Di Bawah Langit Silvercrest

1321 Kata
Mira memandang ke arah jendela besar di kamar yang telah menjadi tempatnya selama beberapa minggu terakhir. Cahaya pagi yang lembut menembus tirai tipis, menciptakan pola bayangan di lantai marmer yang indah. Meski tubuhnya masih terasa lemah, keinginan untuk keluar dan menghirup udara segar semakin kuat. Hari-hari yang dihabiskan dalam empat dinding ini, meskipun nyaman, mulai terasa seperti penjara yang mewah. Dengan tekad yang terkumpul, Mira menatap Connor yang sedang duduk di tepi tempat tidur. Pandangan Connor tertuju pada layar laptop di pangkuannya. Wajahnya yang tampan dan tegas tampak begitu serius. “Connor,” suara Mira terdengar sedikit serak tapi mantap. “Aku merasa sudah cukup sehat sekarang. Luka-lukaku memang masih butuh perawatan, tapi aku tidak bisa terus berada di dalam rumah. Aku ingin keluar, menghirup udara segar, melihat Silvercrest.” Connor menatap Mira dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada kehangatan di dalam matanya, tapi juga sesuatu yang lebih dalam, seolah-olah dia menyimpan rahasia yang tak terkatakan. Connor turun menutup laptopnya, lalu turun dari tempat tidur, dan mendekat pada Mira. Connor meraih tangan Mira dengan lembut dan merasakan denyut nadinya yang masih lemah di bawah kulit pucatnya yang halus. “Kau yakin?” tanyanya, suaranya terdengar penuh akan kekhawatiran. “Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar siap untuk itu. Aku tidak ingin kau terburu-buru.” Mira mengangguk, memaksakan senyum kecil di wajahnya. “Aku yakin, Connor. Aku hanya ingin merasakan udara luar, melihat dunia di luar tembok ini. Aku tidak ingin terus merasa seperti ... seperti tahanan di sini.” Mendengar kata-kata itu, Connor menghela napas panjang, seolah-olah ia sedang berjuang dengan sesuatu di dalam dirinya. Akhirnya, dia mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan persetujuan yang ragu-ragu. “Baiklah,” katanya dengan nada tegas, “aku akan mengizinkanmu keluar, tapi dengan satu syarat. Kau harus diikuti oleh pengawal, bawahanku. Mereka akan menjagamu, memastikan tidak ada yang membahayakan dirimu.” Mira mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang aneh dengan pernyataan itu. “Pengawalan ketat? Apakah aku benar-benar memerlukan pengawalan seperti itu, Connor? Aku hanya ingin berjalan-jalan, bukan berperang.” Connor tersenyum kecil. “Ini hanya untuk memastikan kau aman, Mira. Aku tidak bisa mengambil risiko apapun, terutama setelah apa yang telah terjadi. Percayalah, ini demi kebaikanmu.” Ada sesuatu dalam cara Connor mengatakan itu yang membuat hati Mira berdebar tak tenang, tapi ia mencoba untuk mengabaikannyadan berpikir positif. Mungkin Connor hanya khawatir dan itu wajar setelah kecelakaan yang dialaminya—meskipun Mira masih merasa ada sesuatu yang lebih di balik perhatian berlebihan ini. Ketika akhirnya Connor memberikan izinnya, Mira merasakan lonjakan kebebasan. Namun, masih ada bayang-bayang kekhawatiran yang melingkupi dirinya. Pagi itu, di bawah langit Silvercrest yang cerah, Mira melangkah keluar dari rumah megah Connor dengan dua orang pengawal yang mengikutinya dari jarak dekat. Mereka tidak berbicara, tapi kehadiran mereka cukup membuat Mira merasa risih. Mira memandangi pemandangan kota yang terbentang di depannya, mencoba menikmati kesegaran angin yang bertiup lembut. Akan tetapi, pikiran-pikiran tentang Connor dan pengawalannya yang ketat terus mengusiknya. Kenapa dia begitu dijaga? Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Berusaha menepis kekhawatiran itu, Mira melanjutkan langkahnya di sepanjang jalan kecil yang mengarah ke taman kota. Ia melangkah pelan di sepanjang jalan setapak taman kota Silvercrest, menikmati desiran angin yang lembut menerpa wajahnya. Daun-daun yang berjatuhan berputar di sekitar kakinya, menciptakan melodi musim gugur yang tenang dan menenangkan. Meski masih dibayangi rasa heran atas pengawalan ketat yang diterimanya, Mira mencoba menikmati momen kebebasan ini, menghirup udara segar dan membiarkan pikirannya melayang. Namun, ketika Mira melewati sebuah bangku taman yang tua dan berkarat, seorang wanita paruh baya dengan penampilan lusuh muncul dari balik bayang-bayang pepohonan. Rambutnya kusut, dan bajunya yang compang-camping seolah tak pernah disentuh kebersihan. Tatapannya yang tajam menghujam ke arah Mira, penuh dengan sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Mira merasakan gelombang ketidaknyamanan yang tiba-tiba, tapi sebelum ia bisa mengalihkan pandangan, wanita itu berbicara dengan suara yang lemah namun penuh keputusasaan. "Elena! Elena, kau kembali!" Wanita itu melangkah mendekat, seolah tak peduli pada jarak yang memisahkan mereka. Mira tertegun. Nama