Malam telah jatuh dengan kelembutan yang begitu mendalam, membungkus Silvercrest dalam selimut keheningan yang misterius. Di luar jendela, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, seolah-olah berjuta-juta mata kecil mengintip diam-diam dari kegelapan. Sementara itu, di dalam kamar yang luas, Mira berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri yang terasa asing. Gaun pesta yang ia kenakan terasa lembut di kulitnya, tapi tetap saja ada perasaan hampa yang tak bisa ia hilangkan.
Pikiran tentang pertemuannya dengan wanita asing itu terus menghantuinya, namun sebelum ia bisa merenungkannya lebih jauh, sebuah ketukan lembut terdengar di pintu. Mira berbalik, dan ketika pintu terbuka, Connor muncul dengan aura kekuatan dan ketenangan yang selalu membuat Mira merasa terombang-ambing antara ketertarikan sekaligus keraguan.
Connor melangkah masuk. Mata sebiru lautannya menatap Mira dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Dia mengenakan setelan jas hitam malam itu dan ada sesuatu yang begitu mengesankan dalam cara dia membawa dirinya—sebuah perpaduan antara keanggunan dan otoritas yang membuat hati Mira berdebar.
"Mira," kata Connor dengan suara yang dalam dan lembut, seraya mendekatinya. "Aku membawa sesuatu untukmu."
Dari balik punggungnya, Connor mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis beludru hitam. Ia membukanya perlahan, memperlihatkan seuntai kalung berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Setiap berlian memantulkan cahaya seperti bintang-bintang di langit malam, menciptakan aura magis yang memenuhi ruangan.
"Ini untukmu," bisiknya, mendekatkan kalung itu ke leher Mira. "Aku ingin kau memakainya … untukku."
Mira terdiam, terpesona oleh kilauan berlian yang nyaris seperti mimpi. Namun, bukan hanya kilau berlian yang membuatnya tak bisa berpaling—tatapan Connor yang penuh perhatian, cara jari-jarinya yang hangat menyentuh kulitnya dengan lembut saat ia memasangkan kalung itu, semuanya menciptakan perasaan yang begitu mendalam, begitu rumit.
Ketika kalung itu sudah terpasang dengan sempurna di leher Mira, Connor menarik sedikit napas, kemudian mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Mira dengan lembut. "Kau terlihat sangat cantik, Mira," bisiknya dengan nada suara yang membuat tubuh Mira sedikit bergetar.
Mira menatap ke dalam mata Connor, mencari sesuatu yang tak terkatakan di sana—kebenaran, atau mungkin kebohongan yang tersembunyi di balik senyuman manis itu. Tapi sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, Connor menariknya mendekat, tubuh mereka bersatu dalam kehangatan yang tak terhindarkan.
"Sebelum kecelakaan itu," Connor berbicara pelan, suaranya seakan memecah keheningan yang menggantung di antara mereka, "Kita sudah merencanakan malam ini. Aku ingin kau mengingat betapa bahagianya kita saat bersama."
Mira ingin berkata sesuatu, ingin menanyakan lebih banyak tentang masa lalu mereka yang terasa seperti kabut yang tidak bisa ditembus. Tapi kata-katanya terhenti saat bibir Connor menyentuh bibirnya, lembut dan penuh kerinduan yang telah lama terpendam.
Ciuman itu bukan sekadar sentuhan fisik, melainkan sebuah komunikasi yang lebih dalam—sebuah permohonan, sebuah janji, sebuah ungkapan yang jauh melampaui kata-kata. Bibir Connor bergerak dengan kehalusan yang membuat Mira tenggelam dalam perasaan yang asing, tapi begitu memikat. Saat ciuman mereka semakin dalam, Mira bisa merasakan kehangatan tubuh Connor, detak jantungnya yang kuat dan mantap, seolah-olah mencoba menyampaikan pesan bahwa ia adalah tempat perlindungan yang aman.
Namun, di balik semua itu, ada keraguan yang masih mengintip di sudut pikirannya, membuat Mira bertanya-tanya apakah semua ini benar adanya, ataukah hanya permainan pikiran yang diciptakan oleh ingatannya yang hilang?
Ketika Connor akhirnya melepaskan ciumannya, Mira membuka mata, dan tatapan mereka bertemu dalam kesunyian yang penuh arti. Connor tersenyum tipis, lalu membelai rambut Mira yang jatuh di bahunya.
"Malam ini milik kita, Mira," ucapnya pelan. "Dan aku berjanji, aku akan selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi."
Mira ingin mempercayai kata-kata itu, ingin menyerahkan dirinya pada perasaan yang meluap-luap di dalam hatinya. Tapi bayangan wanita asing di taman, dan tatapan terkejut Mrs. Collin, terus menghantui pikirannya. Di balik keromantisan ini, ada misteri yang belum terungkap, dan Mira tahu bahwa ia harus menemukan jawabannya sebelum terlambat.
Suara ketukan pintu yang tiba-tiba memecah keheningan malam yang memikat di kamar Mira. Mira dan Connor terdiam sejenak, kedekatan mereka yang baru saja terjalin terasa seolah dipecah oleh kenyataan yang tak terduga. Connor menarik diri perlahan, melontarkan sebuah senyuman lembut pada Mira sebelum ia melangkah menuju pintu.
Ketika pintu dibuka, Mrs. Collin berdiri di ambang pintu, wajahnya menampilkan ekspresi yang sopan tapi tegas. “Maaf mengganggu, Tuan Connor,” katanya dengan nada formal, “tamu-tamu undangan Anda telah tiba. Mereka menunggu di ruang tamu.”
Mira merasa sedikit terkejut. Ia belum siap untuk bertemu dengan banyak orang, apalagi setelah malam yang begitu intim dan penuh emosi ini. Namun, kehadiran tamu tampaknya menjadi bagian dari rencana Connor yang lebih besar.
Connor menatap Mira, kemudian berpaling ke Mrs. Collin. “Terima kasih, Mrs. Collin. Aku dan istriku akan segera bergabung dengan mereka.”
Connor kembali menatap Mira. “Aku akan memperkenalkan mereka padamu. Ini adalah kesempatan bagi mereka untuk menyambut kepulihanmu dan juga mengungkapkan betapa berartinya kau bagi kita semua.”
Mira menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. Ia merapikan gaunnya, berusaha menepis rasa cemas yang tiba-tiba menggerogoti dirinya. Connor meraih tangannya dengan lembut, memberinya dorongan terakhir sebelum mereka menuju ke ruang tamu.
Saat mereka memasuki ruang tamu, suasana berubah menjadi lebih formal dan penuh hormat. Tamu-tamu yang diundang terdiri dari berbagai pejabat tinggi, kolega-kolega Connor, serta beberapa anggota keluarga yang belum pernah Mira temui sebelumnya. Ruangan itu dipenuhi dengan percakapan yang terputus-putus dan tawa ringan, sementara aroma bunga dan makanan lezat menyebar di udara.
Senyuman-senyuman ramah dan tatapan penuh perhatian menyambut Mira ketika ia memasuki ruangan. Connor memperkenalkan Mira pada satu per satu tamu undangan, menjelaskan siapa mereka dan perannya dalam kehidupan dan pekerjaan Connor. Di tengah-tengah perkenalan, Mira merasa seolah-olah dirinya menjadi pusat perhatian yang canggung, tapi ia berusaha untuk menampilkan sikap yang ramah dan sopan.
Namun, ketika Mira melirik ke arah salah satu tamu yang berdiri di dekat jendela, ia menangkap tatapan yang tidak bisa ia abaikan. Seorang pria dengan ekspresi tegas dan sorot mata yang tajam, yang tampaknya lebih serius dibandingkan tamu lainnya. Saat itu juga, Mira menyadari bahwa wajah pria tersebut tidak asing dalam ingatannya.
Oh, Tuhan! Mira menekan d4d4nya dengan tangan. Wajah pria itu yang melintas dalam benaknya ketika ia dan Connor memadu kasih malam itu. Saat Connor membawanya ke arah pria itu untuk perkenalan, Mira merasa semakin terjebak dalam labirin yang rumit.
“Mira, ini Letnan Harrington, rekan kerjaku,” kata Connor, memperkenalkan pria tersebut dengan nada bangga.
Pria itu mengulurkan tangan dengan sikap profesional. “Senang akhirnya bertemu dengan Anda, Nyonya Sullivan. Kami semua sangat senang melihat Anda pulih.”
Mira berusaha tersenyum, tapi hatinya terus berdebar. “Terima kasih, Letnan Harrington. Aku juga senang bisa bertemu dengan Anda.”
“Panggil saja aku Light,” saran Light berusaha lebih akrab meskipun tanpa senyuman menghias bibirnya.
Mira mengangguk sambil tersenyum kaku. “Baiklah. Light.”
Tatapan Light selanjutnya yang terasa tajam dan penuh makna tidak bisa Mira abaikan. Sorot mata pria itu seperti menyimpan segudang tanya.
Saat pertemuan dengan tamu-tamu lainnya berlanjut, Mira tidak bisa menepis rasa khawatir yang mengendap di dalam dirinya. Ia tahu bahwa setiap orang yang hadir malam ini memiliki peran penting dalam cerita yang lebih besar. Ia harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam permainan yang lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan. Entahlah, pemikiran itu berkembang dengan sendirinya dalam kepala Mira.