Bab 12: Sebuah Kebohongan

1021 Kata
Berulang kali Mira mengucek matanya, nyatanya pengelihatannya tidak salah. Apa yang ia lihat sekarang ini benar adalah suaminya, Prima. Tiba-tiba saja d**a Mira terasa sesak, dengan tangan dan tubuh yang gemetar, Mira berusaha menenangkan diri dengan kembali duduk di kursi teras yang disediakan oleh mini market. Banyak pertanyaan yang berkelibatan di otaknya, berikut dengan sanggahan-sanggahan yang ia buat sendiri. Dia pergi dengan rekan kerjanya, mungkin kamu salah lihat saja, Mira. Mungkin benar itu suamimu, Prima, dan ia ke motel untuk bertemu kliennya. Sudah hal umum di kota Besar kalau seorang lelaki berjalan beriringan dengan perempuan sembari memegang pinggulnya. Bukan berarti mereka pasangan. Mungkin saja kamu salah lihat, dia bukan Prima. Kamu hanya berharap bertemu dengan suamimu di jalan karena kamu ingin kembali ke kost. Kalimat-kalimat sanggahan seperti itu mulai berputar di otak Mira saat ini. Meski begitu, logikanya berjalan setelah ia berhasil menenangkan dirinya sendiri. Mira meneguk air minumnya sampai tandas kemudian mengucapkan istighfar berkali-kali sembari menahan air matanya agar tak tumpah. Sebenarnya ia tak mau menangis, hanya saja ketika mengandung seperti sekarang ini ia lebih sensitif dari biasanya. Setelah tenang, Mira mengeluarkan ponselnya. Tangannya yang masih sedikit gemetar itu membuatnya ragu-ragu sejenak. Kemudian, Mira meletakkan ponselnya di meja, memandangnya sembari menunggu gemetar di kedua tangannya hilang. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya tremor itu menghilang dan kini ia siap membuktikan apa yang ia lihat barusan. Dihubunginya nomer Prima, dan kali ini ia melakukan panggilan video call. Cukup lama ia menunggu Prima mengangkat panggilannya sampai akhirnya panggilan itu tersambung juga. Wajah Prima yang tersenyum itu menyapanya. "Sayang, kamu ada di mana?" pertanyaan Prima itu menyambut panggilan Mira. Diperhatikannya baik-baik lokasi sang istri berada. "Lagi di luar, mas. Bosan di rumah, kamu sendiri lagi di mana?" tanya Mira. "Aku? Ini lagi di kamar mandi," jawab Prima seraya menunjukkan ruangan kamar mandi itu. "Bagus ya kamar mandinya, kayak di hotel gak sih?" Mira mulai memancing Prima. Prima tersenyum mendengarkannya. "Suamimu ini bukan manager hotel, sayang. Hanya manager sorum mobil," kata Prima. "Iya, tapi kamar mandinya kayak di hotel, eh, motel deh," ralat Mira. Wajah Prima langsung pias mendengar ucapan sang istri, tapi ia masih berusaha tenang dengan melempar senyum ke Mira. "Bisa aja kamu," sahut Prima. "Jadi, kamu di kantor?" tanya Mira. "Tentu donk, di mana lagi, sayang?" tanya balik Prima. "Udah dimakan bekal makan siang dariku?" tanya Mira kembali. "Udah habis, barusan. Karena kamu buat bekal buat mas, jadi mas gak perlu keluar cari makan, cukup di kantor saja," kata Prima. "Hah? Tapi tadi aku ke sana kok dibilang pak satpamnya mas keluar kantor bersama rekan mas untuk ketemu calon pembeli?" tanya Mira. Wajah Prima langsung kaget mendengar penuturan sang istri. "Apa?" "Iya, aku barusan dari sana, mas. Aku buat kue karena bosan di kost, dan baru saja aku titipkan ke pos satpam karena katanya mas dan rekan mas keluar kantor buat ketemu calon pembeli. Kupikir mas baru balik dari luar, tapi mas bilangnya seharian gak keluar. Jadi siapa yang bener?" tanya Mira. Wajah Prima langsung pucat mendengar penuturan sang istri, "makanya aku lagi diluar ini, perjalanan pulang ke kost dan ngerasa haus makanya beli minum," lanjut Mira kembali. "Mas, kok diem? Jadi siapa yang bener? Kamu atau pak satpam?" tanya Mira. "Tentu aku donk. Aku di kantor, mungkin satpamnya keliru lihat orang lain, kan SPVku tingginya sama kayak aku," kata Prima. "Oww, kalau gitu kamu ambil gih kue di pos satpamnya, atau minta anterin ke ruangan kamu sekarang," tuntut Mira. Prima kembali bingung dengan permintaan sang istri, "mas? Kok malah diem? Enak kuenya kalau dimakan pas anget-anget," kata Mira lagi. "Eh, iya, iya, nanti dulu, mas mules lagi. Bentar aku tutup teleponnya ya," kata Prima. "Oke, bentar lagi aku telepon ya mas, aku mau lihat kuenya langsung ada padamu," kata Mira dan Prima hanya mengangguk cepat kemudian mematikan ponselnya dengan cepat tanpa mengucapkan salam sama sekali. Dada Mira terasa nyeri setelah panggilan telepon itu berakhir, ia paham sekali kalau sang suami tengah membohonginya dan ia merasa sangat sedih. Mira bangkit dari tempat duduknya dan memilih masuk kembali ke mini market, dari dalam mini market, ia ingin memastikan suaminya kembali. Jika benar dugaannya, ia yakin sang suami akan buru-buru keluar dari motel dan kembali ke tempat kerjanya. Mira masih menunggu dengan tak sabar. Ia mengamati mobil hitam yang dikendarai suaminya dengan seksama, tak sabar menantikan apa yang ia ingin lihat. Demi menekan suami, kembali Mira menghubungi suaminya. Panggilannya berdering tapi belum juga terangkat. Mira mencoba terus menerus menghubungi suaminya, ia ingin membuat sang suami panik. Hampir sepuluh menit berlalu dan tak ada tanda-tanda suaminya muncul di sekitaran motel. Tuh, kan, kamu salah, Mira. Jadi yang kamu lihat tuh bukan Prima melainkan orang lain. Pulanglah, Mir. Percayai suamimu dan akui kalau kamu salah menduga. Kata-kata itu membujuk otaknya, membuatnya selalu berpikiran positif tentang sang suami. Mira menghela napas berat, ia tersenyum getir, menyadari bahwa mungkin ia telah konyol karena yakin bahwa pria yang masuk motel dengan perempuan lain adalah kesalahan matanya. Ketika hendak melangkahkan kakinya pergi dari tempatnya berdiri dan memutuskan pulang, matanya menangkap sesuatu yang baru keluar dari motel dan terlihat terburu-buru. Mira merekam dengan baik bagaimana Prima berlari keluar motel sembari membenarkan pakaiannya dengan memasukkannya ke dalam celana seraya menyisir rambutnya. Perempuan cantik berambut panjang di belakangnya itu mengikuti dengan tergesa-gesa pula. Prima masuk mobil di bagian kemudi dan perempuan itu masuk ke sebelahnya. Ternyata matamu benar, Mira. Dada Mira terasa nyeri dan sakit sekali menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka kalau suaminya sudah menduakannya. Dugaanya benar, logikanya tak salah. Kini, ia hanya perlu mengumpulkan bukti kalau sang suami benar-benar telah mengkhianatinya dengaj perempuan lain. Mobil yang dikendarai sang suami menjauh dari motel dan berjalan cepat di hadapannya. Kenapa, mas? Kenapa kamu setega itu padaku? Kenapa kamu juga mengkhianatiku seperti Bima mengkhianati Amila? Apa salahku, mas? Apakah aku kurang berbakti? Apakah kamu tak puas dengan pelayananku? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak Mira, membuatnya mengalami krisis kepercayaan diri sebagai seorang istri. Pelan-pelan, ia kecewa kepada dirinya sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku perbuat? Mira bingung. Ia tak tahu harus bagaimana, hingga akhirnya ia memutuskan kembali pulang ke kostnya, kali ini dengan ojek online.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN