Sena keluar dari gerbang sekolah dan melihat Rayhan berdiri dengan gagah di samping mobil mahalnya. Jangan lupakan kaca mata hitam yang bertengger dengan begitu indah di hidung mancungnya. Sena tahu jika Rayhan tampan, itulah kenapa dulu ketika SMA dia menyukainya sampai hampir gila. Tapi sekarang keadaan telah berubah seiring dengan waktu yang berlalu. Seperti itulah apa yang coba Sena tanamkan di dalam kepalanya.
“Hallo alam semestaku, ayok pulang!” Ucap laki-laki itu dengan senyum sumringah yang tercetak jelas. Sena tidak menjawab, kepalanya terus menoleh ke kiri dan kanan mencari seseorang. Kemudian sebuah sepeda motor mendekat ke arahnya membuat wanita itu tersenyum.
“Satria kok tumben telat? Kamu lembur yah?” Alih-alih menanggapi perkataan Rayhan, Sena malah lebih memilih menyambut kedatangan Satria dengan sumringah. Membuat kepala Rayhan rasanya mau pecah kelebihan kadar kesal.
“Nggak lembur kok Sen, Cuma tadi emang agak macet.” Jawab laki-laki dengan potongan rambut yang menurut Rayhan sangat norak itu.
“Sena, kan aku yang dateng duluan. Nungguin kamu sampai tiga puluh menit loh.” Protes Rayhan. Rayhan tidak bohong, dia memang sudah menunggu selama itu disana. Biasanya Sena pulang jam dua siang kalau hari jumat seperti ini karenanya dia datang tepat lima belas menit sebelum jam dua. Tapi rupanya Sena baru keluar dari sekolah tempatnya mengajar itu jam dua lewat lima belas menit. Dan yang lebih sialnya Rayhan diberitahu alasan Sena keluar terlambat lima belas menit itu, karena menunggu Satria yang terkena macet. Benar-benar suasana yang menyakitkan untuk Rayhan.
“Memangnya aku minta kamu melakukan itu? Sana pulang dan gak usah datang lagi.” Jawaban Sena menyempurnakan rasa sakit yang di terima Rayhan. Apalagi setelah mengucapkan itu, Sena segera naik ke motor Satria kemudian melaju tanpa mempedulikan Rayhan lagi.
“Wahh benar-benar, adik dan kakak sama-sama keras kepala.” Gerutu Rayhan seorang diri, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan melaju dengan perasaan kecewa. Karena lagi-lagi gagal mengajak Sena pulang bersamanya. Tapi semua itu belum mampu membuat Rayhan menyerah. Laki-laki itu sudah lama menyukai Sena dan mengetahui bahwa gadis itu juga pernah menyukainya sudah sangat cukup dijadikan alasan untuk berjuang sampai akhir.
***
Sebenarnya Sena tidak bermaksud untuk membuat Rayhan terluka, tapi wanita itu merasa bahwa kehadiran laki-laki itu sudah sangat terlambat. Sena telah melewati semua kesulitannya sendiri dan ketika wanita itu sudah baik-baik saja seperti sekarang Rayhan baru datang. Sena merasa semuanya tidak adil untuknya yang dulu sempat sangat berharap Rayhan ada di sampingnya ketika masa-masa sulit dulu.
“Yang tadi siapa?” Satria bertanya. Saat ini mereka masih dalam perjalanan pulang, Satria memang tidak bohong karena sekarang pun mereka harus terjebak macet.
“Dia teman SMA aku dulu” Jawab Sena singkat, gadis itu memang sedang tidak ingin membahas Rayhan lebih jauh. Membohongi perasaannya sendiri yang sebenarnya masih berharap tapi menuruti keegoisannya yang sebenarnya malah menyiksa hati dan perasaannya sendiri.
“Kalian lagi marahan yah?” Tanya Satria lagi. Sena menghembuskan napasnya sedikit kesal. Karena Satria terlalu kepo dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.
“Boleh gak kalau gak usah bahas dia. Gak terlalu penting juga.” Ucap Sena memperjelas. Karena dia memang tidak bohong, pembahasan tentang Rayhan memang selalu membuatnya sesak.
“Oke deh, walaupun aku penasaran.” Satria mengalah walaupun sebenarnya rasa penasaran mendominasi. Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka hingga motor Satria berhenti tepat di halaman rumah Sena.
“Makasih ya Sat, mau mampir dulu?” Sena menawari dengan tulus tapi Satria menggeleng sambil tersenyum. Bagaimana dia berani mampir kalau di pintu Bima sudah berdiri melihat ke arahnya dengan tatapan yang sangat tidak ramah.
Sudah lebih dari tiga tahun Satria dekat dengan Sena, tapi tidak pernah sedikitpun Bima bersikap ramah padanya. Walaupun laki-laki itu tidak teranga-terangan menolak kedekatan mereka tapi Bima memang tidak pernah sekalipun mengajak Satria mengobrol atau berbicara dan tidak pernah memiliki ekspresi menyenangkan. Walaupun Sena selalu mengatakan bahwa kakanya itu memang tidak bisa ramah pada semua orang tapi Satria tetap merasa bahwa kaka Sena itu tidak menyukainya.
“Nggak deh, aku langsung pulang aja deh. Udah mau sore juga.” Sena mengangguk sambil tersenyum. Kemudian Satria kembali menyalakan motornya dan mengangguk sopan pada Bima sebelum pergi.
“Kenapa pulang telat?” Tanya Bima tanpa basa-basi. Sena mendesah, kakaknya memang luar biasa baik tapi sekaligus luar biasa menyebalkan. Karena dia bisa menjadi sangat cerewet seketika jika menyangkut Sena.
“Satria telat jemput bang, kena macet soalnya.” Ucap Sena jujur.
“Ngapain nungguin Satria? Emang kamu gak bisa pulang sendiri?” Satu lagi yang membuat Sena sering kesal. Kakaknya tidak pernah sedikitpun bersikap ramah pada Satria, padahal laki-laki itu baik dan sudah berteman lama dengan Sena. Kadang membuat Sena merasa tidak enak pada laki-laki itu.
“Bang sampai kapan sih mau gak suka sama Satria? Dia kan baik, dia juga gak pernah nyakitin Sena. Salah dia apa sih sama abang?” Mendengar protes adiknya Bima mendesah.
“Bukan Satria yang salah tapi kamu.” Sena mengernyit.
“Aku?” Bima mengangguk.
“Kamu terlalu bodoh untuk menilai ketulusan orang lain. Itu kesalahannya.” Ucap Bima membuat Sena lagi-lagi mendesah. Dia memang tidak pernah menang jika harus berdebat dengan kakaknya.
“Terserah abang lah, Sena capek.” Ucap gadis itu sambil menghentakan kakinya kesal menuju kamar.
“Mulai besok pulang sendiri gak ada jemput-jemputan sama si Satria itu Sena!” Perintah Bima tidak ingin di bantah. Tapi jawaban Sena hanya berupa bantingan pintu keras tanda wanita itu marah dan kesal. Kali ini giliran Bima yang mendesah, mengurus satu adik perempuan saja sudah sesulit ini, Bima tidak bisa membayangkan jika dia punya dua.
Baru saja Bima beranjak hendak keluar rumah tampak sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti tepat di pelataran rumahnya. Bima kembali mendesah, kali ini apa lagi? Belakangan ini laki-laki yang baru saja turun dari mobil itu semakin sering mengganggunya dan itu menyebalkan.
“Selamat sore bang, Cuma mau memastikan apa Sena sudah sampai rumah dengan selamat.” Ucap laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
“Dia udah istirahat dengan nyaman di kamarnya jadi silahkan lo pulang!”
“Yahh bang, galak banget sama gue.” Ucapnya sambil beranjak duduk di sofa teras tanpa di tawari. Bima benar-benar dibuat kesal oleh dia.
“Han, mendingan lo pulang selagi gue masih sabar.” Usir Bima tegas. Rayhan berdiri sambil memanyunkan bibirnya.
“Bang gue serius sama Sena. Gue gak main.main. Kalau lo gak percaya silahkan tanya Dimas.”
“Masalahnya bukan gue percaya sama lo atau nggak. Tapi gue yang gak suka sama lo, terutama kalau lo deketin Sena. Paham? Harus berapa kali sih gue jelasin ini sama lo?” Ucapan Bima membuat Rayhan tidak mampu berkata-kata lagi dan memutuskan untuk pulang saja. Setidaknya hari ini dia sudah berusaha.
“Yaudah bang gue balik, bilang sama Sena jangan kebanyakan minum soda nanti asam lambungnya naik.” Rayhan segera masuk ke dalam mobilnya setelah mengucapkan itu dan pergi meninggalkan pelataran rumah Bima.
Tanpa diketahui siapapun, Bima sedikit tersenyum menyadari perhatian kecil laki-laki itu untuk adiknya yang terasa begitu tulus. Tapi ini bukan berarti dia akan dengan mudah membiarkan sepupu Dimas itu untuk mendekati Sena adiknya. Karena ujian masih panjang.
***