Arti keluarga Saujana dapat dari ibu panti dan anggota panti lainnya. Saujana bersyukur, setidaknya orang tuanya tidak menelantarkan dia di tempat lain yang belum tentu sebaik panti Mentari.
Saujana menatap foto hitam putih berukuran sepuluh kali lima belas senti meter, foto wanita cantik yang mirip dengannya. Itu foto ibunya, satu-satunya yang Saujana punya untuk bisa tahu asal usulnya sementara ayahnya, Saujana tidak pernah tahu rupanya sekali pun tidak pernah hadir di dalam mimpi hingga detik ini.
Foto dan sebuah gelang, Saujana dapat ini saat usianya tujuh belas tahun. Ibu panti baru memberi karena merasa jika saat usia itu lah Saujana bisa menerima dan coba paham kehidupan dirinya berasal.
Trak!
Saujana simpan kembali foto dan sebuah aksesoris berupa gelang berbatuan warna abu-abu, bukan gelang emas dan tidak bertakhta berlian. Menutupnya dan kotak itu di simpan di laci meja belajar di kamar kosnya.
Setelah enam bulan bekerja di KNH studio, menjadi asisten Nata. Saujana putuskan keluar dari panti dan cari tempat indekos dekat dengan KNH Studio. Bahkan Saujana hanya tinggal berjalan kaki lewati gang sempit sekitar lima belas menit untuk sampai di tempat bekerja.
Tidak banyak barang-barang yang di bawa ke tempat baru.
“Akhirnya selesai juga.” gumam Saujana sembari merebahkan tubuh di lantai demi bisa mengusir pegal di punggung.
Tap! Tap!
Suara langkah itu membuatnya membuka mata, Leo menjulang tinggi lalu duduk di dekatnya, meletakan tas terakhir milik Saujana yang berisi beberapa buku n****+ koleksi.
“Sudah semua?” tanya Leo
Saujana tidak berniat bangun, tetap berbaring. “Ya, sudah semua. Sudah rapi juga.”
Leo membantu Saujana pindahan, bahkan sejak mencari tempat indekos, Leo turun langsung untuk mencari yang menurutnya aman di tempati Saujana sendiri.
“Kenapa sih nggak mau tinggal sama aku di apartemen?” tanya Leo
Saujana bergerak sedikit, meletakan kepala di pangkuan lelaki itu. Membuat Leo menunduk untuk bisa menatapnya.
“Apartemenmu hanya ada satu kamar.”
“Ya, aku bisa tidur di luar dan kamar itu akan jadi milikmu.”
Leo selalu baik begini, alasan sebenarnya Saujana menolak karena tidak mau terus bergantung pada seseorang biar pun itu Leo, sahabat terbaik sekaligus seseorang yang sudah Saujana anggap seperti kakaknya.
Tangan Saujana terulur mengambil tangan besar Leo, membuat tangannya begitu kecil, warna kulit mereka kontras. Leo dengan warna kulit sawo matang, sedangkan Saujana putih karena memang dia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan berbeda dengan Leo, dia tengah hari saja berani olahraga bersepeda atau lari.
Saujana tersenyum dengar ucapan tulus Leo.
“Ibu selalu mengajari kita untuk mandiri, aku hanya nggak mau terus bergantung sama kamu.” Saujana putuskan untuk mengatakan jujur.
Leo menatap lekat wajah Saujana, selalu polos tanpa make up. Tangan yang lain mengacak poninya.
“Aku malah sudah terbiasa selalu kamu andalkan, Saujana.”
“Kalau begitu adikmu ini, kapan akan mandirinya?!” Saujana mencebik, lalu dia bangun dan duduk.
Leo menghela napas, tidak bisa membujuk Saujana.
“Apa sih yang kamu khawatirkan?” tanya Saujana kembali.
Leo menggeleng kecil, “Di panti selalu ramai, di sini kamu sendiri.”
Kalimat Leo membuat Saujana tersenyum getir, “Kamu lupa Leo, bahwa anak spesial seperti kita memang sudah di gariskan hidup sendiri tanpa orang tua, tanpa keluarga. Orang tua kita hanya Ibu dan Bapak di Panti, keluarga kita ya anggota Panti.”
Leo ikut tersenyum getir, nasibnya sama saja dengan Saujana. “Sudahlah, aku percaya kamu bisa jaga diri.”
“Sekarang, aku lapar. Kita beli makan.”
“Keluar?” Leo menatap Saujana yang hanya memakai kaus dan celana selutut yang lusuh.
“Nggak ah capek, order makanan aja. Hm.. atau mau masak indomie?”
“Order aja lah, aku mau makan nasi.” Kata Leo segera mengambil ponsel dari dalam saku.
Saujana menatap intens lelaki itu, “Indomie pakai nasi juga manusiawi kok.”
Leo yang mendengar itu tertawa, “Stok Indomie buat kamu aja, untuk akhir bulan nanti.”
Jadilah mereka pesan makanan dan makan malam bersama sebelum Leo keluar indekos hampir jam sembilan malam.
Ketika Leo sudah pulang, Saujana baru merasakan kesepian itu. Tapi, dia tidak boleh sedih, kehidupan sesungguhnya baru di mulai. Dia tidak bisa terus bergantung pada keluarga di panti atau pun Leo. Meski Saujana tidak akan menjadi kacang yang lupa kulit, dia berjanji jika hari libur akan sempatkan diri ke panti dan membantu di sana.
Saujana tidak akan lupa dari mana dia berasal dan dibesarkan. Bukan dari orang tua dan keluarga utuh, tapi dia hanya anak yang beruntung diantara anak lain yang sejak kecil sudah merasakan kepahitan dunia dengan menemukan arti keluarga dari tempat seperti panti asuhan Mentari.
***
Satu hal yang di yakini akan merusak hari yaitu terlambat bangun, meski bisa terjadi pada siapa pun dan manusiawi, namun tidak bisa Saujana terima untuk hari Senin ini.
Bisa-bisanya dia lupa menghidupkan Hp setelah mengisi daya hingga alarm yang sudah di atur tidak berbunyi. Secepat kilat Saujana menyambar handuk dan masuk kamar mandi.
Mandi dan melakukan ritual panggilan alam, tidak sampai dua puluh menit Saujana sudah keluar kamar mandi. Dia mengacak pakaian untuk ke kantor dan tidak lupa pakai deodoran dan hand-body gel lotion.
“Bodoh, dasar mentang-mentang jarak kantor sama tempat ini hanya lima belas menit jalan kaki! Bisa-sianya aku terlambat bangun!” Gerutunya.
Saujana pakai bedak tabur bayi asal, lalu memoles lipstik warna pink natural di bibir mungil, menyemprot asal parfum. Untung saja dia bukan tipe yang tidak percaya diri keluar rumah tanpa alis cetar.
Memakai sepatu kets putih baru, setidaknya enam bulan bekerja di KNH studio sudah sedikit banyak mengubah hidup Saujana. Salah satunya mengganti sepatu lamanya.
Saujana senang dengan aturan kerja di KNH, karyawan tidak perlu memakai pakaian terlalu formal asalkan tetap rapi dan sopan. Lihat saja Nata, Owner KNH yang lebih suka pakai kaos dan celana levis, kadang pakai celana pendek selutut. Hanya dia bos yang bisa santai, meski tampilannya bukan seperti CEO dengan setelan jas licin, Nata tetap memesona dan menghasilkan banyak uang.
Saujana menggeleng kecil, bisa-bisanya dia ingat bosnya.
Langkah kaki-kakinya di buat berjalan secepat mungkin, meski tidak sampai berlari, Saujana tidak suka berkeringat berlebih sebelum aktivitas di mulai.
Saujana melihat jam di ponsel, bisa bernapas sangat lega ketika gedung KNH Studio sudah terlihat dan masih ada waktu sepuluh menit. Tidak bisa dia membayangkan jika tempat Indekos jauh dan telat bangun seperti hari ini.
Saujana sangat berterima kasih pada Leo yang sudah mencarikan tempat indekos dengan lokasi strategis, Saujana juga tidak perlu keluar ongkos dengan begini dia bisa menabung untuk punya rumah atau apartemen studio yang penting nyaman dan punya pribadi.
“Saujana!” panggil Leo yang juga baru datang, tepat Saujana menginjakkan kaki di lobi.
“Pagi My Leo!”
“Pagi, tikus! Coba aku tebak, kamu terlambat bangun?”
Leo selalu bisa membaca Saujana, terlalu mudah untuk lelaki itu.
Saujana mengangguk, “Ya, dengan bodohnya aku lupa menghidupkan Hp, jadi deh alarm nggak bunyi.”
Mereka berjalan bersama, menyapa beberapa karyawan yang tentu lebih mengenal Leo dibanding Saujana yang baru enam bulan bekerja di sana.
“Sudah sarapan?”
Saujana menggeleng, tapi dia membawa sebungkus roti dan s**u kacang hijau yang untungnya ada stok di rumah.
“Nggak sempat, aku harus siapkan meeting pagi. Sebelum bos Nata datang.”
Leo mengangguk, mereka berpisah dengan tujuan ruang berbeda.
KNH Studio ini sudah mencangkup banyak klien, Nata yang sejarahnya hanya memulai seorang diri lalu putuskan merekrut para fotografer dan berada di naungan KNH studio.
Perusahaan ini sudah berjalan sejak Nata kuliah, kini usianya sudah tiga puluh tahun. Artinya KNH Studio sudah berdiri selama hampir sepuluh tahun.
Nata datang terlambat, Saujana langsung mengikuti lelaki itu begitu datang. Meletakan laporan yang perlu Nata baca.
“Pagi, Pak Nata.”
Nata terlihat kusut, dia bahkan duduk dan langsung bersandar dengan mata tertutup. “Pagi, Saujana.”
“Kita ada Meeting pagi dengan klien, Pak.”
“Saya punya waktu berapa lama?” Nata membuka mata dan tatapan mata mereka beradu.
“Ya?” tanya Saujana.
Nata menghela napas, “Meeting jam berapa?”
“Sembilan lewat lima belas.” Saujana memerhatikan Nata yang memijat kening, “Pak Nata, sedang sakit?”
“Hm.” Nata hanya menjawab berupa gumaman.
Saujana ragu-ragu, tapi dia mendekat hingga berdiri di sisi lelaki itu yang kembali memejamkan mata dan sontak terbuka merasakan tangan dingin Saujana menubruk keningnya.
“Maaf, Pak. saya hanya memastikan.” Saujana dengan cepat menarik tangannya begitu tatapan Nata mengintai.
Saujana merasakan panas yang cukup menjelaskan kondisinya.
“Hm.” Nata kembali bergumam.
“Setengah jam cukup untuk istirahat.”
Nata membuka mata, “Bagaimana saya mau istirahat kalau kamu tetap menganggu!”
Saujana mematung dapat omelan menyebalkan itu, tapi Saujana sudah kebal.
“Saya akan kembali.” Saujana berbalik, lalu dia mencari obat di dalam tasnya. Syukurlah ada obat penurun panas dan mengurangi sakit kepala, ketika dia akan masuk kembali ke ruangan Nata. Saujana ingat, jika obat ini aturannya di minum setelah makan.
“Apa bos udah sarapan, ya?” bisiknya.
Lalu tanpa pikir panjang Saujana mengambil uang dari dompet dan berjalan tergesa turun ke lantai dasar, menyeberang ke ruko yang ada di seberang. Dia membeli sebungkus bubur, kakinya bergerak tidak tenang menunggu. Begitu sudah dapat seporsi bubur ayam, Saujana kembali ke KNH Studio.
Tok! Tok!
Saujana mengetuk pintu barulah masuk, dan melihat Nata sudah berbaring di sofa.
Dia menyadari kehadiran Saujana, membuka mata dan melihat nampan yang dibawakan. “Saya nggak minta.”
“Maaf, Pak. Ini hanya yang terpikir untuk mengurangi demam Pak Nata.” Ujar Saujana lembut tanpa terganggu dengan tatapan tidak suka Nata.
Saujana mendekatkan mangkuk berisi bubur, tadi dia memindahkan dari bungkusnya. Membawa sekalian segelas air putih hangat, dan obat.
“Kita ada Meeting penting, dan saya nggak melanggar aturan. Pak Nata sendiri yang bilang, tugas asisten nggak hanya mengurus pekerjaan tapi juga—“
“Sudah banyak kemajuan ya kamu.” potong Nata cepat, dia bangkit dan menarik mangkuk berisi bubur juga sendoknya.
“Ya, Pak?”
Nata tersenyum tulus, “Bisa menjawab saya dengan kalimat panjang, dan punya inisiatif. Thank you.”
Kalimat itu membuat sudut bibir Saujana tertarik membentuk senyum kecil.
“Sama-sama, Pak. Jangan lupa obatnya di minum.” Kata Saujana, lalu berlalu dari sana. tidak menyadari jika tatapan Nata memerhatikan punggungnya hingga tertelan pintu.
***
Ceklek.
Saujana menutup pintu, dia berjalan ke meja. Dia mengernyit bingung kala melihat sekotak makanan di atas meja.
Untukmu tikus.
Saujana membaca catatan kecil yang tertinggal di atasnya, tanpa ragu Saujana tahu jika Leo-nya lah yang membelikan sarapan itu.
Dia duduk, membuka bungkus makanan berwarna putih, seporsi lontong sayur yang menggiurkan membuat senyum Saujana langsung merekah sempurna.
Leo yang terbaik untuk mengerti dirinya, lontong sayur makanan favoritnya. Bahkan di saat Saujana hampir lupa belum sarapan, Leo mengingatkan. Ah dia bahkan tidak ingat untuk membeli sekalian tadi dengan bubur untuk bosnya.
Saujana mendesah puas merasakan kuah santan dan lembutnya lontong itu dimulutnya, dia segera menarik ponsel dan mencari kontak Leo. Tanpa mengirim Chat, langsung telepon.
“My Leo, makasih.” Katanya langsung setelah Leo menjawab.
“Sama-sama tikus, jangan di biasakan lupa untuk sarapan.”
“Hari ini aku terburu-buru.”
Leo terkekeh, “Sudah habiskan sarapanmu, selamat bekerja.”
“Selamat bekerja My Leo.” Kata Saujana segera menutup panggilan dan melanjutkan makannya.
***
Saujana bersyukur, melihat Nata setelah sarapan dan obatnya bereaksi membuat lelaki itu lebih baik. Meeting berjalan lancar sampai menjelang makan siang baru selesai.
Setelah merapikan catatan, Saujana berjalan di belakang Nata. “Setelah makan siang kita ke studio.”
Saujana mengangguk, hari ini ada pemotretan dengan sejumlah model dan Nata turun langsung yang akan memotret mereka.
“Ya, Pak.”
Langkah Saujana berhenti kala Nata juga berhenti mendadak di depannya sebelum masuk ruangan.
“Terima kasih untuk bubur dan obatnya.”
Saujana membalas dengan senyuman. Belum sempat menjawab suara langkah seseorang membuat Saujana maupun Nata sama-sama menatap pada wanita bertubuh tinggi khas model dengan bagian-bagian memikat di tubuhnya. Celana jeans ketat membalut kaki jenjangnya, heels setinggi tujuh sentimeter lalu bagian atas memakai kaus putih yang ketat dan di bagian dadà bertuliskan Gucci.
Tas harga puluhan juta di jinjingnya, wajahnya sangat cantik bak dewi dan rambutnya terurai rapi.
Saujana menyingkir kala wanita itu mengambil tempat di sisi Nata. Lagi pula Saujana seperti kurcaci jika berdiri di dekat wanita itu dan Nata.
“Hai, Babe!” Sapanya dengan suara manja, tanpa malu mencium sudut bibir Nata dan mengalungkan lengan di lehernya.
Nata berdeham, sembari melirik Saujana. Mungkin merasa tidak nyaman ada orang lain, padahal Saujana tidak peduli.
Mereka bicara sebentar, lalu wanita yang Saujana tahu bernama Letta itu mengajak Nata makan siang keluar.
“Saya keluar dulu.”
“Eh Pak, perlu saya panggilkan supir kantor?” Saujana langsung berpikir mungkin Nata butuh karena kondisinya.
Nata tersenyum, “Saya sudah lebih baik berkat kamu.”
Letta, terlihat tidak suka interaksi Nata dengan asistennya itu. Tapi, dia diam saja dan berusaha terlihat manis.
Saujana mengangguk lalu menatap kepergian pasangan yang serasi itu. Yang di dengar jika Letta dan bosnya berpacaran. Saujana juga pernah memergoki mereka bermesraan sebelum gosip itu berkembang.
Dia mengingatkan diri jika tugasnya hanya mengurus pekerjaan, bukan mengurus kisah asmara bosnya dengan para model.
To be continued....
.
.
Halo Semuaaaaa!
Sesuai rencanaku bulan ini kita akan mulai perjalanan kisah “Cinta Yang Kurindu”. Bagaimana di awal udah punya pilihan? Leo atau Nata?
Komentar jangan lupa ya sayang!