Bab 19: Mengungkapkan Kebenaran 1

1289 Kata
Aku kesal dengan sikap mas Prima padaku. Aku tahu kalau istrinya sedang hamil dan butuh perhatian ekstra, tapi bukankah aku juga butuh perhatiannya? Aku juga sedang mengandung anaknya, kan? Kami sudah jarang berkomunikasi di tempat kerja, keluar berdua juga sangat tidak pernah sejak kali terakhir istrinya itu ke kantor dan aku berkenalan dengannya. Mas Prima benar-benar menjauhiku, tapi yang aku herankan adalah, ia selalu meminta bertemu di rumah kontrakannya, bahkan memintaku meninggalkan kostnya dan tinggal di sana. Awalnya aku menolak, tapi setelah mempertimbangkan bahwa aku juga tak perlu membayar uang kost bulan depan serta bulan-bulan berikutnya karena aku tahu rumah kontrakan itu sudah dibayar mas Prima selama dua tahun, maka aku memutuskan menuruti permintaannya tersebut. Mas Prima benar-benar memperlakukanku sebagai wanita simpanannya saja. Kupikir dia akan jarang menemuiku di rumah kontrakannya, seperti yang ia lakukan padaku di depan rekan-rekan kami dan juga teman-teman kostnya, nyatanya hampir habis maghrib dia akan datang dan kembali setelah mau pukul delapan malam. Lucunya, aku malah seperti barang yang hanya dia perlukan untuk menuntaskan hasratnya saja, tapi ketika aku bertanya kapan dia akan memberitahu istrinya dan menikahiku, dia selalu bungkam dan meminatku bersabar. “Sampai kapan, mas? Lihat, perutku sudah kelihatan meski tak begitu besar, kan?” tanyaku malam ini saat kami menyudahi aktivitas kami barusan. Napasnya masih terengah-engah, tanda ia puas denganku, sedangkan aku mulai jijik dengan diriku sendiri, merasa aku terlalu murahan karena dia memperlakukanku tanpa ada niatan yang serius ingin mempertanggungjawabkannya. Lusi menyarankan bahwa aku harus bicara padanya secara baik-baik, Lusi bilang bagaimana kalau aku mengajaknya bicara di atas pembaringan, setelah semua lelah dan penatnya hilang, mungkin dia bisa memberi solusi. “Bersabarlah, aku tak bisa memberitahu Mira soal kamu, dia hamil. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada kehamilannya, Jul?” tanya Prima. “Lalu nasibku dan anak yang aku kandung, bagaimana mas? Para tetangga selalu bertanya kenapa kamu datang maghrib dan pergi malam hari lagi? Lalu apa statusku di matamu?” tanya Prima. “Aku sudah jelaskan kepada mereka siapa kamu, kamu anak dari bibiku,” kata mas Prima. “Mana mereka percaya, mas? Yang dilihatnya adalah kamu pria beristri dan aku perempuan single, mereka pasti sudah paham apa yang kita lakukan di sini, mas? Bagaimana jika tiba-tiba aku digrebek karena perbuatanmu padaku, mas?” tanyaku geram. “Aku akan menikahimu jika sudah waktunya, Jul, bersabarlah, aku mohon,” kata mas Prima. “Sampai perutku membuncit lalu aku dirajam oleh orang-orang di sini? Kamu tidak ada di sini menemaniku, mas! Kamu hanya menemaniku tidak lebih dari dua jam selama sehari,” “Itu karena aku harus meyakinkan Mira bahwa aku tidak memiliki perempuan lain!” kata Mas Prima, “apa yang aku lakukan itu demi kebaikan kita semua!” “Tidak! Itu demi kebaikanmu! Kamu datang dan menganggapku w************n, kamu hanya datang untuk memberiku uang setelah bersenang-senang tanpa memedulikan bagaimana aku harus bertahan dan menunggu ketidakpastian darimu, mas!” “Aku butuh waktu, July. Kehamilan Mira itu rentan, kamu tahu sendiri bahwa agar dia bisa hamil, kami harus melalui beberapa tahun, kan? Kalau ada apa-apa dengan kehamilannya, itu akan berpengaruh juga padanya!” tegas mas Prima. Mataku berkaca-kaca, rasa cemburu, kecewa, lelah, kesal dan tak berdaya membuatku kehilangan harapan dan rasa percaya dari ucapannya. Berulang kali ia memintaku bersabar, tapi sampai kapan, jika dia bisa menjaga kehamilan istrinya, kenapa ia tak bisa menjaga kehamilanku? “Aku juga hamil, mas, apa kamu tidak memikirkanku dan calon anak kita? Jika kamu tidak bisa mempertemukan kami, maka nikahilah aku secara agama saja, biar kita tidak terus berkumpul dalam dosa, mas!” kataku padanya. “Dosa? Baru sekarang kamu bilang dosa, kamu juga menginginkannya, kan?” tanya mas Prima mengejekku. Hatiku terasa dicubit, sebegitu rendahnya kah aku di matanya? Jika dalam kebersamaan kami yang belum halal saja dia sudah merendahkanku seperti ini, itu sudah dipastikan bahwa dia akan melupakanku dan meninggalkanku kapanpun ia mau. Tapi, aku tak akan membuatnya melepaskanku dan tak bertanggung jawab padaku. Mas Prima nampak tak berdosa dan tak bersalah telah mengatakan itu padaku. Dia bergegas ke kamar mandi, mandi dan keluar setelah segar lalu memakai pakaiannya dan bersiap pergi, sedangkan aku mematung di tempatku berada, menyadari bahwa aku bukanlah siapa-siapa baginya. Semua kata rayuannya dan janjinya entah mengapa aku hanya merasa itu adalah tipuan, dari awal dia hanya ingin menjeratku dan membuangku setelah ia puas denganku. Jadi, dia menganggapku serendah itu? “Aku juga seorang putri yang berharga, mas,” kataku dengan air mata yang berderai ketika ia mengenakan jaketnya. Ia berbalik padaku. “Jangan menangis, Jul, kamu hanya perlu bersabar. Aku akan cari cara buat kita bisa bersama, tapi tidak sekarang. Aku juga tak bisa menemanimu malam ini, Mira pasti sudah menungguku,” katanya seraya pergi tanpa meminta maaf padaku, aku tersenyum getir mendengarnya mengatakan hal itu. Rasa amarah kembali membuncah di dadaku, rasa terhina dan terabaikan kembali membuatku ingin membalas perbuatannya. Mas Prima benar-benar tak paham apa yang aku katakan, padahal sudah jelas bahwa aku mengatakan kalau aku adalah putri yang berharga bagi keluargaku dan ia memperlakukanku tak berharga? Bukankah dia seharusnya minta maaf dulu sebelum pergi meninggalkanku? Suara motor mas Prima yang meninggalkan halaman rumah membuatku sadar bahwa sewaktu-waktu dia bisa meninggalkanku kapan saja. Aku bahkan masih ingat ucapan Lusi bahwa besar kemungkinan mas Prima meninggalkanku tiba-tiba dengan ia meminta pindah kerja dari atasannya. Ah, aku tak akan membiarkan hal itu terjadi. Setidaknya, aku tidak mau hancur sendiri, ia juga harus hancur denganku. Setelah kepergian mas Prima, aku mengambil jaket dan memakainya. Masih terngiang jelas di telingaku bahwa ia menyempatkan datang sebelum membeli martabak manis buat mbak Mira. Dia datang padaku dengan tangan kosong dan mengatakan hal itu tanpa beban sama sekali, padahal aku juga ia hamili. Tapi kenapa ia lebih mengutamakan mbak Mira ketimbang aku? Dia bahkan tak pernah bertanya aku ingin makan apa, atau paling tidak, apakah aku sudah makan? Yang ada dalam pikirannya hanya istrinya dan istrinya saja. Menjadi orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga orang lain bukanlah inginku. Aku akui, aku terlena dengan perhatian dan kebaikannya padaku, tapi kalau tidak terjadi malam panas waktu itu, aku yakin aku bisa membatasi diri. Tapi setelah malam itu, dia makin gencar mendekatiku dan aku juga takut ia tak bertanggung jawab padaku, jadi aku mempercayai rayuan dan ucapannya yang akan menceraikan istrinya, siapa yang tahu kalau ternyata semua itu hanya kebohongan belaka? Aku keluar dari rumah kontrakan, malam ini aku tak bisa menorerir lagi sikap mas Prima yang pengecut sekaligus pecundang itu, aku tak mau menunggu lagi, sudah cukup lama aku bersabar. Jika dia tak mau mengungkapkannya, maka malam ini aku akan mengungkapkannya sendiri, di hadapan mbak Mira aku akan mengakui siapa diriku dan apa hubunganku dengan mas Prima. Aku tahu dimana letak kost-kost an mas Prima, sekitar lima kilometer dari sini. Malam hari yang ramai di kota Surabaya tak membuatku takut berjalan sendirian, hatiku juga telah hancur karena sikap mas Prima, yang tersisa hanya keberanian dan kekecewaan yang membuatku memutuskan sesuatu yang pasti akan berakibat nantinya. Aku tak peduli, aku butuh kepastian, maka jika mas Prima tak berniat memastikan status kami, maka aku akan mencari tahu kepastiannya sendiri. Aku sedikit memperlambat langkah kakiku ketika aku hampir sampai di kost milik mas Prima. Sempat terbesit kekhawatiran kalau mas Prima akan marah padaku, tapi ketika aku teringat ucapannya tadi yang menyebutku bahwa aku juga menikmatinya, seolah-olah ia merendahkanku, maka kekesalanku kembali lagi, amarah itu membara lebih besar dan aku semakin yakin akan mencari keputusan malam ini juga. “Mbak Mira,” panggilku pada seorang perempuan yang berjalan menuju tangga. Aku cukup mudah mengenali sosok Mira, sudah berulang kali aku lewat depan kost mas Prima dan diam-diam memerhatikan mbak Mira dari jauh, jadi meski hari ini sudah malam, aku tetap bisa mengenalinya meski ia berdiri memunggungiku. Mbak Mira menoleh dan wajah terkejutnya menatapku dengan mata tak berkedip sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN