehamilannya. “Maksud kamu apa?” tanya Mira. Alih-alih menjawab, July berlari dan nemeluk kaki Mira dengan tangisan. Bu Hesti dan bu Eni yang melihat di ambang pintu kamar kost mereka, kaget dengan sikap July pada Mira itu. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Mira bingung dan kaget dengan sikap July. “Saya tahu saya salah, saya tahu saya tak boleh bersikap seperti ini, tapi semuanya telah terjadi, maafkan saya, bu. Maafkan saya, saya hanya ingin status saya jelas, saya hanya ingin status anak yang saya kandung jelas,” kata July dengan air mata yang berderai. d**a Mira semakin berdenyut-denyut mendengarnya. “A-apa maksud kamu?” tanya Mira. “Tolong, tolong terima saya, biarkan pak Prima menikahi saya, dia harus bertanggung jawab kepada benih yang ia tanam di rahim saya,” suara July yang menangis itu terdengar jelas di telinga Mira meski serak. d**a Mira terasa nyeri sekali, ia tak pernah menyangka bahwa July akan mendatanginya seperti ini, di malam hari, membuatnya syok bukan main. Seluruh tubuh Mira terasa dingin dan ia merasakan sesak yang teramat di dadanya. Ia berusaha melepaskan July dari kedua kakinya, “Minggir,” kata Mira dengan sedikit dorongan di kedua tangannya pada kedua bahu July. “Ini pasti mimpi, ini pasti mimpi buruk,” gumam Mira. July memerhatikan Mira yang terlihat terkejut dengan apa yang baru saja ia ucapkan di hadapannya. Meski July menangis, ia bisa melihat orang-orang yang menyaksikannya memandangnya dengan geram. “Plak! Plak! Plak!” Mira memukuli kedua pipinya dengan kedua tangannya secara bergantian, bu Hesti dan bu Eni yang melihat hal itu langsung berlari mendekat, “Ini pasti mimpi! Plak! Bangun, Mira! Ini pasti Mimpi!” kata Mira pada dirinya sendiri. Alih-alih menyerang July yang terduduk di bawah dan menatapnya dengan tangisan serta keheranan, Mira memilih melukai dirinya sendiri dan menganggap bahwa semua itu hanyalah mimpi. “Bu Mira, bu Mira, hentikan!” bu Eni berusaha menghentikan aksi Mira yang menampari wajahnya. Bu Hesti juga berusaha mengentikan Mira juga. Tapi, entah dari mana datangnya kekuatan Mira, kedua tangan dari kedua wanita itu bisa ia lepaskan dengan mudah, dan ia kembali menampari wajahnya, membuat July merasakan ketakutan dan rasa bersalah sekaligus. “Arrrg!” Mira berteriak, kemudian ia berlari ke arah tempat wudlu, menghidupkan kran dan mengucur kepalanya dengan air begitu saja sampai jilbabnya basah. Bu Hesti dan Bu Eni berteriak hingga semua pintu kamar kost terbuka dan beberapa keluar dari kamar mereka. Bu Hesti berusaha menenangkan Mira yang merasa bahwa ini semua hanyalah mimpi belaka. Bagaimana Mira tak terluka, baru beberapa jam yang lalu ia meyakini bahwa kecurigaannya selama ini pada sang suami adalah sebuah kesalahan, tapi kini ia dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya. Dugaannya benar, bahwa July adalah perempuan simpanan sang suami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN