Nicholas menendang-nendang kasar pohon rindang di depannya. Sembari mengumpat kasar tanpa henti. Ekspresinya benar-benar tidak bisa ia kendalikan. Sampai teman-temannya yang sedang bersamanya hanya duduk diam tanpa menghentikan aksi Nicholas yang sedang melampiaskan emosinya.
Nathan menatap Rein yang duduk bersilah di depannya, mengisyaratkan untuk menegur Nicholas yang seperti kesetanan.
"Sebenarnya yang bunuh Beno siapa ya? Kalau bukan salah satu di antara rombongan sekolah kita. Pasti pulau ini sudah pasti ada penghuninya." Kata Rein berusaha menarik perhatian Nicholas.
"Sepertinya begitu, apalagi dia menargetkan Beno yang saat itu sendirian di tengah semak-semak. Karena kita tinggalin dia juga di sana kan?" Sahut Nathan tanpa beban, Nicholas menolehkan kepala menatap Nathan tajam. "Jadi, maksudmu ... Beno meninggal karena kita juga?" Nathan sontak menggelengkan kepala cepat.
"Bukan itu maksud aku, Nic." Elak Nathan jadi panik sendiri.
"Kalau bukan begitu, sebaiknya tutup mulutmu sebelum orang lain dengar." Ketus Nicholas buat Nathan meneguk ludahnya kasar. "Apapun caranya, aku harus menangkap si b******k pembunuh itu. Bagaimana pun caranya, aku sendiri yang akan menghabisinya dengan tanganku sendiri." Kata Nicholas penuh dendam, mengepalkan tangannya erat.
"Kau ada rencana, Nic?" Tanya Rein sudah berdiri, mengusap bokongnya bekas debu pada tempat duduknya.
"Ada. Kita patroli nanti malam, cari orang itu sampai dapat. Kita harus bisa menangkap basah dia, sebelum guru-guru menemukannya." Kata Nicholas antusias, mengeluarkan benda tajam dari saku celananya.
"Nic, sepertinya ini terlalu berbahaya. Bagaimana kalau kita tunggu saja guru-guru yang bertindak. Kalau kita saja ... agak ... " Nicholas menatap Rein yang masih menentangnya, "kalau kau tidak mau. Lebih baik kau tidak usah hidup, bangsad!" Geram Nicholas mengarahkan pisaunya pada Rein yang langsung membuat pemuda itu gemetar ketakutan. "Apa gunanya kau hidup kalau pada hal sepele begini saja kau takut? Benar-benar seperti pecundang." Rein meneguk ludah kasar, menatap Nicholas setengah memohon.
"A-aku akan ikut, Nic. Aku minta maaf karena tadi bersikap bodoh." Ujar Rein dengan suara bergetarnya.
Nicholas sontak menganggukan kepala senang, menarik pisaunya kemudian melipatnya dan memasukannya kembali ke dalam saku celananya. Nathan yang berada bersama mereka sudah keringatan melihat keduanya yang harus berdebat dengan pisau di tangan.
Nathan berharap ia tidak ada bersama mereka saat ini. Apalagi salah satu temannya meninggal entah dibunuh oleh siapa.
"Kita bertemu di sini nanti malam, jam satu." Ujar Nicholas mengingatkan sembari melangkah pergi meninggalkan Rein dan Nathan yang menatap punggungnya yang sudah menjauh.
Rein mengepalkan tangannya erat, mengumpat kasar dan menendang semak di sampingnya kesal. "Dia selalu bertingkah seenaknya, kan? Selama ini selalu begitu, bahkan Beno meninggal dan dia sama sekali tidak peduli." Racau Rein masih tidak habis pikir.
"Kalau pun kita melawan, tidak ada gunanya. Kita bisa saja mati kalau menentang perkataan Nicholas." Sahut Nathan berusaha kalem, "ck, bagaimana kalau kita dibunuh sama orang itu? Kita bertiga bisa saja jadi korban selanjutnya." Panik Rein sembari menggerakan matanya tidak tenang. "Kita bertiga, bisa saja orang itu sendirian. Tidak mungkin kan, dia bisa menghabisi kita sekaligus?" Kata Nathan lagi dengan yakin.
"Nicholas benar, bagaimanapun caranya dan apapun yang terjadi nanti malam. Kita harus bisa ... menangkap orang itu. Bahkan, kalau perlu kita bunuh dia di pulau ini." Tutur Nathan penuh semangat membuat Rein meneguk ludah kasar.
"Emangnya kau yakin kalau orang itu sendirian? Bagaimana kalau mereka lebih dari satu orang atau berkelompok? Bisa saja kita yang akan digantung selanjutnya." Kata Rein masih tidak setuju, "makanya kita nanti malam harus ngajak Daniel. Kalau ada yang situasi yang membahayakan, kita bisa manfaatkan pecundang itu." Kata Nathan tersenyum penuh arti. "Kau yakin anak itu bisa berguna?"
Nathan mengiyakan, "setidaknya kita berdua jangan sampai mati konyol di tempat ini. Kalau ada yang harus mati itu adalah Daniel atau Nicholas." Kata Nathan tersenyum miring membuat Rein menganggukan kepala setuju.
**
Rebecca mengisap dalam rokoknya kemudian mengembuskan kasar sampai teman di sebelahnya terbatuk kecil karena pernapasannya terganggu. Melihat itu Rebecca sontak tersenyum saja sembari menatap danau hitam yang dikelilingi pohon pinus di hadapannya.
Di belakang gedung villa tempat mereka tinggal, ada sebuah danau di sana yang terkesan menakutkan. Air danaunya hitam keruh, pohon pinus yang tumbuh di sekeliling danau seakan menjadi gerbang danau mistis itu.
Tadi saat menguburkan Beno, guru-gurunya memutuskan untuk memilih tempat di seberang danau yang harus menyebrangi jembatan reok di tengah danau. Beberapa kayunya rusak, bahkan ada yang ambruk karena cuaca yang tidak menentu. Penyangganya pun sudah lapuk dan ditumbuhi parasit kering. Oleh karena itu, hanya beberapa orang yang pergi untuk menyeberang. Karena takut jembatan akan ambruk.
"Kalian penasaran gak, bagaimana Beno bisa mati digantung seperti itu?" Tanya gadis berkepang dua itu–– Sasha namanya, tengah menikmati rokoknya sama dengan Rebecca.
"Gak penting bahas Beno. Si b******k itu emang pantas mati, gaya sok-sokan keren padahal cuma pecundang yang gak bisa berkutik kalau di depan Nicholas." Sahut Cleo yang hanya bermain dengan air danau bersama Alma di sebelahnya.
Rebecca yang mendengar itu tersenyum saja, "Nicholas kan emang gak ada duanya ya, Bec?" Sindir Sasha tersenyum penuh arti.
"Ya, emang pacar aku begitu." Ujar Rebecca mematikan rokoknya kemudian melangkah maju mendekat pada Alma dan Cleo yang sudah membuka pakaian atasan mereka. Hanya memakai bikini dan celana pendek mereka, menjadikan danau hitam itu seperti pinggir pantai.
Keempat gadis itu datang bermain di tengah malam, hanya untuk merokok diam-diam tanpa ingin diketahui oleh sang guru.
"Airnya dingin juga," kata Sasha sudah menggigil kedinginan membuat Alma yang baru masuk ke air jadi kembali berlari keluar. "Kalau dingin aku gak jadi mandi." Ujarnya mendelik kecil
Rebecca mendengus saja, mengajak Cleo untuk masuk bersama ke danau hitam itu. "Segar juga airnya," kata Rebecca malah memejamkan matanya pelan, berusaha merasakan ketenangan di danau hitam itu.
Cleo sudah beranjak keluar, meninggalkan Rebecca sendirian di danau yang memejamkan mata mengapung di danau.
"Bec, kita balik yuk. Aku udah ngantuk," kata Sasha kembali memakai bajunya, sembari memeluk lengan Alma karena kedinginan. "Aku nyusul, kalian duluan aja." Kata Rebecca mengusir teman-temannya tanpa membuka matanya.
"Bec, beneran gakpapa kau sendirian? Gak takut kalau Beno tiba-tiba datang menemani kau yang mandi sendirian di sini?" Kata Cleo menakut-nakuti.
Rebecca tersenyum saja, "datang saja, kebetulan ada yang ingin aku tanyakan pada Beno." Balas gadis bermata runcing itu santai. Seakan tidak punya rasa takut. "Yasudah, kalau ketemu Beno sampaikan salamku ya?" Ujar Cleo terkekeh pelan sembari melangkah pergi bersama Alma dan Sasha yang melangkah lebih dulu.
Kini Rebecca sendirian di dalam air danau itu. Suasana di sekitarnya hening tanpa ada suara. Cahaya bulan terpantul di air danau membuat ada sedikit cahaya di sana yang menemani Rebecca yang sendirian.
Gadis itu membuka matanya perlahan, merasakan ada pergerakan di sekitarnya. Ia menolehkan kepalanya, masih dalam posisi mengapung di air. Alisnya terangkat tinggi menangkap sesosok bayangan yang berdiri di dekat pohon pinus menatap ke arahnya.
Rebecca sontak berdiri, membalas tatapan sosok yang kemudian berbalik dan menghilang itu. Gadis itu pun buru-buru keluar dari air dan memakai bajunya cepat. Ia berlari ke arah jembatan dan menyebrangi jembatan reok itu. Ingin mengejar sosok aneh tadi yang membuatnya penasaran kini.
Langkah Rebecca terhenti, saat mendengar suara piano terdengar dari arah Villa tempat mereka tinggal. Kemudian ia tersentak kaget saat seperti sebuah bayangan melesat begitu saja di belakangnya. Saat menoleh, tidak ada siapapun di sana. Hanya ia sendirian yang berdiri di atas jembatan.
Rebecca melanjutkan langkahnya dengan kaki telanjang tanpa alas. Rambutnya yang basah makin lepek karena keringatnya. Ia sudah menapaki tanah dekat jembatan yang baru saja ia lewati.
Ada jalan bebatuan dengan akar pohon yang menjalar ke tanah di depannya. Tanpa pikir panjang, Rebecca melanjutkan langkahnya dan berusaha mencari sosok tadi.
Rebecca makin melangkah masuk dengan diiringi suara napasnya yang ngos-ngosan. Gadis itu kini memasuki tempat asing itu lebih dalam, tempat yang dikelilingi pohon-pohon tinggi dan rindang. Ia sesekali mengedarkan pandangannya dengan merasakan samar-samar suara orang memanggilnya. Namun, Rebecca mengacuhkannya. Tidak akan membiarkan makhlus halus atau setan atau apalah itu menganggu perjalanannya. Karena tujuannya sekarang adalah untuk menangkap pembunuh Beno.
Rebecca memicingkan matanya melihat sesosok gadis berpakaian putih di depan sana. Di ujung jalan yang dipenuhi dengan lumut-lumut yang menempel pada batang maupun daun pohon.
Ia makin melangkah maju mengikuti sosok berambut panjang itu. Rebecca tersentak kecil saat kakinya menginjak seresah di bawah kakinya. Daun kering yang akan membusuk dan menjadi pupuk di tengah tempat yang seperti hutan itu.
Rebecca mengedarkan pandangannya, tidak menemukan siapapun di sana. Ia tersentak kaget saat tangan seseorang menyentuh bahunya.
"Rebecca?" Ujar gadis itu sama kagetnya dengan Rebecca yang hampir saja jantungan itu. "Laura? Kau ngapain di sini?" Tanya Rebecca sama kagetnya. "Cari angin," balas gadis itu santai kemudian menatap Rebecca dengan alis bertautan.
"Kau ngapain basah-basahan di sini? Jangan-jangan ... kau melakukan sesuatu hal aneh ya?" Tuduh Laura membuat Rebecca menatapnya tidak bersahabat.
"Aku tadi mandi di danau sana, airnya lumayan tenang. Jadinya aku tenangin diri dan lumayan segar juga," ceritanya membuat Laura mengangguk saja dengan memasukan kedua tangannya dalam saku hoodie. "Kau sendiri ngapain ke sini? Harus banget cari angin sampai ke dalam hutan ini?" Laura mengangguk mengiyakan. "Tempat ini menarik menurutku, aku ingin mendapat inspirasi. Kebetulan lagi garap cerita thriller dan horor." Jelas Laura santai melangkah beriringan bersama Rebecca, teman sekelasnya itu.
"Kau beneran berniat mau jadi penulis ya?" Laura kembali mengangguk, "sekedar hobi." Balasnya acuh.
Rebecca menghentikan langkah Laura membuat gadis itu menaikan alisnya tinggi. "Apa kau melihat sosok perempuan di ujung jalan tadi?" Tanya Rebecca dengan ekspresi seriusnya.
"Gak ada. Aku dari tadi bolak-balik di sini gak nemu perempuan." Balas Laura serius, Rebecca memicingkan mata kemudian mendesah samar. "Berarti emang setan." Katanya santai membuat Laura mengedikan saja bahunya.
"Kita harus balik, sebelum ketahuan sama Miss Jessie."
"Oke."
**
Kedua orang itu tengah sibuk mencari tempat strategis untuk melakukan pemotretan di tengah malam itu. Yang menjadi modelnya adalah seorang gadis berambut panjang dengan memakai gaun putih tulang sampai sebetis. Sedangkan, laki-laki jangkung yang mengalungi kameranya sedari tadi adalah fotografernya.
Keduanya sudah mengambil cukup banyak gambar. Tadi, si gadis berpakaian putih sudah masuk ke tengah danau membelakangi kamera dengan mendongak menatap langit. Cahaya pantulan bulan membuat gambar yang tertangkap makin terkesan horor.
Setelah itu mereka mengambil gambar di jembatan, gadis berambut panjang lurus itu duduk selonjoran kaki di jembatan dengan merunduk samar membuat rambutnya terjatuh dan menutupi hampir semua wajahnya.
Kemudian mereka beralih mencari tempat lain, masuk ke dalam hutan dengan menjadikan spot di dalam sana untuk menjadi background fotonya.
"Beneran di sini tempatnya lumayan bagus ya?"
"Hm, makanya kan aku ajak kamu ke sini."
Gadis yang bernama Fiola itu merapikan rambutnya sesaat kemudian melangkah santai ke depan jalan sana. Berdiri dengan mengibaskan dressnya membuat pemuda jangkung di belakang sana langsung mengambil gambarnya.
"Gimana? Bagus, gak?" Tanya Fiola tersenyum mendekat pada sang pacar –– Fero.
"Bagus. Tapi, akan lebih bagus kalau kamu pose tiduran di atas tumbuhan kering itu." Kata Fero mengarahkan, "oke." Sahut Fiola cepat tanpa menolak.
Fiola pun tiduran di atas daun-daun kering itu dengan merapikan gaunnya agar terlihat bagus di kamera. Ia menata rambutnya menutupi sebagian wajahnya dengan tangan kanannya yang seakan tengah menerima uluran tangan orang lain. Sedangkan, tangan kirinya memegang dressnya pelan.
"Bagus," kata Fero kembali melihat hasil fotonya.
Fiola tersenyum, beranjak berdiri kemudian merapikan rambutnya. "Kamu coba berdiri di tengah semak-semak itu, posisikan diri kamu sebagai seseorang yang diculik sekarang. Kamu berusaha meminta tolong, namun kedua kakimu seperti ditarik dan diseret oleh si penculik." Jelas Fero memberikan ide, Fiola tersenyum manis mengangguk mengiyakan. Lalu bergerak maju dan masuk ke semak-semak membuat punggung sampai kepala saja yang terlihat.
"Oke, tangan kamu jangan lupa." Kata Fero di belakang berusaha mengarahkan. "Oke." Balas Fiola menurut.
Fero tersentak kecil mendengar obrolan beberapa orang mendekat. Ia pun buru-buru mematikan kamernya dan berlari mendekat ke arah danau. Bersembunyi di belakang pohon pinus.
Ia menaikan alisnya melihat Rebecca dan teman-temannya merokok di depan sana. Tanpa pikir panjang, Fero langsung mengambil potret itu dan tersenyum begitu saja. Apalagi saat Rebecca dan teman-teman ceweknya membuka pakaian atasnya dan meninggalkan bikini saja pada badan tipis mereka.
Fero gencar mengambil gambar sampai lupa akan keberadaan Fiola yang masih berpose di dalam semak-semak.
Beberapa menit kemudian, teman-teman Rebecca melangkah pergi meninggalkan Rebecca sendirian di dalam tanau. Tidur mengapung di sana dengan tenangnya.
Fero terpana melihat itu, "Rebecca memang cantik di foto." Kata pemuda itu tersenyum, kemudian kembali mengambil gambar.
Fero melebarkan mata kaget saat Rebecca tiba-tiba menoleh ke arahnya membuat ia langsung menarik diri dan sembunyi.
"Rebecca gak ngelihat aku kan?" Katanya panik kemudian berlari pergi dari sana sampai lupa keberadaan Fiola yang masih berada di dalam semak-semak.
Fiola berdiri tidak tenang karena Fero tidak kunjung membalas perkataannya. Gadis itu menunggu di dalam sana sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia makin melangkah masuk ke dalam hutan dengan memperhatikan pohon-pohon rindang yang bergerak-gerak sendiri seperti ada penghuninya di sana.
Fiola tidak terusik sama sekali, gadis itu malah berdiri dengan mengernyitkan dahinya melihat beberapa orang di depan sana tengah mengobrol dengan menjadikan salah satu dari mereka sebagai samsak.
"Nicholas?" Ujar Fiola memperhatikan Nicholas yang sedang bersama teman-temannya dan ada Daniel juga di sana. Tiduran di atas tanah basah itu dengan tubuhnya yang dipukul-pukul sampai babak belur.
"Nicholas."
Nicholas dan kedua temannya yang sedang melampiaskan emosinya jadi tersentak kaget mendengar sapaan itu. Bahkan, lebih kaget lagi melihat seorang gadis berpakaian putih-putih di dalam hutan.
"Fiola?"
"Hm," sahut Fiola sembari merunduk dan membantu Daniel berdiri. "Kau ... ngapain?" Tanya Nicholas merasa terganggu dengan kehadiran gadis itu.
"Aku hanya ingin membantu kalian." Kata Fiola dengan santainya sembari menunjuk di depan jalan sana. "Ada tebing di sana, kalau mau hajar dia ... langsung aja sampai mati." Katanya tersenyum manis membuat Nicholas menaikan alisnya tinggi. "Kenapa, kau takut membunuh orang?" Tanya Fiola memancing buat Nicholas tersinggung.
Rein dan Nathan saling pandang sembari melirik Daniel yang tengah terluka dan berdiri agak pincang itu.
"Sudahlah, kalau kalian gak bisa. Biar aku saja," kata Fiola tersenyum samar, "kalian buruan pergi. Sepertinya ada guru yang akan datang kemari." Lanjutnya membuat Rein dan Nathan melebarkan mata kaget.
Nicholas mendecak saja, lalu mengalah dan melangkah pergi dari sana meninggalkan Fiola dan Daniel di tengah hutan sana.
Setelah Nicholas dan kedua temannya pergi. Fiola melangkah maju dan mengusap rambut Daniel lembut sembari tersenyum manis.
"Kau ... mau aku dorong sekarang apa nanti?"
Daniel yang tidak paham hanya mengernyitkan dahi, "aku paling membenci manusia lemah seperti kau ini. Daripada terus-terusan dijadikan samsak, bukankah lebih baik kau mati saja?" Ujar Fiola santai sembari menarik lengan Daniel sampai keduanya berada di ujung tebing kini.
"Kalian sepertinya datang dari tempat berbeda ya tadi, dan akhirnya masuk ke hutan sini." Kata Fiola pelan sembari mendudukan diri, menjulurkan kakinya di tebing dan memandangi hamparan laut luas di hadapannya. Tidak ada gunung yang terlihat.
"Daniel,"
Daniel tidak menjawab, sibuk meringis kesakitan dengan memegang perutnya yang terasa perih karena tendangan kasar Rein dan Nathan tadi.
"Kau ... mati saja." Kata Fiola lagi sembari mengeluarkan sesuatu dari celah gaunnya membuat Daniel melebarkan mata kaget.
Fiola sudah berdiri, memegang pisau tajamnya sembari tersenyum manis.
"Aku akan membantumu mati secara tenang, jadi ... percaya saja padaku." Kata gadis itu lagi dengan mengarahkan pisaunya ke depan Daniel.
Daniel yang merasa pusing sedari tadi mendadak ambruk dan pingsan di sana membuat Fiola terkekeh begitu saja.
"Dasar pecundang, padahal aku cuma main-main." Katanya kembali duduk bersilah di sana dengan Daniel yang pingsan di sebelahnya.
Entah sudah berapa lama Fiola duduk di sana. Gadis itu pun merasa jengah dan akhirnya beranjak bangun dan menolehkan kepala dan tersentak kaget melihat sosok di belakangnya kini menatapnya dingin.
"Aku sudah menunggumu dari tadi." Kata sosok itu dengan tatapan sayunya, ada pisau di tangannya yang sudah dilumuri darah yang perlahan menetes dan menyentuh tanah lembab yang mereka pijaki.
Fiola mengedarkan pandangannya tidak menemukan Daniel di sana. Hanya ada sosok asing di depannya yang wajahnya tidak terlihat. Ditutupi rambut panjangnya yang hampir menutupi kedua matanya.
"Kau ... siapa?"
Sosok itu tidak menanggapi, malah berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari celananya. Sebuah benang yang sudah ia gulungkan pada tangannya.
"Kau tau apa yang paling aku benci?" Kata sosok itu sembari mendekat pada Fiola yang perlahan melangkah mundur karena takut. "Orang yang bertanya padaku," sambungnya sembari menarik lengan Fiola dan mencekik gadis itu dengan benang di tangannya.
Fiola berusaha meronta namun tenaga orang itu lebih kuat darinya. Disela usahanya untuk melepaskan diri, Fiola melebarkan mata mengenali sosok di belakangnya itu. Bahkan, bibirnya bergerak mengucap nama orang itu. Namun, hanya Fiola sendiri yang bisa mendengarnya karena gadis itu langsung bungkam karena kehabisan napas.
Fiola mati di tangan sosok yang kini berdiri di ujung tebing. Tersenyum menyapa langit gelap di atas sana.