itu, "Elena," mengiang di telinganya, asing tapi entah kenapa terasa familier, seakan-akan tersimpan jauh di dasar ingatannya yang hilang. Perasaan aneh merayap di dalam dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang penting sedang terjadi, namun ia tak bisa menangkapnya. Sebelum Mira sempat merespons atau menanyakan siapa wanita itu dan mengapa dia memanggilnya dengan nama lain, salah satu pengawalnya dengan cepat melangkah maju, tubuhnya yang kekar menghalangi wanita itu mendekat lebih jauh. "Menjauh dari sini!" ujar pengawal itu dengan nada tegas, sementara pengawal lainnya memegang lengan wanita itu dengan kasar, menariknya menjauh dari Mira. "Tunggu!" Mira berseru, tapi wanita itu sudah ditarik mundur, matanya masih terpaku pada Mira dengan pandangan yang penuh makna. Wanita itu mencoba berteriak sesuatu, namun suaranya tertelan oleh keributan yang dibuat oleh pengawalnya. “Jangan dengarkan dia!” teriak wanita itu sebelum akhirnya diseret pergi, suaranya bergema di telinga Mira seperti gema yang tak terhapuskan. Mira berdiri mematung, dadanya naik turun dalam kegelisahan. Siapa wanita itu? Dan mengapa dia memanggilnya "Elena"? Ketakutan dan kebingungan merayapi pikiran Mira, membuatnya merasa seolah-olah dia berada di ambang sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa mengubah seluruh hidupnya—sesuatu yang ia tahu, ia tak boleh abaikan. Namun, sebelum ia sempat memutuskan apa yang harus dilakukan, salah satu pengawal mendekatinya dengan wajah datar. “Kita harus kembali sekarang, Nyonya. Sudah cukup untuk hari ini.” Mira hanya bisa mengangguk, meski pikirannya masih terjebak dalam pusaran pertanyaan yang tak terjawab. Saat mereka berbalik meninggalkan taman, langkah Mira terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah setiap langkah membawanya semakin jauh dari kebenaran yang ia coba temukan. *** Mira melangkah masuk ke rumah besar yang dingin, bayangan pertemuan aneh di taman masih menari-nari di pikirannya. Udara di dalam rumah terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah ada sesuatu yang tak terlihat, tapi begitu nyata mengisi setiap sudut ruangan. Langkah-langkah Mira terhenti ketika matanya menangkap sosok Mrs. Collin sedang merapikan bunga-bunga di dalam vas keramik besar di ruang tamu. Mrs. Collin menoleh ketika mendengar langkah Mira, senyum hangatnya menyapa. Mata tuanya segera menangkap kerut di dahi Mira. “Selamat datang kembali, Nyonya Sullivan. Bagaimana perjalanannya? Apakah udara segar membantu?” Mira terdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Mrs. Collin, di taman tadi aku bertemu dengan seorang wanita. Penampilannya sangat kacau dan memprihatinkan. Yang aneh, dia memanggilku dengan nama ‘Elena’.” Wajah Mrs. Collin langsung berubah, senyumnya menghilang seketika. Tangannya yang sedang memegang tangkai bunga tiba-tiba berhenti, dan vas bunga di depannya sedikit bergetar. Tatapan wanita bertubuh subur itu berubah dari kehangatan menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih khawatir, seolah-olah ia sedang berjuang untuk menyembunyikan sesuatu. Melihat reaksi itu, Mira merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. “Mrs. Collin, apa Anda tahu sesuatu tentang ini? Mengapa wanita itu memanggilku ‘Elena’? Siapa ‘Elena’?” Mrs. Collin terdiam, seakan-akan mencari kata-kata yang tepat, namun kesunyian yang mengikuti hanya menambah ketegangan di antara mereka. Dia meletakkan bunga yang dipegangnya dengan hati-hati di dalam vas, lalu berbalik menghadap Mira dengan wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya. “Maafkan saya, Nyonya.” Suara Mrs. Collin terdengar pelan, nyaris berbisik. “Saya tidak tahu mengapa wanita itu memanggil Anda dengan nama lain. Mungkin dia hanya orang yang tidak waras.” Kendati demikian, nada suara Mrs. Collin yang bergetar dan pandangan yang menghindar dari tatapan Mira, berkata lain. Ada sesuatu yang disembunyikan Mrs. Collin, sesuatu yang membuat Mira merasa semakin terperangkap dalam misteri hidupnya sendiri. Mira melangkah lebih dekat, berusaha menangkap pandangan Mrs. Collin. “Anda tampak sangat terkejut ketika saya menyebut nama itu. Apa benar Anda tidak tahu siapa ‘Elena’? Tolong katakan yang sebenarnya.” Mrs. Collin menelan ludah, dan saat itu, Mira melihat sekilas ketakutan yang dalam di matanya. “Nyonya Sullivan, tolong percayalah. Saya hanya ingin menjaga Anda. Kadang-kadang, orang di luar sana, mereka bisa sangat kejam, menciptakan kebohongan untuk mengganggu pikiran Anda.” Kalimat yang dilontarkan Mrs. Collin justru membuat kegelisahan di hati Mira semakin mengakar. Kebohongan macam apa yang dimaksud? Mengapa semua orang tampak menyembunyikan sesuatu darinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN