Sasha memeluk diri dengan lengan sembari menatap kedua temannya yang kini saling merapatkan diri. Karena tidak bisa tidur, mereka akhirnya memutuskan untuk bercerita perihal hantu.
Rebecca tidak ada, hanya ada Alma dan Cleo bersama Sasha di dalam kamar mereka. Ketiga gadis itu sengaja mematikan lampu agar makin mendapatkan feel ceritanya.
Sasha yang paling penakut di antara Cleo dan Alma berulangkali mengembuskan napas samar. Karena jantungnya mulai berdebar dengan tubuhnya yanh mulai merespon, bergidik merinding padahal belum ada yang memulai.
Cleo mengangkat tangan, mengajukan diri lebih dulu dengan tersenyum bangga. "Aku akan menceritakan satu kejadian yang mungkin akan menakuti kalian seumur hidup. Jadi, pasang baik-baik telinga kalian ... dan jangan sampai menyesal karena setelah mendengar cerita ini. Kalian tidak akan bisa tidur dengan nyenyak." Ujar gadis itu menakut-nakuti membuat Sasha meneguk ludah kasar.
Alma mengedikan bahu santai, tidak terusik sama sekali.
"Kalian pernah lihat lukisan di koridor lantai satu? Yang gambarnya seorang perempuan berambut panjang yang sedang memegang boneka." Sasha dan Alma mengangguk mengiyakan, Cleo pun jadi makin antusias mendengar balasan itu. "Katanya ... kalau kita bertatapan lebih dari sepuluh detik dengan mata perempuan itu. Perempuan itu akan datang dan menganggu kita." Sasha merinding takut, menarik lengan Alma erat sembari menyembunyikan mukanya di balik lengan temannya itu.
"Itu kan cuma karangan anak-anak. Lukisan mana yang bisa keluar menjadi hidup terus menganggu kita. Beneran ngarang banget," ujar Alma tidak percaya sama sekali. "Kalau begitu, kau mau mencoba bertatapan dengan lukisan itu?" Sahut Cleo menantang.
Alma ingin menganggukan kepala cepat, namun Sasha lebih dulu menahan lengannya. "Jangan aneh-aneh, kita kan tadi cuma janji mau cerita hantu saja. Bukan buat nantang yang begituan," kata gadis itu tidak setuju. "Ck, penakut banget. Padahal seru loh kalau dicoba." Cleo masih belum menyerah mengajak Alma dan Sasha untuk membuktikan kalau cerita anak-anak lain itu benar adanya.
"Cleo, jangan aneh-aneh." Tegur Sasha lagi menepuk pelan lengan gadis yang mencepol rambut seadanya itu.
Cleo memutar mata jengah, kemudian berbaring di sebelah teman-temannya sembari menatap langit-langit kamar yang gelap.
"Kalau menurut kalian, hantu itu beneran ada apa enggak?" Ujar Cleo bergumam lirih, Sasha mendecak saja tidak menanggapi banyak. "Kalau kau sebegitu penasarannya, kita coba saja seperti yang kau katakan tadi. Kita pergi ke lukisan perempuan itu." Ajak Alma sudah berdiri berani membuat Sasha bergerak cemas dengan kelopak mata bergerak tidak tenang.
"Kalau kau tidak berani, kau tidur saja di kamar ya." Tutur Alma tersenyum pada Sasha, kemudian mengajak Cleo untuk pergi bersama ke lantai 1.
Sasha sebenarnya tidak akan pernah mau ikut dalam hal yang menyeramkan begini. Tapi, karena tidak ada siapapun yang bersamanya di dalam kamar. Ia jadi memutuskan untuk ikut saja, dari pada harus ketakutan sendiri di dalam kamar.
Cleo dan Alma yang sudah berdiri di koridor lantai 1 agak tersentak kecil melihat Sasha yang jadi mengekori keduanya. "Katanya gak suka hal beginian," cibir Cleo terkekeh pelan membuat Sasha mendengus saja.
Ketiga gadis itu pun berdiri di salah satu ruangan yang di dindingnya ada lukisan perempuan berambut panjang yang tengah memangku boneka dengan bibir yang tersenyum manis.
"Tidak ada yang aneh sama sekali, ini cuma lukisan." Ujar Alma menunjuk tanpa beban ke depan wajah lukisan membuat Cleo menarik tangan temannya itu cepat. "Kan belum saling tatap-tatapan, jadinya gak ada yang terjadi." Ujar Cleo setengah berbisik, kemudian mengedarkan pandangan ke sekita berusaha melihat keadaan di lantai 1. "Kita pergi saja dari sini, jangan ke kamar karena nanti bakalan ada Rebecca." Ujar Cleo sudah menurunkan lukisan dan kini memegangnya erat.
"Kita bertiga pergi ke dekat danau hitam saja. Pasti bakalan lebih seru kalauke sana, suasananya mendukung." Ujar gadis itu antusias.
Sasha yang berdiri di antara keduanya menggelengkan kepala cepat, tidak setuju. "Kalian beneran mau ke sana? Ini sudah malam dan lagian Christ dan Rebecca kan melarang kita pergi ke dekat huta. Apalagi kalau nanti sampai ketahuan sama guru gimana?" Racau gadis itu takut, berharap Cleo dan Alma mengurungkan niatnya.
"Kalau begitu, jangan sampai ketahuan sama guru dong." Ujar Cleo tersenyum miring lalu melangkah lebih dulu membuat Alma mengekori. Sasha yang menentang ide gila Cleo mau tidak mau mengikuti.
Ketiga gadis itu melangkah pelan dengan berusaha tidak tertangkap basah oleh anak-anak lain, terlebih Christ dan Rebecca.
Saat sudah berada di depan Villa, Cleo yang memegang lukisan pada tangannya merasakan sesuatu menyentuh tangannya sedari tadi. Karena sedang sibuk memperhatikan sekitar, Cleo jadi tidak sadar kalau ada rambut yang terulur jatuh pada kedu tangannya yang menggenggam lukisan.
Cleo masih belum sadar, ia hanya mempercepat langkahnya agar sampai ke danau untuk membuktikan kalau lukisan yang sedang ia pegang terbukti berhantu. Alma dan Sasha di belakangnya mengekor saja dengan langkah terseok. Karena Cleo melesat cepat seperti punya kecepatan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Ini beneran gak akan kenapa-napa, kan kalau kita main di dekat danau? Bagaimana kalau pembunuh itu muncul, Al?" Bisik Sasha takut, memegang lengan Alma erat. "Tidak akan, lagian kalau ada pembunuhnya kita suruh aja perempuan dalam lukisan itu yang ngelawan." Ujar Alma masih sempatnya bercanda.
Sasha mendengus saja, kemudian menghentikan langkahnya saat sudah sampai di dekat danau. Suasan hening dan juga gelap di sana membuat bulu kuduk meremang dengan sendirinya.
Cleo sudah sibuk mengambil batu-batu kecil. Kemudian menyusunnya untuk dijadikan senderan lukisan yang dibawanya. Lalu ia pun duduk bersilah di samping lukisan, mendongak pelan mengisyaratkan pada teman-temannya untuk duduk juga bersamanya.
Ketiga gadis itu sudah duduk berhadapan dengan lukisan yang tersenyum manis itu. Cleo bergerak lebih dulu bertatapan dengan lukisan selama 10 detik seperti yang ia dengar dari anak-anak lain.
Setelah 10 detik, Cleo melengos saja karena tidak merasakan ada apa-apa yang terjadi. "Tidak ada yang perlu ditakutkan, anak-anak itu pasti cuma ngarang saja." Decaknya menendang kasar lukisan di samping kakinya.
Sasha yang melihat itu sontak menarik kaki Cleo, menegurnya untuk lebih hati-hati. Sedangkan, Alma hanya diam saja tidak berbicara banyak.
"Aku kira bakalan ada kejadian besar, nyatanya tidak ada sama sekali yang perlu dicemaskan. Lukisan sial––" omongan Cleo terhenti saat gadis itu tiba-tiba tertarik kasar sampai ke tepi danau membuat Alma dan Sasha yang bersamanya memekik kaget.
Cleo bergerak-gerak berusaha melepaskan diri dengan terbatuk-batuk kuat merasa lehernya dicekik kuat kini.
Sasha sudah melangkah maju ingin membantu Cleo, namun tubuh Cleo makin terseret masuk ke dalam danau membuat suara kepakan tangan Cleo di air danau terdengar nyaring di tengah keheningan itu.
Sasha sudah menangis ketakutan karena tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan, Alma diam saja dengan mata memicing merasa ada seseorang yang mengintai mereka dari jauh.
Cleo masih bergerak-gerak di dalam air danau. Berusaha berenang naik, namun tarikan pada lehernya membuat gadis itu tidak kuasa menahan sakit membuat tubuhnya perlahan tenggelam sampai ke dasar danau.
Alma dan Sasha yang tidak melihat pergerakan Cleo di dalam air hendak melesat masuk. Namun, langkah mereka terhenti saat air danau yang tenang berubah warna. Darah Cleo mulai mengotori air danau membuat Sasha memekik kaget dan terjatuh dengan mata melebar sempurna. Berbeda dengan Alma yang masih berdiri mematung dengan memandangi tubuh Cleo yang perlahan mengapung dengan mata terbuka.
Leher Cleo terluka seperti ada bekas sayatan di sekelilingnya. Yang membuat Alma dan Sasha kebingungan adalah sosok apa yang menarik Cleo kasar ke dalam air danau.
Sasha tidak bisa bergerak, gadis itu sudah sesegukan dengan merunduk ketakutan. Apalagi melihat salah satu temannya kini mati mengenaskan dengan darahnya yang sudah bercampur menjadi satu dengan air danau.
Saat Sasha tengah tersedu, Alma yang berdiri memicingkan matanya saat melihat air danau bergerak pelan seperti ada sesuatu yang keluar dari sana dan merambat keluar sampai ke hamparan pohon pinus di seberang danau.
Alma mengeraskan rahang saat kilatan langit sepersekian detik membuat hutan terang sesaat. Gadis itu pun menangkap sosok misterius di balik pohon yang kemudian berbalik pergi dan menghilang begitu saja.
Gadis itu ingin bergerak mengkero, namun Sasha malah menahannya dengan menggelengkan kepala berulangkali.
"Jangan pergi, kalau kau terluka lagi bagaimana?" Ujar Sasha sesegukan dalam dengan sesekali melirik takut ke jasad Cleo yang sudah beku.
"Kau bisa tunggu di sini, aku akan mengabari Rebecca dan juga guru soal ini." Ujar Alma merunduk samar, menenangkan Sasha yang nampak shock melihat Cleo mati di depan mata mereka. "Jangan kemana-mana, aku tidak akan lama." Ujar Alma kemudian berbalik dan berlari cepat ke arah jalan setapak membuat Sasha berhenti menangis.
Gadis itu perlahan berdiri di tepi danau. Tatapannya mengerjap samar dengan tangannya yang bergerak pelan menyeka air matanya pada sudut mata dan juga pipinya yang sembab. Bibir Sasha perlahan tertarik lembut membentuk senyuman dengan bersenandung lirih memandangi jasad Cleo yang masih terapung.
Sasha melangkah masuk, kedua kakinya sudah menyentuh air danau yang dingin. Kemudian gadis itu pun makin berjalan masuk sampai air danau sebatas dadanya. Kini tatapannya mengarah pada Cleo di depannya. Darah temannya itu pun masih mengalir di dekat ia berdiri.
Sasha merunduk samar, menenggelamkan wajahnya ke dalam air kemudian kembali berenang naik. Rambut sebahunya perlahan merambat lurus sampai ke pinggang. Dengan tangannya kini yang memegang sebuah boneka beruang. Setelah itu ia berjalan ke arah lukisan yang sudah kosong. Ia pun melangkah masuk ke dalam sana, kemudian berpose dan kembali menjadi lukisan perempuan berambut panjang yang tengah tersenyum manis sembari memegang boneka beruang.
**
Alma masih berlari tergesa-gesa dengan napasnya yang sudah ngos-ngosan. Gadis itu tersandung sampai terdengar bunyi dentuman keras membuat keningnya memar.
Ia hanya meringis sesaat kemudian beranjak berdiri dan kembali berlari ke arah Villa. Di depan teras ia berpapasan dengan Nicholas dan teman-temannya. Namun, Alma tidak menanggapi banyak. Karena ia ingin segera bertemu dengan Rebecca untuk menceritakan kejadian barusan.
Alma berlari cepat sampai keringatnya perlahan terlihat pada pelipisnya. Gadis itu sudah berbelok ke arah tangga dan melangkah naik menuju lantai dua. Saat berada di atas sana, ia terkejut menemukan Rebecca tengah duduk bersama anak-anak perempuan lain. Dan ada Sasha di sana tengah terkekeh sembari memukul-mukul pelan lengan Rebecca.
"Alma?"
Alma tersentak kager mendengar sapaan Sasha yang baru sadar kalau ia berdiri di samping mereka kini. Mendengar Sasha menyebut nama Alma, Rebecca langsung menoleh kemudian tersenyum samar sembari melambaikan tangan menyuruh temannya itu mendekat.
"Kau dari mana saja?" Tanya Rebecca santai, menyodorkan satu bungkus roti isi cokelat pada Alma. "Buruan makan, ini makanan terakhir kita. Besok kita harus kelaparan," bisik Rebecca ke samping Alma membuat Sasha mengangguk membenarkan. "Betul, ini juga Rebecca dapat dari Nicholas." Jelas Sasha tersenyum mereka seperti biasa.
Alma masih kehilangan kata-katanya, benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja terjadi padanya.
"Bec, ada sesuatu yang terjadi. Sasha juga tahu, aku gak paham kenapa Sasha bisa sampai di sini lebih dulu dari pada aku." Racau Alma kebingungan dengan meneguk ludah kasar.
"Sasha dari tadi sama aku dan anak-anak kok, Al. Dia gak kemana-mana." Jelas Rebecca yakin membuat Alma mengusap wajahnya kasar. "Okey, lupain soal itu ... sesuatu terjadi pada Cleo. Tadi kita pergi ke danau hitam dan Cleo di––"
"Aku, kenapa?" Alma terperanjat kaget sampai melompat kecil melihat Cleo yang baru saja keluar dari kamar dengan rambut basahnya. Ada handuk kecil yang mengalung pada lehernya.
"Ba-bagaimana bisa ... kau ada di sini?"
Cleo melengos saja kemudian mendudukan diri pada ambal sofa, sembari menatap Alma aneh. "Emang kita dari tadi di sini, kan? Kau yang kemana saja, dari tadi dicariin di dalam kamar tidak ada." Gerutu Cleo kemudian merebut roti di tangan Sasha membuat gadis itu mendecak tidak suka.
Rebecca mendengus mendengar Cleo dan Sasha yang memperebutkan satu roti. Padahal mereka punya jatah masing-masing. Rebecca pun menoleh ke samping Alma yang kini pucat dengan kelopak matanya yang bergerak tidak tenang.
Sesaat kemudian Alma terjatuh pingsan membuat teman-temannya kaget. Rebecca langsung maju dan berusaha membangunkan temannya itu. Sedangkan, Cleo berdiri cepat dan turun ke lantai 1 untuk memberi tahu pada sang guru. Gadis itu terhenti saat tidak sengaja ekor matanya menangkap lukisan di sana. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya merasa aneh akan aura lukisan perempuan itu. Namun, Cleo tidak terlalu menanggapi banyak. Ia hanya ingin cepat-cepat meminta bantuan karena temannya sedang pingsan.
***
Daniel mengerjap-ngerjapkan matanya sayu dengan kedua bahu melemas. Ia berusaha mengumpulkan potongan-potongan ingatan yang ia yakini bukanlah halusinasi atau pun mimpi seperti yang Christ, Rebecca dan Laura katakan.
Karena Daniel sangat yakin, ia melihat sendiri sosok pembunuh aslinya. Bukan ayahnya yang selama ini Christ tuduhkan.
Pemuda yang memiliki rambut panjang sampai hampir menutupi kedua matanya itu memejamkan mata sesaat. Sebenarnya apa yang pertama kali membuat semua ingatannya kacau begini. Ada yang terasa nyata, namun seperti mimpi. Ada yang seperti mimpi namun semuanya nyata.
Daniel meringis lirih, merasa kepalanya
mulai berdenyut nyeri. Ia akhir-akhir terlalu memaksakan diri sampai membuat kepalanya sering terasa berat dan sakit.
Kadang ia ingin memecahkan saja kepalanya dengan cara menghantamnya ke dinding atau kemanapun. Karena saat kepalanya sakit, seperti ada yang menginjaknya berulang kali. Selain itu ia jadi mendengar suara-suara aneh di sekitarnya.
Suara perempuan yang kadang ingin meminta tolong. Kadang juga cekikikan seakan mentertawakan dirinya.
"Heh! b******k, ikut!"
Daniel menghela samar mendengar suara Nicholas di sampingnya yang melambaikan tangan menyuruhnya mengikuti pemuda itu. Ada Rein dan juga Nathan yang kini berjalan di belakang Daniel, memastikan Daniel tidak bisa kabur kemanapun.
"Aku dengar ayahmu ada di pulau ini, benar?" Tanya Nicholas tanpa menoleh, mengedarkan pandangan ke sekeliling sembari menunggu balasan Daniel. "Bagaimana cara ayahmu bisa datang ke sini. Dan sama sekali tidak meninggalkan jejak apapun seperti perahu, kapal dan sebagainya." Lanjut Nicholas dengan nada santai.
Keempat pemuda itu pun sampai di pinggir pantai. Suara ombak yang menghantam karang menyadarkan mereka semua. Kalau kini mereka maaih terperangkat di pulau asing.
"Berapa kalipun aku mencoba mencari tahu, aku tidak menemukan jawabannya." Kata Nicholas menghela samar, "bisakan kau tanyakan pada ayahmu? Bagaimana cara dia datang ke sini? Kalau dia bisa datang dengan mudah seperti itu, bukankah kita juga bisa keluar dari tempat ini?" Sambung Nicholas berusaha bernegosiasi dengan Daniel.
"Aku ... tidak tahu."
Nicholas mendecak samar, berusaha tersenyum samar. "Kau memang tidak akan pernah tahu. Jadi, kau tanyakan pada ayahmu saja. Bagaimana?" Bujuk Nicholas dengan ekspresi ramahnya.
Rein dan Nathan yang melihat itu hanya menggelengkan kepala heran. Terlalu kentara sekali sikap Nicholas yang terpaksa berpura-pura baik agar bisa mendapat jawaban dari Daniel yang selama ini menjadi korban kekerasannya.
"Kau ... tanyakan saja sendiri." Balas Daniel dengan tatapan tajamnya membuat senyum ramah Nicholas perlahan berubah menjadi garis lurus. "Kau memang tidak bisa diajak kompromi ya? Selalu bisa membuat emosi aku naik ke permukaan." Ujar Nicholas tersenyum miring, perlahan melangkah maju dan mendekat pada Daniel di depannya.
"Gigit rahangmu kuat b******k!" Kata Nicholas kemudian melayangkan bogeman mentahnya kuat.
Rein dan Nathan kompak mengerjap kaget melihat Daniel yang menahan tangan Nicholas dan kini mencengkramnya kuat.
"Jangan seenaknya, selama ini mungkin aku diam saja saat kau dan teman-temanmu memperlakukan aku seperti binatang." Dingin Daniel masih mencengkram tangan Nicholas kuat, "tapi, sekarang ... aku tidak akan membiarkan kau atau pun teman-temanmu bisa menyentuhku seperti dulu. Paham?" Lanjut Daniel mengingatkan kemudian mendorong tangan Nicholas sampai tubuh pemuda itu termundur pelan.
Rein dan Nathan saling pandang sesaat melihat perubahan tingkah laku Daniel yang jujur mengagetkan.
Nicholas menggerama kasar sembari menatap punggung Daniel yang perlahan melangkah pergi. Nicholas merasa tersinggung mendengar pemuda itu mengancamnya di depan Rein dan Nathan. Karena tidak terima, Nicholaa pun merunduk dan memungut batu sebesar dua kepalan tangannya dan berlari mengejar Daniel yang sudah jauh.
Rein dan Nathan panik melihat itu dan mengekori. "Kau ... mati saja, brengsek." Teriak Nicholas mengayunkan tangannya yang memegang batu. Namun, pemuda itu malah memekik kuat saat Daniel melempar pasir ke arah matanya.
Setelah itu, Daniel berlari pergi meninggalkan Nicholas yang mengumpat kasar dengan mata terpejam. Rein dan Nathan mendekat berusaha membantu Nicholas, walau berakhir mendapat makian sang teman.
Nicholas mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha melihat sekitar. Ia beranjak berdiri dengan kelopak matanya yang memerah dan terasa perih. Ia melangkah besar dengan rahang mengeras, tatapannya tajam seperti sudah ingin membunuh siapapun yang menghalangi jalannya sekarang.
Pemuda yang memamaki kaos putih polos itu mengamb kayu sebesar lengannya di samping Villa. Kemudian memegangnya erat sembari melesat masuk ke dalam Villa untuk mencari keberadaan Daniel.
Beberapa anak perempuan yang hendak melangkah keluar pada Villa jadi terdorong kasar oleh Nicholas membuat Christ yang baru keluar dari kamarnya menatapnya tajam.
"Kau sedang apa?" Tegur Christ menghadang jalan Nicholas yang napasnya sudah menggebu-gebu. "Jangan ikut campur, sekarang kau hanya perlu minggir. Kalau tidak mau terluka," ancam Nicholas kemudian mendorong tubuh Christ ke samping.
"Stop melakukan hal-hal bodoh," tahan Christ menahan lengan Nicholas kuat. "Aku sedang memperingatkanmu sekarang, jangan sampai membuat anak-anak makin ketakutan karena tingkah lakumu." Ujar Christ mengingatkan. "Sekarang ayahnya Daniel ada bersama kita di pulau ini. Kalau kau melukai Daniel, ayahnya mungkin tidak akan membiarkanmu keluar dari pulau ini dalam keadaan hidup." Nicholas mendecak samar, perlahan menjatuhkan kayu pada tangannya sembari menatap Christ di depannya.
"Pecundang, aku melakukan ini agar anak itu mau bekerja sama. Agar kita semua bisa keluar dari tempat ini." Kata Nicholas penuh semangat.
"Dengan cara apa? Menghajar Daniel sampai dia mati?" Nicholas terdiam beberapa saat kemudian menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin bernegosiasi dengan anak itu."
Christ tersenyum masam mendengar penjelasan Nicholas yang tidak masuk akal. "Bernegosiasi atau mengancam? Kalau mau membuat kesepakatan, kau harus bisa mengendalikan emosimu terlebih dahulu." Tukas Christ dengan ekspresi datar.
"Jangan karena selama ini kau sudah sering melukai Daniel, kau dan teman-temanmu makin seenaknya pada anak itu." Kata Christ kemudian menoleh pada Rebecca yang sedari tadi berdiri melihat keduanya yang tengah berdebat. "Kau ... tenangkan pacarmu. Jangan sampai nasibnya sama seperti Beno, Fiola dan Miss Jessie." Setelah mengatakan itu Christ melangkah keluar dari Villa dengan berusaha mencari keberadaan Daniel.
Christ menaikan alisnya tinggi saat melihat Daniel berdiri melamun pada jalan setapak yang mengarah ke danau hitam. Pemuda itu tidak bergerak sedikit pun membuat Christ menghampiri dan mengambil tempat ke samping cowok yang memakai hoodie hitamnya.
"Kau ... tidak apa-apa?" Tanya Christ pelan membuat Daniel menoleh sekilas ke arahnya. "Apa aku harus menanyakan jalan keluar pada orang itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Christ, Daniel malah membalasnya dengan pertanyaan juga. "Orang itu?"
"Orang yang disebut sebagai ayahku. Apa aku harus menanyakan jalan keluar dari sini?" Tanya pemuda itu merasa ragu sendiri. "Jangan, aku melihat sendiri bagaimana ayahmu ingin membunuhmu. Itu berarti ... dia tidak bisa diajak kompromi." Kata Christ melarang membuat Daniel merunduk samar.
"Terus ... apa kita akan terus-terusan berada di sini?"
Christ menggelengkan kepala pelan, "ada satu cara. Kita hanya perlu meminta bantuan," Daniel mengernyitkan dahi bingung mendengar ucapan Christ yang tidak masuk akal.
"Ada yang bisa membantu kita semua agar keluar dari sini,"
"Siapa?"
"Namanya ... Dirga."