Ketika baru saja Mira merebahkan dirinya di atas kasur baru yang baru dibeli oleh Prima, ponselnya berdering. Dengan malas, Mira bangkit dari pembaringannya dan bergerak menuju tas tangan yang ia gantung di salah satu rak paku. Panggilan masuk dari kakak iparnya rupanya.
Dengan malas, Mira mengangkat panggilan tersebut, pasti kakak iparnya itu mau marah-marah padanya karena ikut Prima ke Surabaya.
"Halo, assalamualaikum," jawab Mira.
"Waalaikumsalam," jawab Nia ketus, "Ngapain sih kamu harus ikut Prima ke Surabaya?" tanya Nia.
"Mbak Nia kan sudah tahu kalau saya ini dilarang jualan lagi, dari pada di rumah saya gak ngapa-ngapain, mending saya ngurusin mas Prima di sini, mbak," jelas Mira.
"Terus yang jagain anakku, siapa?" pertanyaan dari Nia itu membuat Mira heran, terkadang Mira tak mengerti kenapa Nia suka menitipkan anak-anaknya padanya padahal ia sendiri tak melakukan apapun di rumahnya.
"Kalau mbak Nia sibuk, bisa dititipkan ke ibu sebentar, kan, mbak?" jawab Mira lembut, ia masih menahan diri agar tak menimbulkan kebencian yang konon kata orang-orang jaman dulu bisa membuat calon jabang bayi memiliki paras yang mirip dengan orang yang dibenci. Meski itu hanya mitos, tetap saja Mira berhati-hati saat menjalani masa kehamilan ini.
"Kamu ini!"
"Maaf, mbak, saya harus memasak dulu, kasihan mas Prima sudah menunggu. Assalammualaikum," jawab Mira tergesa-gesa lalu mematikan sambungannya dan segera mensilent ponselnya.
Mira meletakkan ponselnya, kembali berebah dan membelai perutnya dengan lembut.
Semoga firasat ibu salah, ya, nak.
Meski penasaran, Mira selalu menanamkan keyakinan pada dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja jika ada kesalahan.
***
Sementara itu, Prima hampir sampai di rumah kontrakannya. Prima berhenti agak jauh, menoleh ke belakang hanya untuk memastikan tak ada orang lain atau istrinya yang memergokinya. Setelah merasa aman, Prima gegas masuk ke rumah kontrakannya dan memarkir motornya lalu berjalan cepat menuju pintu rumah.
"Cklek," setelah memutar kunci rumah, Prima masuk. Suara pintu yang terbuka membuat July yang sedang berebah bangkit dan gegas keluar kamar. July lega ketika ia melihat Prima di hadapannya. Pria yang ditunggu-tunggu kedatangannya sejak lama.
"Mas, kenapa baru datang?" tanya July dengan wajah kesal dan cemasnya. Prima menghela napas sebelum duduk di sofa diikuti oleh July.
"Mira ikut ke sini," ucap Prima yang membuat mata July membelalak kaget. Iya serta merta menengok keluar rumah, mencari keberadaan istri dari kekasihnya itu tapi tak mendapati siapapun di luar rumah.
"Dia di kost-an," kata Prima lagi. July gegas menuju Prima dan duduk di sebelahnya.
"Kost? Maksud mas Prima apa sih?" tanya July tak sabar. Prima kemudian menceritakan bagaimana Mira ngotot ikut ke Surabaya dan tinggal bersamanya sejak ia melarangnya berjualan lagi.
"Seharusnya mas gak cegah mbak Mira jualan, mas," protes July. Tak mungkin Prima mengatakan kepada July kenapa ia melarang Mira jualan, itu karena Prima merasa cemburu saat ada lelaki yang rutin memesan gorengan pada Mira.
"Pekerjaanku sudah mapan, apa kata tetangga jika aku terus membiarkan Mira bekerja sebagai penjual gorengan?" Prima berkilah, hanya agar July tak menaruh curiga padanya.
"Kalau mbak Mira sampai tahu hubungan kita dan gak terima dengan keberadaanku dan melaporkan hubungan kita ke tempat kerja, bagaimana, mas? Bukankah mas sendiri yang bilang baru diangkat jadi manager, kalau sampai dipecat bagaimana?" tanya July lagi.
"Maka itu aku mengajaknya ngekost," jawab Prima. July mendesah, ia juga ikut bingung dengan situasinya. Antara takut ketahuan dan takut kalau Prima meninggalkannya karena Mira sudah dekat dengan kekasihnya lagi. July menyadari bahwa Prima masih berat hati kepada sang istri, karena jika tidak maka perempuan itu sudah pasti diceraikan oleh Prima, buktinya sampai sekarang Prima terlihat masih enggan melepas Mira, meski Prima selalu bilang suatu hari nanti akan melepaskan Mira.
"Terus aku bagaimana, mas? Perutku juga akan membesar dan aku juga tak mungkin terus menerus bekerja, kan?" tanya July. Prima menoleh ke arah July, dia makin bingung.
"Kamu sabar dulu, aku akan cari jalan keluar," kata Prima.
"Seenggaknya nikahin aku dulu, mas. Orang-orang di sini ngiranya aku perempuan murahan, karena mereka tahunya kamu single," kata July. Ucapan July ada benarnya, tapi menikahi July? Prima tak pernah benar-benar memikirkannya. Baginya, July hanya tempat bersenang-senang saja, siapa tahu akan seperti ini jadinya?
"Iya, nanti," kata Prima.
"Nanti kapan? Aku butuh kepastian, mas!" pinta July.
"Sabar lah, Jul. Kita selesaikan masalah ini satu-satu dulu, yang jelas aku harus yakinkan Mira bahwa jika hubunganku dengan Mira berakhir, itu karena kesalahannya dan bukan kesalahanku, agar aku tak dipecat dari perusahaan," kata Prima.
"Mas punya rencana apa?" tanya July heran.
"Aku masih memikirkan cara yang pas," kata Prima.
"Mencari kesalahan mbak Mira sedangkan dia gak punya kesalahan, itu mustahil, mas," kata July. "Kamu harus cepat, mas! Aku gak mau begini terus sedangkan perutku akan membesar dan orang-orang akan bertanya siapa ayahnya," kata July. July yakin bahwa alasan Prima barusan hanya mengada-ada, ia tahu kekasihnya itu tak akan bisa melakukan itu, hubungan mereka saja dimulai dari sebuah kesalahan, bukan dari kesengajaan karena tertarik satu sama lain. Jadi July tak memiliki kepercayaan atas ucapan Prima.
July bangkit, ia merasa harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Ucapan Lusi kembali terngiang di benaknya, ucapan yang menyarankannya untuk meminta maaf kepada Mira dan merestuinya jadi istri kedua, dari pada ia meminta Prima menceraikannya yang akan membuat dirinya kelak kena karma.
Entah mengapa July merasa Prima akan mengabaikannya, dan sebelum semua itu terjadi, ia akan berjuang untuk mendapatkan haknya.
***
Berulang kali Mira membuka pintu kost dan berjalan ke depan, menanti kehadiran Prima. Hari sudah malam dan Prima belum kembali, padahal ia sudah lapar sekali dan tak ditinggali uang sama sekali oleh Prima. Mira menghela napas, ia putuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar, kali ini ia mencoba menghubungi Prima dan suara ponsel suaminya bergetar di kamar kostnya. Mira mencari suara getaran itu dan ketemu di dekat jendela yang tertutup kardus barang dan belum dibukanya.Mira baru menyadari kalau ternyata sang suami meninggalkan ponselnya dalam keadaan di charger.
Mira mendekat, melepas charger itu yang telah mengisi penuh daya ponsel suaminya. Ia kemudian membuka ponsel suaminya dan mendapati beberapa panggilan masuk dari nomer tak tersimpan pada siang hari tadi.
Siapa yang menelepon?
Tepat ketika Mira akan membuka fitur pesan karena ada pesan baru yang masuk, pintu kamar kostnya terbuka dan wajah kaget Prima yang melihatnya memegang ponselnya itu membuat Mira heran. Apalagi Prima lantas berjalan cepat dan merebut ponselnya dari tangan Mira, membuat Mira makin bertanya-tanya dan curiga saja.