Kehadiran Prima di kantor disambut hangat oleh rekan-rekannya, apalagi lumpia goreng yang dibawanya itu membuat rekan dan para sales yang mengelilinginya senang bukan main.
"Enak banget, beli di mana, pak?" tanya Lusi pada Prima.
"Istri yang buat," jawab Prima, sesaat sebelum ia sadar bahwa July juga menikmati lumpia goreng tersebut dan langsung berhenti mengunyah seraya menatapnya penuh kecewa, apalagi Prima mengatakannya dengan senyum bangga yang terpancar di wajahnya. July merasa cemburu karena sikap Prima dan perhatian dari istrinya itu.
Lumpia isi rebung dan ayam itu tak dihabiskan oleh July, ia melangkah menjauh menuju toilet, ketika berjalan mendekati tong sampah, ia membuang separuh gigitan lumpia itu. Prima jadi serba salah setelah melihat sikap sang kekasih gelap, ia memilih berjalan menuju kantornya, mulai bekerja dan mengevaluasi penjualan unit mobil bulan itu.
Sementara itu, perut July merasa tak nyaman karena moodnya yang berantakan. Ia akhirnya memuntahkan isi perutnya di toilet dan merasa lega. Ketika keluar, sudah ada Lusi yang menunggunya sembari membenarkan rambut di cermin.
"Kamu cemburu?" tanya Lusi pada July. July diam sejenak seraya menyalakan kran air.
"Istrinya ikut ke sini," kata July yang membuat Lusi kaget bukan main saat mendengarnya.
"Istri pak Prima?" tanya Lusi dan July mengangguk ke arahnya, "terus?"
"Aku sudah bilang keinginanku, dan mas Prima hanya bilang bahwa aku harus bersabar," kata July.
"Sampai kapan?" tanya Lusi dan July menggeleng pasrah.
"Aku bingung harus bagaimana, aku takut menekan mas Prima dan membuatnya pergi jauh dariku dan meninggalkanku. Aku tahu dia masih berat meninggalkan istrinya meski saat bersamaku dulu ia mengatakan akan menceraikan istrinya yang tak berguna itu," kata July kesal.
"Semua lelaki yang berselingkuh akan mengatakan hal itu, Jul. Mereka akan meyakinkan perempuan simpanannya dengan kalimat-kalimat seperti itu agar para simpanannya percaya. Aku akan meninggalkan istriku, bersabarlah. Aku mencintaimu dan tak mencintaiku, kami akan segera berpisah, kata-kata seperti itu," kata Lusi dan July mengangguk, apa yang dikatakan Lusi dulu juga dikatakan oleh Prima.
"Aku akan menunggu sampai sebulan, jika belum ada kepastian sama sekali, aku akan bertindak," kata July, "semalaman aku telah berpikir keras, bagaimanapun aku harus mempertahankan mas Prima karena dia aku hamil seperti ini," kata July.
"Hati-hati,"
"Aku sudah siap dengan konsekuensinya. Jadi yang kedua seperti katamu," kata July.
"Jadi kamu rela jika akhirnya kamu jadi yang kedua?" tanya Lusi.
"Bukankah katamu sejak awal aku sudah menjadi yang kedua? Katamu aku tak boleh menuntut mereka bercerai, maka aku akan meminta hakku untuk dinikahi meski jadi yang kedua," kata July. Lusi mengangguk.
"Bertobatlah, Jul. Setiap manusia pasti berbuat salah, dan bertobatlah," kata Lusi yang ditanggapi dengan anggukan kepala oleh July.
***
Mira membersihkan tempat kostnya yang tertunda kemarin. Setelah suaminya berangkat kerja, ia sibuk menata ruang kostnya agar terasa nyaman. Kasur beserta dipan yang diberikan pemilik kost ia ubah, karena sudah membeli kasur baru yang ukurannya lebih besar dan muat dua orang, dipan dan kasur yang dibelikan pemilik kost, Mira kembalikan kepada pemiliknya karena ingin kamar kostnya terasa lebih luas hanya dengan kasur lantai yang dibeli suaminya saja.
