Hari senin, semua berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Agas, Reon dan El sudah ada di rooftop gedung. Reon asik dengan game n*w ride yang baru saja ia download, sedangkan El menyesap sebatang rokok yang terselip dijari. Pikirannya menerawang memikirkan kekasihnya yang sekarang sudah jadi mantan. Agas sendiri mengepulkan asap rokok dari mulut dan hidung. Matanya awas menatap kebawah, tepatnya barisan kelas 11 IPS2. Salah satunya Milly yang berada dibarisan paling depan, sudah berganti dengan seragam sekolah yang sama dengannya.
‘Dia murid disini?’ gumamnya, kembali menyesap rokok, lalu membuang putungnya, menginjaknya hingga mati.
Beranjak dari atas.
“Gas, kemana?” tanya El yang berada didekatnya tadi.
“Lapangan.” Jawabnya singkat, tanpa menoleh kedua sahabatnya yang heran sambil bertatapan.
“Tungguin, wooi!” seru Reon yang langsung mematikan ponsel dan mengejar langkah Agas.
*YuwenAqsa*
Menerobos barisan teman sekelasnya, menepuk pundak Emi yang ada dibarisan paling depan. Menyuruh gadis itu untuk pindah barisan, sementara dia sendiri menempati tempat Emi. Disusul dengan Reon dan El yang berdiri dibelakang dan sisi kirinya.
“Lo kesambet apa, Gas. Napa tiba-tiba ngikut upacara?” tanya Reon yang memang penasaran sejak tadi.
“Liat tuh, hampir semua siswa dan guru natap kita. Ini terlalu ajaib karna kita ada di lapangan untuk pertama kali selama hampir tiga tahun sekolah disini.” El menambahi.
Agas tak menjawab, pandangannya fokus natap Milly yang hanya diam dengan wajah terlihat memikirkan sesuatu. Begitu penasaran dengan gadis cantik yang sudah membuatnya basah tiap pagi. Menunduk saat bayangan setiap malam itu kembali melintas. Semua terlalu jelas. s**t!
Upacara yang berlangsung 45 menit itu akhirnya usai. Agas dan kedua temannya menuju kantin untuk mendinginkan tenggorokan yang kering karna kepanasan di lapangan tadi.
“Us!” teriak Agas memanggil salah satu teman sekelasnya.
“Ya, apa?” Usman, cowok berkaca mata itu berhenti, mendekati meja Agas yang berada tak jauh darinya.
“Ada murid baru?” tanyanya tanpa basa-basi.
Usman mengerutkan kening. “Enggak ada. Kenapa?”
“Kek liat ada yang baru.”
Usman diam, terlihat mengingat. Menit kemudian geleng kepala. “Enggak ada kok.”
Agas ngangguk, menatap dua sahabatnya jalan mendekat. “Yaudah sana.” Usirnya pada Usman.
Tak mengatakan apapun, Usman berlalu membawa minuman dan roti menuju kelas. Reon dan El duduk di bangku panjang depan Agas, membuka tutup botol dan meminumnya.
“Kalian liat murid baru nggak sih?” tanya Agas, membuka roti yang tadi dibawa Reon.
“Emang ada?” Reon malah balik tanya, menggigit rotinya.
El menyalakan rokok, mulai menyesap rokok itu. “Cewek bukan?” tanyanya pada Agas.
Agas langsung ngangguk. “Lo liat?”
El ngangguk. “Tadi pagi gue liat dia ganti seragam di toilet.”
Bhuk!
Reflek Agas langsung memukul pundak El. Membuat yang punya pundak meringis.
“Sakit, anjinng! Lo ngapain sih!” meringis sambil mengelus pundaknya.
“Pagi-pagi lo ngintipin cewek ganti baju?” garang Agas, emosinya tersulut.
El mengalihkan pandangan, membuang nafas kasar melalui mulut. “Enggak, anjiing! Gue liat dia bawa seragam, masuk ke toilet buat ganti. Astaga, sukanya nistain orang. Herman!”
Agas kembali bernafas lega. “Oo ....” kembali menggigit roti ditangannya.
Reon merasa ada sesuatu yang disembunyikan Agas. “Eehhmm!” berdehem dahulu. “Lo naksir si murid baru?”
Agas langsung mentonyor kepala Reon. “Gibah lo!” berusaha menutupi fakta tentang dia dan Milly. Meminum minumannya hingga tandas. Tanpa berkata lagi Agas beranjak, membenarkan posisi tasnya dipunggung lalu berjalan meninggalkan kantin.
Reon dan El mengekor menuju gamezone, duduk didepan layar yang menunjukkan game faforite anak-anak disini. Mulai serius dengan layar didepannya tanpa obrolan lain.
**
Reon sudah pulang sejak tadi, mamanya menyuruh menemani belanja untuk acara pengajian. Sementara El sibuk menguntit Genata yang memang berbeda sekolahan darinya. Tinggallah Agas yang sendirian diparkiran sekolah. Diam nangkring diatas motor, sengaja menunggu seseorang. Berkali-kali menatap jam tangan di lengan kanan, lalu menatap arah karidor tempat para murid keluar untuk pulang.
Sedikit tersenyum saat melihat Milly yang muncul bersama seorang cewek. Tertawa saling berbagi cerita sampai mereka keluar dari gerbang sekolah.
Agas segera memakai helm, melajukan motor meninggalkan parkiran sekolah. Berhenti saat melihat Milly masih berdiri di samping sekolah, sepertinya menunggu seseorang. Takut jika Milly curiga, Agas melajukan motor, berhenti dipinggir jalan, membenarkan posisi spion agar bisa melihat wanita itu dari sana.
Setengah jam berlalu, motor matik berhenti didepan Milly. Seorang cowok dengan seragam yang berbeda menghampirinya.
“Maaf lama. Tadi mampir isi bensin dulu.” Ucap si cowok seraya menyerahkan helm warna hitam kearah Milly.
“Nggak apa, aku belum lama keluar kok.” Balas tersenyum dengan kebohongan.
“Ayook,” ajaknya kemudian.
Milly ngangguk, segera membonceng. Menit kemudian motor itu berjalan pelan meninggalkan area sekolah.
Vero, temannya sejak kecil, dan sudah dua tahun ini Milly menjalin kasih dengannya.
Vero meraba kaki Milly saat membonceng, menggenggam tangan gadisnya dengan senyum bahagia. Begitu juga Milly, kebahagiaan terukir diwajahnya.
“Mil, mampir makan bakso, mau?” tawarnya.
Milly menatap jam di tangan kanannya. “Setengah jam lagi aku ada jadwal les. Keknya nggak cukup deh.”
Vero ngangguk dengan raut kecewa, melepaskan genggaman tangan Milly. “Yaudah, kita langsung pulang aja.”
Ada rasa bersalah karna dia tak pernah bisa menghabiskan waktu luang dengan Vero. Waktunya selalu terbagi untuk bekerja dan sekolah. Pelan, tangan Milly melingkar ke perut Vero, memeluk kekasihnya dari belakang.
“Maafin aku, Ver. Aku nggak pernah punya waktu buat kamu. Maaf.” ucapnya dengan menyandarkan kepala dipunggung Vero.
Vero membuang nafas berat. Memang dia selalu kecewa. Dia menginginkan hubungan yang sama seperti orang lain lalui, bukan hubungan yang bahkan jarang bertemu. “Iya, aku ngerti.” Ucapnya lemah.
Motor matik biru itu berhenti didepan gerbang yang terbuka lebar. Milly segera turun, melepas helm, lalu menyerahkan ke Vero.
“Makasih ya.” Pengen nawari mampir, tapi itu nggak mungkin. Karna sisa beberapa menit lagi dia harus mengajar les.
“Hhmm. Aku pergi.” Tanpa menoleh lagi, Vero segera menjalankan motor meninggalkan kontrakan Milly.
Milly masih berdiri, menatap punggung lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu. Hatinya uring-uringan, menyalahkan keadaan yang membuatnya harus selalu berjuang. Beberapa menit berlalu, ia berbalik, berjalan pelan masuk ke kontrakan.
Merogoh kunci kamar didalam tas, lalu masuk setelah pintu terbuka. Menaruh tas, melepas flat shoesnya, bergegas mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Sekitar sepuluh menit lebih dikit, Milly keluar dengan rambut basah. Buru-buru ia mengeringkan rambutnya, kemudian menyisirnya. Segera memakai flat shoes yang tadi, lalu mengambil tas dan kembali keluar kamar.
Berjalan dengan terburu-buru. Masuk ke warung untuk membeli roti, langsung memakan roti saat keluar dari warung. Berjalan menuju ke halte terdekat, duduk di sana menanti kendaraan. Sesekali menatap jam di lengan kirinya. Setelah beberapa menit menunggu, sebuah angkot mulai terlihat. Milly melambaikan tangan, lalu masuk setelah angkot itu berhenti didepannya.
Milly turun didepan rumah megah berlantai dua, tersenyum pada satpam yang jaga didepan rumah itu, lalu masuk.
Agas yang mengikutinya sejak tadi mulai penasaran dengan apa yang dilakukan Milly. Menjalankan motor mendekati pos satpam setelah Milly masuk kedalam rumah.
“Pak, yang masuk tadi. Siapa?” tanyanya.
“Oh, tadi mbak Milly, mas. Guru les non Sayna.” Jawab si bapak.
Agas ngangguk. “Yaudah, makasih, pak.”
Kembali menjalankan motor untuk pulang ke rumahnya.
**
Pukul 8.30pm
“Besok harus inget semua ya, Say. Harus bisa dapat nilai yang lebih baik dari kemarin. Biar diajak liburan ke Bali.” Ucapnya pada gadis kecil yang menjadi muridnya sejak tiga bulan lalu.
Sayna menutup buku. “Iya, iih. Papa jahat banget. Pengen nonton konser BTS aja harus dapat juara tiga besar dulu.” Manyun karna kemarin gagal nonton konser.
Milly mengacak puncak kepala Sayna gemas. “Kakak yakin, pasti kamu besok bisa juara tiga besar. Pokoknya rumus yang tadi itu harus kamu hafalin ya.”
Wajah gadis 12 tahun itu berbinar dengan anggukan. “Iya, aku harus bisa. Pengen banget pinter kaya’ kak Milly.”
“Kamu sebenernya juga pinter lho. Hanya saja, kamu kemarin malas untuk belajar.”
Sayna menunduk, merapikan bubu-bukunya. Sementara Milly mengalungkan tas selempangnya ke bahu.
“Kakak pamit pulang ya. Masih ada yang harus kakak kerjakan.”
“Iya, kak. Hati-hati ya.” Menjabat tangan Milly, mencium punggung tangannya.
Milly berjalan santai keluar dari rumah megah itu. Sudah pukul sembilan kurang beberapa menit, nggak akan ada angkot yang lewat jalan ini. Memutuskan untuk jalan kaki sampai di kontrakannya. Milly mengusap lengan yang terasa merinding saat melewati tempat yang lumayan sepi. Ia menyepatkan langkah untuk sampai ditempat yang agak ramai.
Milly menghentikan langkah, ada rasa takut yang tetiba menyerang saat melihat Putra yang tiba-tiba saja muncul didepannya. Milly jalan mundur, berbalik, berjalan sedikit berlari. Sialnya langkah Putra lebih cepat.
“Mau kemana lo, hn?! Jan harap lo bisa kabur dari gue!” mencengkram lengan Milly erat.
Bibir Milly bergetar. Menatap wajah Putra dengan sangat ketakutan. “Lepas! Jan ganggu gue! Gue nggak pernah gangguin elo!”
Putra tersenyum smirk. “Lo udah buat nilai ujian gue merah!”
“Itu nggak ada hubungannya sama gue!” Milly berusaha menarik tangan dalam genggaman Putra.
“Gue tau lo pinter. Tapi nggak seharusnya sombong, kan? Jadi, lo harus bayar mahal semuanya.”
“Aakkhh! Lepas! Tolong! Eemmgg ... eemmgg ....”
Putra membekap mulut Milly, menarik gadis itu menjauh dari jalan. Masuk kesebuah ruko yang sudah lama kosong dan begitu gelap. Putra memepet tubuh Milly kedinding kusam itu. Menarik paksa kaos yang Milly pakai, sampai kaos itu sobek dan menyingkir dari tubuh Milly. Dengan sangat kasar Putra meremas salah satu daada Milly yang masih terbungkus bra.
Sama sekali tak mempedulikan Milly yang menangis, berteriak meminta tolong. Milly memukulkan kepalanya ke kepala Putra saat pria itu berusaha untuk menciumnya. Membuat Putra makin marah. Reflek, Putra menjambak rambut Milly hingga gadis itu meringis kesakitan.
“Dasar jaalang!” teriaknya.
“Hentikan, Putra!” Milly berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. Wajahnya tak bisa lagi dikatakan baik-baik saja.
“BERHENTII!”
Putra dan Milly menoleh kearah datangnya suara. Seorang lelaki berdiri menenteng helm cakil dengan tangan terkepal. Putra melepaskan tangan Milly, berjalan mendekati lelaki yang selalu menjadi malaikat penolong saat ia berusaha menghancurkan Milly.
Kembali senyum smirk itu terlihat di wajah Putra. “Lo lagi? Kenapa sih lo selalu gangguin kesenangan gue!?” teriaknya.
Agas tak membalas kata-kata Putra. Hanya diam dengan sorot kemarahan. Sementara Milly duduk jongkok memeluk kedua lutut, menyembunyikan tubuhnya yang sudah terekspos.
“Kemarin di club, lo bawa kabur dia. Sekarang ... lo mau cewek itu lagi?!” Putra mengeratkan gigi, mengepalkan kedua tangan, melangkah mendekati Agas yang tetap diam menatapnya.
Bhuk!
Satu lemparan, helm itu mengenai kepala Putra. Cowok berambut merah itu terjelengkang jatuh. Mendengar ada suara yang datang, Putra segera kabur meninggalkan ruko itu. Sementara Agas melepas jaket, menutup kulit tubuh yang terpampang nyata itu. Memeluk Milly yang masih terisak dengan sangat ketakutan.
Tak begitu lama segerombolan warga datang mengarahkan senter kearah Agas yang memeluk Milly erat.
“Woii! Jangan m***m disini!” teriak salah satu dari kelima orang yang berdiri diluar ruko.
“Astaga, anak jaman sekarang ya. Sukanya berbuat tak senonoh seperti ini.” Timpal yang satu.
“Ayo kita bawa ke rumah pak Rt saja.”