"Kamu kenapa, mas?" July memerhatikan Prima yang gelisah di ruangannya. Ia sebenarnya kesal karena belum makan siang sama sekali dan harus balik dari motel sesegera mungkin setelah Prima menerima telepon dari istri pertamanya.
"Seharusnya kita tadi gak keluar, Jul," kata Prima.
"Kamu yang mengajakku keluar, mas. Kamu bahkan lupa membelikanku makanan," gerutu July. Prima memandangnya sejenak, merasa kasihan pada kekasih gelapnya itu.
"Kalau begitu, kamu beli sendiri saja," kata Prima seraya mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang dari dalam sana. July menerima uang itu dan langsung keluar dari ruangannya. Saat keluar ia berpapasan dengan rekannya, bernama Rudi.
"Gimana? Jadi beli mobilnya?" tanya Rudi pada July. July mengangkat bahunya, malas mengatakan apapun sekarang. Hatinya merasa kesal, cemburu dan iri melihat Prima kebingungan dengan istri pertamanya.
Sampai kapan aku harus seperti ini?
July melenggang pergi dari sana. Lebih baik di ke mall dan berdiri di sana untuk event pameran mobil, siapa tahu dia bisa mendapatkan pembeli hari ini dan menghapus kekesalannya pada Prima.
***
Prima cemas pada Mira, jadi ia segera pulang ke kost setelah jam kerja usai. Sampai di kostnya, ia melihat sang istri sedang menunaikan ibadah salat maghribnya. Ia kemudian menaruh tas kerjanya, mengambil handuk dan kaos bersih serta sarung, lalu keluar kamar dan mandi di kamar mandi luar yang telah disediakan pemilik kost.
Sebenarnya Prima gak betah tinggal di kost-kostan seperti ini. Kamar mandi yang jadi satu dengan penghuni lainnya, rasanya tak nyaman sama sekali. Andai saja ia bisa membawa Mira pulang ke rumah kontrakannya, maka ia akan melakukan hal itu. Hanya saja, orang-orang di sekitar lingkungannya sudah hapal kalau perempuan yang sering menemuinya di kontrakan bukanlah Mira. Prima hanya tak mau Mira tahu soal perselingkuhannya.
Usai mandi dan wudlu, Prima kembali ke kamar kostnya. Sajadah masih terbentang di lantai tapi sang istri tak ada di kamarnya.
Ke mana, dia?
Prima gelisah. Ingin mencari tapi waktu maghrib hampir berakhir, jadi Prima memutuskan untuk salat lebih dulu. Usai mengucapkan salam di ujung salatnya, pintu kamar kost terbuka dan istrinya masuk membawa kantong plastik berisi dua bungkus makanan. Aroma bebek goreng menguar ke udara.
"Masakan tadi pagi habis, mas. Aku gak masak lagi karena lelah. Jadi malam ini kita makan lalapan bebek goreng saja, ya," kata Mira pada Prima. Ingin sekali Mira mengatakan semua praduga dan kecurigaannya sekarang, tapi ia mahanan diri sebisa mungkin, ia sadar kalau Prima bisa saja membantahnya karena ia tak memiliki bukti yang kuat untuk memojokkan Prima. Jadi, dia akan diam sembari mencari tahu siapa yang menjadi simpanan suaminya.
Mira membuka bungkusan nasi lalapan bebek itu dan memberikannya ke Prima. Prima diam memerhatikan sang istri dengan d**a yang berdebar-debar. Sejak istrinya ikut dengannya ke Surabaya, ia merasa tak tenang.
"Selama mas kerja, kamu bosan, ya?" tanya Prima, ia ingin memancing Mira, berharap Mira bosan dan merajuk kembali ke Malang.
"Nggak, mas. Aku malah berencana jualan di sini. Sepertinya di Surabaya banyak orang suka jajan. Gimana kalau aku jualan makanan matang, kamu bisa membawanya ke kantor juga, aku bisa menjualannya di depan kost," kata Mira.
"Aku sudah melarangmu berjualan, kenapa masih mau berjualan?" tanya Prima kesal.
"Ya sudah kalau gak boleh, aku di rumah saja," kata Mira.
"Kalau kamu bosan di sini, kamu bisa kembali ke Malang," kata Prima.
"Kalau aku bosan, aku bisa jalan-jalan. Kalau di Malang, aku gak bisa jalan-jalan sesuka hati karena kamu tahu sendiri mbak Nia sering nitipin anaknya ke aku, jadi aku jagain mereka," kata Mira.
"Jadi, kamu keberatan jagain anaknya mbak Nia?"
"Mereka anaknya mbak Nia, mas, bukan anakku. Seharusnya bisa lebih dekat dengan mbak Nia kan dari pada aku," jawab Mira.
Mereka makan sambil bicara.
"Kenapa telepon dari mas gak diangkat dari tadi?" tanya Prima.
"Pulang jalan-jalan, aku lelah dan baru bangun tadi mas, ponsel mode kusilent jadi maaf ya," kata Mira dan Prima mengangguk.
"Lain kali jangan kemana-mana kalau gak ada mas, kamu di rumah saja," kata Prima.
"Jualan gak boleh, jalan-jalan gak boleh, kalau gitu aku minta kamu sabtu dan minggu full denganku, tolong tolak kalau ada lembur, mas. Kita harus sering quality time," pinta Mira. Prima kaget mendengar permintaan sang istri, padahal tadi ia berencana untuk mengatakan kalau Sabtu ia lembur padanya agar bisa keluar bersenang-senang dengan July.
"Mas gak janji, Mir, lagian mas kan kerja bukan mau ngapa-ngapain," kata Prima.
"Kamu kan udah naik jabatan, mas. Lagian yang getol cari konsumen biasanya tuh sales-sales kamu, kan? Pas aku tadi nganterin kue, pak satpam bilang kamu keluar sama sales kamu buat ketemu calon pembeli, emang dia pekerja baru?" tanya Mira.
"Iya,"
"Siapa namanya, mas? Cantik gak? Mau donk lihat, biasanya kan sales-sales itu cantik-cantik dan ganteng," kata Mira.
"Gak penting, Mir," kata Prima.
"Kenapa enggak? Mereka kan rekanmu, seharusnya aku juga tahu mereka jadi kalau ada apa-apa denganmu, aku bisa hubungi mereka. Misal kamu sakit dan gak masuk kerja, atau nganterin aku periksa kandungan, atau menemani aku melahirkan," kata Mira.
"Aku bisa hubungi mereka sendiri. Sudah, makan dulu sana," kata Prima mengalihkan pembicaraan mereka.
"Oh ya mas, gimana reaksi teman-teman kerjamu soal lumpia dan kuenya?" tanya Mira.
"Mereka seneng, Mir," kata Prima singkat.
"Kurang beberapa minggu lagi bulan puasa, gimana kalau kamu undang beberapa teman dekatmu untuk makan buka puasa di sini, aku bisa masakin masakan enak-enak buat mereka," kata Mira.
"Gampang, itu bisa kuatur," kata Prima.
Mira tersenyum kecil, jelas sekali wajah Prima mengatakan kalau ia tak ingin istrinya kenal dengan rekan-rekan kerjanya dan itu membuat Mira semakin penasaran saja dibuatnya. Ia yakin perempuan yang menjalin hubungan dengan sang suami adalah rekan kerjanya selama ini. Amira hanya perlu mencari tahu siapa dia, dan besok ia akan mencari tahu sendiri.
"Karena kita sudah memberi rekan-rekanmu kue, besok aku gak buat kue lagi ya, mas. Aku fokus ke kehamilan saja, di rumah mengurusi kamu," kata Mira. Prima lega mendengarnya. Itu artinya sang istri tak akan ke kantornya lagi. Padahal tadi ia berniat melarang sang istri, tapi karena sudah mendengarnya lebih dulu dari sang istri, jadi ia tak perlu melarangnya.
***
Keesokan paginya saat Prima bangun, ia melihat sang istri tengah sibuk memasak di dapur sembari berbincang-bincang dengan teman kostnya.
"Masak apa?" tegur Prima yang hendak mandi.
"Pepes ikan kembung sama sayur asem, mas," jawab Mira, "bentar lagi sayurnya matang," jawab Mira lagi saat ia melihat sang suami memerhatikan jumlah pepes ikan di piring. Hanya ada 6 buah pepes, dan itu cukup untuk makan mereka berdua sampai malam. Prima lega, setidaknya sang istri tak kelihatan akan membawakannya bekal makanan yang banyak dan menyuruhnya membaginya dengan teman-temannya.
Prima hanya tak tahu bahwa sebagian pepes yang Mira buat telah dibawa mbak Ina untuk dijual di sekolahan. Mira harus mempersiapkan bekal sebelum kekacauan yang ada di depan mata akan terjadi. Jika ia dan Prima berpisah kelak, ia harus mandiri seperti Mila.