Setelah beberes kamar dan terasa lebih nyaman, Mira merebahkan dirinya sejenak untuk beristirahat sampai akhirnya ia terlelap saking lelahnya. Bangun-bangun karena suara adzan dhuhur berkumandang.
Perasaan lega menyeruak di dadanya, jauh dari ipar dan mertua yang toxic membuat Mira lebih tenang dan damai. Setelah selesai salat dhuhur, ia bingung harus melakukan apa. Terbiasa sibuk di dapur untuk mempersiapkan gorengan yang akan dijualnya setiap sore hari, membuatnya merasa bosan jika tak melakukan apapun di kamar kostnya.
Akhirnya, Mira memutuskan membuat brownies kukus yang akan ia antar ke tempat kerja suaminya, bisa dimakan oleh sang suami dan rekan-rekannya. Tak butuh waktu lama bagi Mira untuk membuat brownies tersebut dan membawanya ke tempat kerja sang suami sembari berjalan-jalan di tengah hiruk pikuk padatnya kita Pahlawan siang hari itu.
Sampai di depan sorum resmi mobil tempat suaminya bekerja, Mira berbicara sejenak kepada satpam yang berdiri di luar. Setelah memperkenalkan diri sebagai istri dari Prima, dia diperkenankan masuk untuk menunggu suaminya yang kebetulan hari itu keluar bersama salah satu sales-nya untuk bertemu dengan calon pembeli.
"Kalau begitu, saya titip ini dulu pak, buat suami, saya mau balik saja," kata Prima pada satpam yang bertugas. Satpam itu merasa kasihan pada Mira dan memintanya menunggu Prima saja di dalam, tapi Mira yang merasa sungkan itu menolak dengan halus dengan alasan di rumah banyak pekerjaan yang sedang menantinya.
Mira berjalan kaki kembali, tapi kali ini karena ingin lebih mengenal kota pahlawan itu lebih dekat ia memilih arah yang berbeda. Mira yang tak mudah lupa jalan pulang itu memberanikan diri berjalan-jalan siang hari, dimana beberapa orang memilih berteduh di dalam rumah atau menikmati makan siang di rumah makan dan hotel-hotel besar.
Mira berhenti di salah satu mini market, ia masuk dan membeli minuman serta meminumnya di teras mini market itu. Suasana panas dengan kendaraan yang padat itu membuatnya merasa tinggal di Malang jauh lebih baik dari pada di Kota yang penuh kebisingan. Malang jauh lebih sejuk dari pada Surabaya, tapi ia telah memilih untuk ikut kemanapun sang suami pergi, demi mempertahankan rumah tangganya. Lagi pula ia senang karena mertua dan iparnya tak lagi mengusiknya.
Ketika akan beranjak dari mini market itu dan memutuskan kembali pulang ke kostnya, Mira melihat sebuah mobil lewat di depannya dengan sosok yang ia hapal menyetir mobil tersebut. Mira masih memerhatikan mobil tersebut sampai berhenti di pelataran sebuah motel di seberang mini market tersebut. Laki-laki yang ia kenal itu keluar dari mobil tersebut, lalu di sisi lain mobil itu, keluar juga perempuan cantik yang memakai jaket milik lelaki itu. Keduanya berjalan berdekatan memasuki motel tersebut. Hati Mira terasa dihantam batu seketika itu, apalagi melihat sang suami melingkarkan lengan kirinya ke pinggul sang perempuan yang memakai jaket miliknya.
Mas Prima?
Benarkah itu mas Prima?
Seluruh tubuh Mira bergetar hebat, ia merasa tak memiliki penyakit mata apapun, jadi ia cukup yakin kalau yang dilihatnya adalah sang suami dan siapa perempuan itu?
Dalam pikirannya yang carut marut itu, suara satpam tempat dimana suaminya bekerja terngiang di telinganya, memberitahukan padanya kalau sang suami sedang keluar bersama salah satu sales mobil untuk bertemu calon pembeli.
Calon pembeli?
Di motel?