Rafael masuk ke ruangan sang Ayah, ia duduk di sebelah ranjang Marco, yang tengah terbaring lemas di ranjang pasien, sebenarnya Rafael tidak ingin berkunjung. Namun, saat ini ia tengah berada di Jerman, penerbangannya kali ini menuju ke Jerman, sekalian menjenguk sang Ayah, tak akan ada salahnya, ia pun di temani Damian sahabatnya.
"Sejak kapan ayahku seperti ini?" tanya Rafael.
"Sejak aku menelponmu."
"Kamu tidak mengatakan bahwa ayahku sakit, Dam." kata Rafael.
"Aku memang tidak mengatakannya karena saat itu Uncle memang baik-baik saja, tiba-tiba saja dia drop,"
"Sudah berapa hari seperti ini?"
"Dua hari, tumben kamu datang? Bukannya kamu bilang tak akan bisa berkunjung?" tanya Damian.
"Aku memiliki jadwal penerbangan ke Jerman, karena itu aku menelponmu." jawab Rafael.
"Menginaplah untuk semalam." pintah Damian.
"Aku tidak bisa, Dam, aku ada jadwal penerbangan, ini semua buat perusahaan."
"Kan ada Capilot yang bisa menggantikanmu."
"Aku tidak bisa mengalihkan tanggung jawabku pada orang lain." kata Rafael.
"Terus, kamu akan pergi lagi?"
"Tentu, aku hanya bisa titip ayahku, jangan membuatnya menandatangani apa pun, Dam, aku minta kamu untuk terus menjaganya, sepertinya ada yang sengaja membuat ayahku seperti ini, aku akan menangkap mereka dengan tanganku jika sudah waktunya."
"Apa kamu memiliki bukti?"
"Tentu saja, aku akan membawa bukti itu pada pihak kepolisian." jawab Rafael.
"Baiklah, aku harap kamu akan kembali." kata Damian.
****
Mayra masuk ke perusahaan cabang New York, menemui Jovi yang sudah menunggunya, meski tak bisa berbahasa inggris. Namun, Pak Harjum menyiapkan staf perusahaan yang bisa memberikan pengarahan pada Mayra. Jovi adalah staf perusahaan yang lancar berbahasa Indonesia.
"Mayra Liliana Broto?" tanya Jovi.
"Iya, Jovi, saya Mayra." jawab Mayra, menyodorkan tangannya.
"Saya yang akan menemanimu rapat, untuk mengarahkanmu."
"Terima kasih, ya."
"Iya. Malam ini, kamu menginap saja di hotel, karena rapat baru akan di mulai besok pagi." kata Jovi.
"Aku tidak tahu hotel mana."
"Tenang saja, aku yang akan mengantarmu." jawab Jovi.
"Sepertinya Pak Harjum sudah menyiapkan semuanya, karena beliau tahu aku tidak bisa berbahasa Indonesia." kekeh Mayra.
"Kamu tenang saja, selama kamu di sini, aku akan menemanimu. Aku yang akan berinteraksi dan aku yang akan menjelaskannya sama kamu." jawab Jovi, membuat Mayra tersenyum. Jika saja tak ada Jovi, ia pasti akan sangat kesulitan.
Perusahaan cabang New York benar-benar mewah dan rapi, sangat kalah dengan interior perusahaan di Indonesia, semenjak bekerja di perusahaan maskapai penerbangan, Mayra baru melakukan penerbangan di dua negara, Amerika dan Eropa. Mayra menatap para pramugara dan pramugari juga beberapa pilot yang tengah berbincang, seperti biasa sebelum keberangkatan, para awak pesawat rapat terlebih dahulu, agar mencegah sesuatu terjadi.
"Bagaimana, May? Apa kita langsung ke hotel saja?" tanya Jovi, membuat Mayra mengangguk.
"Apa pekerjaanmu sudah selesai?"
"Sudah."
"Baiklah, kita langsung ke hotel saja." jawab Mayra, lalu beranjak dari duduknya.
****
Sampai di hotel, Mayra menghempaskan tubuhnya di atas sofa, setidaknya ia bisa menikmati kemewahan ini, di saat ia jauh dari Indonesia.
"Aku sudah memesan makanan untuk kamu, May, jadi kalau datang langsung terima saja, ya, aku juga harus pulang, karena suamiku menungguku." kata Jovi, ketika ia mengakhiri telpon seseorang.
Mayra beranjak dari duduknya dan tersenyum.
"Makasih, ya, Jov, aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu." kata Mayra, membuat Jovi memukul pelan pundaknya.
"Kamu jangan sungkan padaku, aku juga berasal dari Indonesia, sama dengan kamu, hanya saja aku menikah dan bekerja di sini, jadi aku tidak bisa pulang ke Indonesia." jawab Jovi, membuat Mayra tersenyum menghargai.
"Baiklah, besok aku akan menghubungimu, nikmati waktumu di sini, jangan berjalan terlalu jauh." kata Jovi, "Jika kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku saja, ya." tambahnya.
"Iya, siap."
"Baiklah, aku pulang dulu, ya." jawab Jovi.
Sepeninggalan Jovi, Mayra berjalan memasuki kamarnya, sesaat kemudian suara bel pintu, membuat Mayra bergegas keluar, ia melihat seorang pelayan hotel membawa makanan di atas nampan, sesuai kata Jovi.
"Thanks, ya." ucap Mayra.
"Your welcome, Nona." sambung pria itu, lalu memberikan nampan berisi makanan kepada Mayra.
Mayra menutup pintu kamar hotelnya begitu rapat, lalu berjalan menuju meja makan, ia membuka nampan, enak sekali, katanya.
Mayra mencicipinya dan menikmatinya, sesekali pandangannya mengarah kepada pemandangan luar hotel, gedung pencakar langit menjadi sunset saat ini, apalagi di malam hari yang di penuhi lampu kelap-kelip dari setiap gedung, setidaknya Mayra bisa menikmatinya, apalagi sangat jarang ia bisa bekerja di luar negeri sesuai perintah Pak Harjum.
****
Esok paginya Mayra menunggu Jovi di loby sembari menikmati secangkir kopi hangat dan satu piring roti bakar, Jovi akan menjemputnya dan tentu saja ia harus menunggu, ia tidak akan bisa ke perusahaan sendirian, apalagi ia tidak tahu seluk beluk kota New York, bisa saja ia kesasar nanti.
Sesaat kemudian, Jovi sudah datang dan menghampiri Mayra yang tengah menikmati sarapan, Jovi duduk di hadapan Mayra dan tersenyum melihat wanita polos yang kini tak menyadari kehadirannya karena sibuk dengan ponselnya.
“Pagi, May.” sapa Jovi, membuat Mayra mendongak.
“Pagi, Jov, aku tidak tahu kamu sudah di sini.”
“Apa, sih, yang kamu kerjakan? Kenapa terlihat sibuk sampai tidak menyadari kehadiranku?” tanya Jovi.
“Biasa, laporan harian.”
“Baiklah, kita berangkat sekarang?”
“Iya, rapatnya, kan, akan di mulai sebentar lagi.” kata Mayra menengok jam tangannya.
Mayra dan Jovi beranjak dari duduk mereka dan berjalan menghampiri taksi yang sudah menunggu.
“Bagaimana semalam? Kamu tidur nyenyak, ‘kan?” tanya Jovi.
“Iya, Jov, aku sangat nyenyak, hampir saja kesiangan malahan jika kamu tak menelfonku tadi.” kekeh Mayra.
“Semoga saja rapatnya cepat selesai, kita bisa jalan-jalan setelah itu.” kata Jovi.
“Kamu sudah ada anak berapa, Jov?”
“Satu. Sekarang, aku lagi hamil.”
“Hamil anak kedua?”
“Iya, Mayra.” jawab Jovi, membuat Mayra melongo, “Ada apa, May?”
“Kamu masih semuda ini. Namun, anak sudah mau dua?”
“Suamiku itu suka dengan anak kecil, May, dia bahagia sekali ketika tahu aku hamil, aku hanya mengikuti arus aja, sih, sedikasihnya aja.” kata Jovi, membuat Mayra mengangguk.
“Suamimu pasti penyayang.” jawab Mayra.
“Tentu, karena itu, aku memilih menetap di kota ini daripada harus pulang ke Indonesia, soalnya aku nyaman, karena suamiku pria yang baik dan penyayang.” jawab Jovi, membuat Mayra mengangguk paham.
“Jika sudah nyaman, kenapa harus pindah, ‘kan? Lagian kamu sudah lama banget di New York, kamu pasti sudah tahu banyak tentang semua kota ini.” kata Mayra.
“Iya, May, aku mencintainya.” bisik Jovi, membuat Mayra tersenyum, “Dan, kamu? Kapan akan menikah?”
“Ei, pacar saja aku tidak punya, Jov.” jawab Mayra.
“Kenapa? Kamu, kan, wanita yang cantik, apalagi alami, kenapa gak punya pacar? Mungkin, kamu banyak yang suka, hanya saja kamu menolaknya, apa karena berkarir lebih penting?”
“Tidak begitu, Jov, aku hanya gak ada pacarnya saja, sih, jika Tuhan ngasih, sih, ya aku terima aja, kapan pun itu.” jawab Mayra, membuat Jovi mengangguk paham.
“Baiklah, nanti aku kenalin deh sama kawan suamiku, mau gak?’ tanya Jovi, membuat Mayra menggelengkan kepalanya.
“Gak usah, Jov, aku juga gak kepengen memiliki hubungan dengan pria asing.”
“Pria asing menurutku lebih bisa di percaya, May, buktinya suamiku adalah pria Amerika. Namun, dia mencintaiku dan gak pernah membedakan negaranya dengan negara asalku, dia menghargai semua orang meski bukan satu agamanya.” kata Jovi, membuat Mayra tersenyum.
“Karena itu, jangan pernah melepaskan apa yang sudah membuatmu bahagia.”
“Iya, May.”
Sesaat kemudian, supir taksi memasuki pelataran parkir perusahaan, membuat Mayra dan Jovi menatap sekeliling, karena asyik mengobrol, mereka tak merasakan perjalanan sama sekali, saat ini sudah sampai saja.
Setelah membayar biaya taksi, Mayra dan Jovi masuk ke perusahaan.
Jovi mengantarkan Mayra sampai ke ruang rapat.
“Kamu duduk di sini dulu, ya, May, aku harus laporan dulu.” kata Jovi.
“Iya, Jov, kamu jangan lama, ya, aku gak mau sampai kesulitan nanti.”
“Siap, aku hanya laporan, kok, terus aku akan kembali.” bisik Jovi, membuat Mayra mengangguk, lalu melempar senyum pada semua orang yang juga sudah menunggu sejak tadi.
Sesaat kemudian, semua orang sudah berkumpul, Mayra mulai memijat pelipis matanya karena mendengar semua orang berbicara menggunakan bahasa inggris dan itu tidak di mengerti Mayra sama sekali, sedangkan Jovi belum kembali dari laporannya.
Suara ketukan pintu ruangan terdengar membuat seorang pria tampan masuk, Mayra mendongak dan membulatkan matanya penuh ketika melihat sosok Rafael, sedangkan Rafael sejenak melihat ke arah Mayra duduk. Namun, tak terkejut sama sekali melihat wanita itu ada di sini.
“Tuan Wilson, anda sudah datang?” salah satu kepala divisi menjabat tangan Rafael.
“Iya, Tuan, kita bisa, kan, mulai rapatnya? Karena saya masih ada jadwal penerbangan.” kata Rafael, membuat Mayra tersenyum lega, akhirnya dua hari tersiksa tanpa melihat pria tampan itu, sekarang pria tampan itu hadir tanpa ia sangka.
Rapat pun di mulai, membuat Mayra duduk diam tanpa mengatakan apa pun, hanya Rafael yang menjelaskan keadaan perusahaan di Indonesia, akhirnya tugas Mayra harus di ambil alih oleh Rafael dan itu membuatnya sangat lega, apalagi ia tidak memahami presentasi yang di bawakan oleh salah satu staf yang tengah mengarahkan remote ke layar.
Dua jam kemudian, setelah melewati rapat yang panjang, Mayra keluar dari ruangan dan mencari keberadaan Jovi, dari kejauhan ia melihat Rafael tengah berbincang dengan seseorang dan banyak wanita pula yang tengah menatap kagum ke arah Rafael, pemandangan itu tak di ragukan lagi, persis bagaimana pramugari Indonesia ketika melihat Rafael.
“Saya permisi dulu.” kata Rafael, ketika ia melirik melihat Mayra tengah kebingungan.
Rafael menghampiri Mayra, apalagi Rafael terlihat sangat tampan ketika memakai seragam pilot, indah di pandang dan indah di matanya, Mayra memanjakan matanya saat ini, jarang sekali melihat pria tampan dengan postur sempurna memakai seragam pilot.
Rafael menarik Mayra untuk menjauh dari tatapan semua orang, para pramugari dan staf wanita heran, melihat Rafael menarik wanita asing.
“El, kamu di sini? Penerbanganmu?” tanya Mayra, basa-basi.
“Aku memang memiliki jadwal penerbangan di New York.”
“Aku terkejut melihatmu.” jawab Mayra.
“Kamu berapa hari di sini? Apa Pak Harjum memintamu menghadiri rapat?” tanya Rafael, membuat Mayra mengangguk.
“Iya, aku di perintahkan Pak Harjum kemari.”
“Tapi, kamu tidak mengerti bahasa inggris, ‘kan? Jika saja aku tak datang, kamu akan di permalukan.” kata Rafael, terdengar seperti sengaja menghadiri rapat.
“Apa kamu sudah mengetahui, aku di sini?” tanya Mayra.
“Aku menelpon perusahaan di Indonesia dan mereka mengatakan kamu di sini.”
“Ish, kamu memata-mataiku?”
“Memata-mataimu? Jangan merasa diri.” geleng Rafael.
“Kamu menginap di mana?” tanya Rafael lagi.
“Di hotel Damz.”
“Aku juga menginap di sana.” kata Rafael.
“Bukannya kamu ada jadwal penerbangan?” tanya Mayra.
“Jadwal penerbanganku malam ini.” kata Rafael.
“Malam ini? Oh.”
“Kenapa?”
“Gak kenapa-napa, sih, hanya saja kalau ada kamu, kan, aku merasa lebih tenang dan tidak akan kesulitan sama sekali.” kata Mayra.
“Katakan saja jika kamu memang membutuhkanku.”
“Ish, apaan, sih.” Mayra merona.
“Ya sudah, kita makan siang dulu.” kata Rafael, lalu berjalan duluan. Rafael berbalik dan melihat Mayra masih berdiri tegap.
“Ada apa?”
“Bukannya akan ada rapat lagi?”
“Kamu tidak usah menghadiri rapat.” jawab Rafael.
“Kenapa?”
“Kamu tak akan mengerti juga apa yang mereka bicarakan.”
“Ish, kamu meremehkanku?”
“Siapa yang meremehkanmu? Kan, benar kataku.” jawab Rafael, lalu kembali menghampiri Mayra dan menariknya.keluar dari perusahaan, banyak pertanyaan yang membuat para pramugari dan staf wanita yang melihat keakraban Rafael dan wanita Indonesia.
Rafael memaksa Mayra masuk ke mobilnya, kali ini mobilnya berbeda lagi dari yang Mayra ingat sewaktu di Indonesia, Rafael lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan pelataran parkir perusahaan.
“Jangan memperlakukanku seperti itu, El.” kata Mayra.
“Seperti itu, bagaimana?”
“Kamu selalu saja seenaknya menggenggam tanganku.”
“Kenapa memangnya?”
“Kan, gak enak di liatin orang loh, apalagi sama fans wanitamu, mereka pasti mengira kita ada hubungan spesial.” kata Mayra, membuat Rafael terkekeh.
“Apaan, sih, kenapa kamu malah terkekeh seperti itu?”
“Apa kamu mengkhawatirkanku atau memang ingin membuatku menjawab pertanyaanmu?”
“Ish, gak ada gunanya ngomong sama kamu.” rajuk Mayra, membuat Rafael cengengesan, entah mengapa ketika mendengar Mayra ada di New York, membuat Rafael langsung bergegas ke perusahaan tanpa mengganti seragamnya.
Sampai lah di restoran, membuat Rafael menarik kursi dan mempersilahkan Mayra duduk, ini lah sikap Rafael yang selalu membuat Mayra terngiang, sedangkan ia tak bisa menolak perlakuan Rafael yang memperlakukannya dengan manis dan lembut.
“Aku tadi gak ngerti kamu ngomong apa.” kata Mayra.
“Yang mana?”
“Kamu mengatakan bahwa aku tak usah menghadiri rapat karena aku juga tak akan mengerti apa yang mereka bicarakan.” kata Mayra.
“Apa tadi, kamu paham ketika sraf pria itu memberi presentasi?” tanya Rafael, membuat Mayra menggeleng pelan.
“Karena itu, tidak perlu menghadiri rapat, aku sudah menerima laporan rapat tadi, jadi kamu tidak usah khawatir, kamu bisa mengambilnya nanti setelah penerbanganku selesai.”
“Jadi, aku beneran gak usah ikut rapat?”
“Iya, gak usah. Buat apa juga, ‘kan? Mereka juga gak mengenalmu.”
“Tapi, Pak Harjum-“
“Pak Harjum hanya mau menerima laporanmu, bukan kehadiranmu di perusahaan.” jawab Rafael.
“Kamu seperti bukan pilot saja, kamu lebih banyak tahu tentang semua pekerjaan di dalam.” kata Mayra, membuat Rafael menyunggingkan senyum tampannya, hampir saja membuat Mayra meleleh.
“Karena aku memiliki otak, aku bisa melihatnya hanya dalam sekali dan mengetahuinya seterusnya.”
“Ha? Jadi maksudmu, aku gak punya otak?”
“Kamu sensitif juga ternyata.” kekeh Rafael, membuatnya menggeleng, ini lah yang membuat Rafael selalu mengingat sosok Mayra meski ia berada di luar negeri sekali pun.
Sesaat kemudian waitres membawa pesanan mereka, membuat Mayra menelan ludahnya ketika melihat makanan yang begitu enak di pandang, apalagi aromanya sangat memanjakan penciumannya, beda ketika ia di Indonesia, yang ia makan hanyalah nasi pecel telur dan meminum es teh.
“Ayo, makan.” ajak Rafael.
“Apa ini halal?”
“Tenang saja, ini halal, kok.” jawab Rafael.
“Baiklah, aku makan, ya.” Mayra lalu mencicipi satu persatu makanan yang sudah di siapkan waitres di atas meja, Mayra tak perduli dengan pandangan semua orang ketika ia mencicipinya memakai tangan kanannya meski sudah di siapkan sendok di atas piring makannya, Rafael tersenyum melihat kepolosan dan apa adanya Mayra, itu lah yang membuatnya nyaman dan senang apalagi ketika Mayra terlihat menggemaskan.
BERSAMBUNG